Jumat, 02 Desember 2016

Tabot, Seni Budaya yang Memiliki Kandungan Nilai Sakral

   
  Tabot Bengkulu adalah festival perayaan budaya tahunan yang menarik untuk disaksikan. Tidak hanya menjadi kegembiraan penduduk lokal, acara dengan berbagai prosesi sakral ini menjadi magnet tersendiri bagi Provinsi Bengkulu yang mampu menarik perhatian wisatawan domestik dan mancanegara.

Saat atraksi budaya berbalut agama di gelar maka dipastikan ratusan bahkan ribuan orang tumpah-ruah di sepanjang jalan dan lapangan utama kota Bengkulu untuk menyaksikan rangkaian kegiatan dimulai dari upcara ritual tabot Bengkulu, hingga kemeriahan pertunjukan seni, pasar rakyat, pameran kriya, lomba delman hias, rebana, tari tabot,  dan beragam acara seni lainnya.
Sehari sebelum acara utama dilaksanakan, Anda juga akan disuguhkan pameran tabot utama dan tabot kecil berhiaskan kerlap-kerlip lampu yang akan mewarnai malam penuh arti bagi kota Bengkulu.
Dalam upacara ini, tabot Bengkulu tentunya yang menjadi objek arak-arakan. Tabot berupa peti bertingkat akan terlihat cantik dihiasi unik dengan kertas warna-warni. Berbagai bahan pembuat tabot yang dirangkai yaitu meliputi: bambu, rotan, kertas karton, kertas mar-mar, kertas grip, tali, pisau ukir, alat-alat gambar, lampu senter, lampu hias, bunga kertas, bunga plastik, dan bahan penunjang lainnya.
Tabot Bengkuu tersebut akan diarak dengan perlengkapan pengiringnya seperti bendera merah putih, bendera berwarna hijau atau biru yang ukurannnya lebih besar, bendera putih, tombak bermata ganda yang di ujungnya digantung, duplikat pedang zufikar (pedang Nabi Muhammad, SAW).
Selain pembuatan tabot Bengkulu, dalam ritual ini juga melibatkan atraksi kesenian dari alat musik dol dan tessa. Dol berbentuk seperti beduk dimana terbuat dari kayu yang tengahnya dilubangi dan ditutup kulit lembu. Garis tengah dol sekitar 70 – 125 cm, sementara alat pemukulnya berdiameter 5 cm dengan panjangnya 30 cm. Sementara itu, tessa berbentuk seperti rebana dari tembaga, besi plat atau aluminium. Kadang juga dibuat dari kuali yang permukaannya ditutup kulit kambing.

Sementara prosesi ritual dari tabot Bengkulu yakni pengambilan tanah dari tempat yang ditentukan untuk kemudian ditempatkan dalam replika keranda Imam Husein. Berikutnya diiringi lantunan musik tradisional. Setelah itu, maka puluhan tabot akan diarak mengelilingi kampung di Bengkulu.

Dalam iring-iringan akan terdengar hentakan suara khas alat musik dol yang berbentuk tambur bulat terbuat dari akar bagian bawah pohon kelapa. Perayaan ini layaknya parade kendaraan hias dimana prosesi akhir adalah pembuangan tabot di Karbela yaitu sekira 3 km dari lokasi festival. Pengarakan tabot ke tempat pembuangan ini merupakan acara puncak Festival Tabot.
Upacara Tabot Bengkulu bagi masyarakat setempat merupakan kegiatan yang mengandung nilai agama yang sakral sekaligus sejarah dan sosial. Upacara Tabot Bengkulu juga sebagai perayaan untuk menyambutan tahun baru Islam.
Ada banyak pesan moral dan sosial dari ritual Tabot Bengkulu bagi masyarakat di sana. Salah satunya adalah selain manifestasi kecintaan dan mengenang kepahlawanan Imam Hussein bin Ali, juga mengingatkan manusia terhadap praktik penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan dan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial.

Tabot Bengkulu merupakan tradisi untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad Saww, Husein bin Ali bin Abi Thalib, dalam peperangan di padang Karbala, Irak, pada 10 Muharam 61 Hijriah (681 M) menentang kekuasaan Bani Umayyah yang saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah dan Gabernur ‘Ubaidillah bin Ziyad. Kejadian tragis tersebut di Bengkulu digelar menjadi sebuah ritual budaya rutin setiap tahunnya yang digelar setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram (Kalendar Islam Hijriah).

Setiap ritual dalam upacara Tabot Bengkuu selalu diawali pembacaan doa-doa Islam, seperti: doa kubur, doa mohon selamat dan ampunan, bacaan tasbih, salawat ulul azmi, salawat wasilah, dan bacaan lainnya. Dalam ritual ini juga disajikan kenduri dan sesaji, yaitu: beras ketan, pisang emas, tebu, jahe, dadih, gula aren, gula pasir, kelapa, ayam, daging, bumbu masak, kemenyan, dan lainnya.

Dalam pelaksanaannya upacara Tabot Bengkulu merupakan simbolisasi mengenang usaha pengikut Syiah yang dahulu mengumpulkan potongan tubuh Imam Husein dalam peti kemudian mengaraknya ke pemakaman di Padang Karbala. Simbolisasinya kini dilakukan dengan mengambik tanah (mengambil tanah) dari 2 tempat keramat di Bengkulu, yaitu di Keramat Tapak Padri dan Keramat Anggut. Proses mengambik tanah (mengambil tanah) juga mengingatkan manusia tentang asal bahan penciptaannya.

Setiap ada tabot, pasti terdengar irama ritmis menghentak yang seolah memompa semangat arak-arakan festival budaya itu. Dimainkan sekelompok orang dengan menabuh alat musik serupa perkusi atau beduk.

Iramanya dengan beat yang cepat mampu memeriahkan ritual yang penuh nuansa sakral. Alat musik ini tidaklah banyak nyatanya, bahkan mungkin tidak ditemukan di daerah lain. Dol kerap disamakan dengan perkusi khas dari Bengkulu. Alat musik ini bahkan disebut sebagai satu-satunya perkusi di dunia yang tidak berlubang di bagian dasarnya.

Dimainkan dengan cara dipukul, ada 3 teknik dasar memainkan dol, yaitu: disebut suwena, tamatam, dan suwari. Jenis pukulan suwena biasanya untuk suasana berduka cita dengan tempo pukulan lambat; tamatam untuk suasana riang, konstan dan ritmenya cepat; sementara suwari adalah pukulan untuk perjalanan panjang dengan tempo pukulan satu-satu. Dalam pementasan dol, ada intsrumen lain yang ikut mengiringi, seperti tassa (sejenis rebana yang dipukul dengan rotan), dol berukuran kecil, serunai, dan lainnya.
Zaman dahulu, dol hanya dimainkan saat perayaan Tabot, setiap 1-10 Muharram dalam rangka mengenang wafatnya Imam Hasan dan Imam Husen (cucu Nabi Muhammad saw.) dalam sebuah peperangan di Padang Karbala. Penabuh dol pun bukan sembarang orang melainkan keturunan tabot, yaitu warga Bengkulu keturunan India yang biasa disebutsipai. Ritual ini selalu dilaksanakan setiap tahun karena dipercaya dapat menghindarkan berbagai kesulitan dan wabah penyakit.

Seiring perkembangan zaman dan upaya beberapa seniman lokal yang ingin mengenalkan musik dol yang unik ini ke masyarakat yang lebih luas lagi kemudian musik dol kini biasa menjadi alat musik pengiring di berbagai acara khusus.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria







Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Nyamei, Sinden ala Bengkulu Bernyanyi Sambil Menutup Wajah

Nyamei
Nusantaraku.com - Suku Jawa mengenal sinden, penyanyi yang muncul di sela pagelaran pewayangan dan musikal Jawa. Di Bengkulu, juga terdapat seni serupa di kalangan warga masyarakat Suku Rejang yakni Nyamei atau Ngandak.
Akulturasi yang kuat antara sejarah suku Jawa dan Rejang diduga memunculkan seni nyamei. Banyak budaya Jawa yang terakulturasi secara kuat pada Suku Rejang, termasuk dalam berkesenian.
Nyamei atau Ngandak sudah mulai ditinggalkan oleh tradisi Suku Rejang seiring waktu dan perlu dilestarikan. Dahulunya menurut Samsul Hilal, anggota Badan Musyawarah Adat (BMA) Rejang Lebong, Nyamei dilakukan sebelum digelarnya Tari Kejei.
Tari Kejei merupakan kesenian rakyat Rejang yang dilakukan pada setiap upacara Kejei berlangsung. Upacara Kejei merupakan hajatan terbesar di Suku Rejang.
Tak heran hajatan ini disebut terbesar karena yang mengangkat hajat kejei tersebut merupakan orang-orang yang mampu dengan pemotongan beberapa kerbau, kambing, atau sapi. Hal ini sebagai syarat sah upacara Kejei.
Tarian tersebut dimainkan oleh para muda-mudi di pusat-pusat desa pada malam hari di tengah-tengah penerangan lampion. Tarian ini sebagai ajang perkenalan antara bujang dan gadis Suku Rejang.
"Namun sekarang, Nyamei banyak mengalami perubahan, tidak harus upacara Kejei, Nyamei bisa dilakukan dengan hanya bernyanyi saja," kata Samsul.
Nyamei dilakukan cukup unik. Penyanyinya menggunakan pakaian adat Suku Rejang. Selain itu ia memakai kipas atau selendang yang digunakan sebagai penutup wajah.
Penyanyi Naymei atau Penyamei selalu menyanyikan lagu-lagu sedih. Bercerita tentang perjuangan seorang ibu, perjuangan masyarakat. Tidak sedikit penonton yang memahami bahasa Rejang akan menitikkan air mata menyimak lagu-lagu sedih tersebut.
"Ada pesan moral yang disisipkan dalam nyanyian Penyamei," tambah Samsul.
Nyamei biasanya hanya diiringi seruling. Tradisi Nyamei bisa dilakukan oleh pria dan wanita. Bedanya kalau Penyamei perempuan maka menggunakan kipas atau selendang sebagai penutup wajah. Jika Penyameinya pria maka tidak perlu penutup wajah.
Jeng Asih , Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria








Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Cowongan Tradisi Unik Memohon Turun Hujan Khas Banyumas

Tradisi Cowongan
Cowong-cowong penentang, penintange tali gandek, gandek mandek-mandek, midondangi jaluk     pitulung marang Nyi Ratu, kanggo njaluk udan, ayuh gagiyan reg-regan rog-rogan.

 Nusantaraku.com-Cowongan, tradisi meminta hujan yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya, boleh jadi belum banyak dikenal anak-anak muda. Bahkan, mereka sepertinya tidak tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh. Namun, tidak demikian dengan siswa-siswi SMA Santo Agustinus Purbalingga (Jateng). Mereka mencoba mengenal tradisi ini dan mencoba menampilkannya kepada masyarakat luas.
”Cowong-cowong penentang,
penintange tali gandek,
gandek mandek-mandek,
midondangi jaluk pitulung marang Nyi Ratu,
kanggo njaluk udan, ayuh gagiyan reg-regan rog-rogan”.



Demikian penggalan nyayian Jawa yang merupakan bagian dari doa-doa untuk meminta hujan. Doa itu dipanjatkan agar roh Dewi Sri dan Dewi Larasati (dewi kesejahteraan) bersedia memasuki boneka cowongan dan berkomunikasi dengan warga agar bencana kekeringan dapat segera teratasi.



Salah seorang seniman di Purbalingga, Chune Yulianto, yang menjadi pelatih seni di SMA Santo Agustinus mengungkapkan, Cowongan merupakan tradisi memohon kemurahan Yang Maha Kuasa melalui Dewi Sri (dewi padi) agar diberikan hujan untuk  petani. Cowongan, lanjut Chune, sejatinya merupakan boneka yang hampir mirip jelangkung. Cwongan dibuat dari irus atau gayung dari tempurung kelapa, kukusan, kayu, dan bambu, yang disusun menyerupai boneka pengusir burung yang dipasang di tengah-tengah sawah.



”Cowongan juga dilengkapi dengan pakaian yang didominasi warna hitam dan corak batik kecoklatan,” ujar Chune.


Cowongan

Menurut Chune, untuk menggelar tradisi Cowongan harus ada syarat yang wajib dipenuhi. Seluruh rangken (bekas jari-jari atap rumah dari bambu) yang masih difungsikan warga harus dimusnahkan. ”Itu permintaan dari Dewi Sri. Warga harus menyanggupi karena menurut Dewi Sri, batang bambu yang sudah rusak akan menahan turunnya hujan,” tutur Chune.



Gelaran ritual Cowongan biasanya diiringi musik gamelan. Doa-doa permohonan hujan dalam ritual cowongan juga dipanjatkan oleh warga. Setelah melafalkan doa itu, kemudian diiringi lagu Ilir-ilir.



Tidak lama berselang, boneka Cowongan mulai bergetar dan bergerak tidak tentu arah mengikuti liukan asap dupa. Gerakan boneka ini terlihat sangat merepotkan para gadis yang memegangnya. ”Mereka harus rela berlari menuju kerumunan penonton demi menuruti keinginan roh dalam Cowongan untuk sekedar menunjukan eksistensi alam mereka dalam berinteraksi dengan alam manusia,” ujar Chune.

Tradisisi Cowongan
Doa yang dipanjatkan melalui tradisi Cowongan akan berhasil jika sebelum acara ritual berakhir akan bertiup angin dingin serta muncul kilat dari arah gunung Slamet. ”Jika pertanda itu muncul, hanya dalam beberapa waktu setelah Cowongan digelar, biasanya hujan akan turun,” tutur Chune.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria







Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585


  

Upacara Ujungan, Adat Tradisi Memohon Turun Hujan

Tradisi Ujungan
Nusantaraku.com-Warga Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara (Jateng),   menggelar prosesi upacara Ujungan. Tradisi yang berkembang di wilayah Banyumas ini sebagai ritual meminta hujan. Dua lelaki dewasa dengan memegang alat pukul rotan saling menyerang. Tak hanya tangan, kaki-pun diperbolehkan untuk dipukul. Sang Wlandang (wasit) yang lebih memiliki ilmu bela diri akan menentukan siapa pemenangnya. Jika salah seorang tak terima      dinyatakan kalah, maka sang wasit harus siap menghadapi pertarungan pula.
Tradisi Ujungan
Konon, untuk mempercepat datangnya hujan, pemain Ujungan harus memperbanyak pukulan kepada lawannya hingga mengeluarkan darah. Semakin banyaknya darah yang keluar akibat pukulan, maka semakin cepat pula hujan akan turun.
Tradisi Ujungan diselenggarakan pada mangso kapat (keempat) dan kamo (kelima) di musim kemarau ini. Mongso Kapat dan Kamo merupakan waktu yang sangat berat bagi petani. Tak ada hujan yang membuat petani harus paceklik.



Tradisi Ujungan muncul sebelum Belanda datang dan menjajah di Indonesia. Ketika masa itu, tujuan diselenggarakannya tradisi Ujungan ialah untuk memohon hujan kepada Tuhan. Namun, karena ketika itu Indonesia dijajah Belanda, maka tradisi Ujungan ini kemudian dijadikan sebagai sarana latihan beladiri guna membina mental dan fisik para pejuang. Tradisi ini juga sedikit banyak turut melahirkan pejuang-pejuang bangsa yang pemberani.


Tradisi Ujungan
Ritual ini berkembang saat Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon masih berbentuk Kademangan Gumelem yang dipimpin seorang demang sekitar tahun 1830-an. Ketika itu, sering terjadi perselisihan antara dua kelompok petani kademangan setempat yang berebut air untuk mengairi sawah mereka yang mengering akibat musim kemarau.


 Bahkan, perselisihan tersebut sering kali mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah di antara petani. Oleh karena itu, para sesepuh kademangan setempat menggelar upacara "Mujung" atau "Ujungan" yang berarti memohon kepada Tuhan agar diberi hujan sehingga perselisihan antarkelompok petani dapat berakhir setelah hujan turun.


Kepala Desa Gumelem Wetan, Budi Sulistyo mengatakan, ritual "Ujungan" ini biasa digelar warga setempat setiap kali terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. “Ritual minta hujan ini merupakan seni tradisional masyarakat Susukan turun-temurun sejak tahun 1830 meskipun tidak setiap tahun digelar. Ritual ini terakhir digelar sekitar tiga tahun lalu," katanya.


Tradidi Ujungan

Kendati demikian, masyarakat tidak bisa sembarangan menggelar ritual adu sabet menggunakan rotan ini karena harus melalui musyawarah para tetua adaT lebih dulu. Bahkan, para peserta "Ujungan" tidak saling dendam meskipun terjadi saling serang hingga ada yang terluka dan berlumuran darah.


“Seni adu sabet ini sempat memakan korban tetapi hal itu tidak mengakibatkan saling dendam. Kepercayaan selama ini, kalau sudah digelar 'Ujungan' akan segera turun hujan, dan konon darah yang mengucur dari para penari 'Ujungan' ini sebagai simbol akan turun hujan," kata Budi.


Peserta "Ujungan" bukan orang sembarangan meskipun mereka ditunjuk langsung oleh pemangku adat di lokasi ritual. Bahkan, kata dia, para peserta sering kali belum pernah saling mengenal. "Peserta 'Ujungan' biasanya memiliki kekuatan supranatural dan merupakan keturunan orang sakti. Meskipun mereka terluka akibat sabetan rotan, lukanya dapat segera sembuh," katanya.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria






Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585