Tradisi Ujungan diselenggarakan pada mangso kapat (keempat) dan kamo (kelima)
di musim kemarau ini. Mongso Kapat dan Kamo merupakan waktu yang sangat berat
bagi petani. Tak ada hujan yang membuat petani harus paceklik.
Tradisi Ujungan muncul sebelum Belanda datang dan menjajah di Indonesia. Ketika
masa itu, tujuan diselenggarakannya tradisi Ujungan ialah untuk memohon hujan
kepada Tuhan. Namun, karena ketika itu Indonesia dijajah Belanda, maka tradisi
Ujungan ini kemudian dijadikan sebagai sarana latihan beladiri guna membina
mental dan fisik para pejuang. Tradisi ini juga sedikit banyak turut melahirkan
pejuang-pejuang bangsa yang pemberani.
Tradisi Ujungan |
Ritual ini berkembang saat Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon masih berbentuk
Kademangan Gumelem yang dipimpin seorang demang sekitar tahun 1830-an. Ketika
itu, sering terjadi perselisihan antara dua kelompok petani kademangan setempat
yang berebut air untuk mengairi sawah mereka yang mengering akibat musim
kemarau.
Bahkan, perselisihan tersebut sering kali mengakibatkan terjadinya pertumpahan
darah di antara petani. Oleh karena itu, para sesepuh kademangan setempat
menggelar upacara "Mujung" atau "Ujungan" yang berarti
memohon kepada Tuhan agar diberi hujan sehingga perselisihan antarkelompok
petani dapat berakhir setelah hujan turun.
Kepala Desa Gumelem Wetan, Budi Sulistyo mengatakan, ritual "Ujungan"
ini biasa digelar warga setempat setiap kali terjadi musim kemarau yang
berkepanjangan. “Ritual minta hujan ini merupakan seni tradisional masyarakat
Susukan turun-temurun sejak tahun 1830 meskipun tidak setiap tahun digelar.
Ritual ini terakhir digelar sekitar tiga tahun lalu," katanya.
Tradidi Ujungan |
Kendati demikian, masyarakat tidak bisa sembarangan menggelar ritual adu sabet
menggunakan rotan ini karena harus melalui musyawarah para tetua adaT lebih
dulu. Bahkan, para peserta "Ujungan" tidak saling dendam meskipun
terjadi saling serang hingga ada yang terluka dan berlumuran darah.
“Seni adu sabet ini sempat memakan korban tetapi hal itu tidak mengakibatkan
saling dendam. Kepercayaan selama ini, kalau sudah digelar 'Ujungan' akan
segera turun hujan, dan konon darah yang mengucur dari para penari 'Ujungan'
ini sebagai simbol akan turun hujan," kata Budi.
Peserta "Ujungan" bukan orang sembarangan meskipun mereka ditunjuk
langsung oleh pemangku adat di lokasi ritual. Bahkan, kata dia, para peserta
sering kali belum pernah saling mengenal. "Peserta 'Ujungan' biasanya
memiliki kekuatan supranatural dan merupakan keturunan orang sakti. Meskipun
mereka terluka akibat sabetan rotan, lukanya dapat segera sembuh,"
katanya.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 -
08122908585
makasih atas infonya, kunjungi http://bit.ly/2RAOvPL
BalasHapus