Kerja keempatnya menghasilkan karya setebal 4.000 halaman lebih yang terbagi atas selusin jilid. Beberapa jilid di antaranya memuat ajaran erotika yang dibalut dengan mistisisme Islam dan Jawa. Inilah yang menarik minat Elizabeth D. Inandiak, seorang Prancis yang menggubah dan menerjemahkan Serat Centhini ke Bahasa Indonesia. "Saya tak pernah membayangkan sama sekali bahwa seks bisa bergabung dengan mistik," katanya dalam kuliah umum "Erotika Nusantara: Serat Centhini" di Teater Salihara, Jakarta, 10 Maret 2012 lalu.
Dalam Centhini, seks tak diartikan hanya sebagai pertemuan dua
alat kelamin manusia. "Kalau cuma bersetubuh, nanti lama-lama bisa
busuk," tandas Inandiak.
Lebih dari itu, seks dapat berarti puncak erotika. Dalam
menjelaskan arti erotika, Inandiak tak hanya menjabarkannya dari istilah Barat,
tapi juga mencoba menggalinya dari khazanah istilah lokal. "Kenapa kita
harus meminjam istilah dari bahasa-bahasa Barat?" tanya Inandiak dalam
makalahnya, "Dari Erotika ke Sir Centhini". Erotika berasal dari kata
Yunani, eros, yang berarti dewa asmara. Kata ini dipakai untuk
menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan syahwat, hawa, nafsu, atau
kebirahian.
Padanan kata ini, menurut Inandiak, dapat ditemukan dalam
Centhini. Beberapa kata yang berkelindan dengan erotika misalnya ajigineng,
terangsang, nafsu berahi, cinta syahwati, asmaragama (seni bercinta), kasmaran,
naluri seksual, pengumbaran nafsu, dan mabuk kepayang. Masyarakat Jawa telah
mempunyai konsep dan kata mengenai erotika. Dengan demikian, erotika tidak
sepenuhnya datang dari Barat.
Sejak 1990-an, Elizabeth menerjemahkan Centhini ke dalam bahasa
Prancis. Buku sadurannya dalam bahasa Indonesia, Centhini: Kekasih Yang
Tersembunyi, baru terbit pada 2008. Penerjemahan Serat Centhini itu tak
mudah, Inandiak mesti menghadapi dua pendapat ekstrem para ahli sastra Jawa.
Satu kelompok berpendapat Serat Centhini terlalu kotor untuk diterjemahkan
karena memuat ajaran dan kata-kata kotor, cabul, dan kasar. Di kutub lain, para
ahli menilai Serat Centhini sangat adiluhung sehingga tak bisa diterjemahkan.
Kalaupun diterjemahkan, nilai estetis Centhini akan berkurang. Kedua pendapat
itulah yang menyebabkan Serat Centhini tak diterjemahkan selama hampir satu
abad. Tapi Inandiak tetap berkeras menerjemahkannya karena menganggap karya ini
sangat penting untuk mengungkap dunia tersembunyi orang Jawa.
Beberapa jilid Serat Centhini memang memuat ajaran-ajaran kotor
dan cabul. Penuh adegan persanggamaan dan pelepasan hasrat seksual yang tak
terbatas suami dan istri tapi juga di luar pernikahan. Petualangan Cebolang,
remaja yang lari dari rumah orangtuanya karena menilai dirinya berdosa besar,
menjadi simbolisasinya.
Dalam pelariannya, dia bersanggama dengan orang yang berbeda,
tak peduli laki atau perempuan, di banyak tempat. Perbuatannya itu tak lain
untuk menebus dosa-dosanya. Cebolang menganggap hanya dengan menceburkan diri
ke perbuatan yang hina kesalahannya diampuni. Ketika sampai di Mataram
(Yogyakarta), Cebolang, bersama kawan lelakinya, Nurwitri, menyetubuhi dua
perempuan secara bergantian di area pesantren. Subuh tiba, mereka berhenti,
lalu mandi untuk menunaikan salat subuh di masjid.
"Ini menarik. Kalau terjadi di klub seks bebas, itu bukan
erotika. Tapi, ini terjadi di pesantren sehingga erotikanya sangat tinggi.
Seperti ada sesuatu yang tersembunyi dalam kisah itu," terang Inandiak.
Tapi, Inandiak mengingatkan bahwa kecabulan dan kekotoran bahasa
Serat Centhini terhapus lewat keindahan tembang dengan paduan gamelan dan
pesinden. "Pembacaan Serat Centhini sejatinya memang ditembangkan,"
tandasnya. Dengan demikian, para pembaca tak tenggelam ke lautan kata-kata
kotor dan cabul sehingga keindahan erotika Serat Centhini tetap dapat
ditangkap.
Kisah asmara paling halus dalam Serat Centhini tak pelak menjadi
milik pasangan Amongraga dan Tembangraras. Amongraga, putra mahkota Sunan Giri,
duduk berhadapan dengan Tambangraras, istrinya, di kamar pengantin pada malam
pertama pernikahannya. Amongraga berada di buritan ranjang pengantin, sedangkan
Tambangraras duduk di haluan. Jarak antara keduanya cukup jauh. Riuh-rendah
tetamu yang masih berpesta dan mabuk di luar kamar masih terdengar, sedangkan
suasana di dalam kamar sangat tenang dan damai.
Amongraga tak lantas bersanggama dengan istrinya. Dan terus
begitu hingga malam keempat puluh. Selama itu, Amongraga mengajarkan sejumlah
rahasia kepada istrinya agar persanggamaan mereka mencapai penyatuan sejati.
Sebelum tibanya malam itu, keduanya hanya saling menatap dan berbicara.
Mereka bertelanjang secara bertahap sesuai dengan tingkatan
mistiknya. "Semakin tinggi tingkatan mistiknya, semakin tinggi pulalah
ketelanjangannya," kata Inandiak.
Tingkatan mistik tercapai berkat ajaran-ajaran Amongraga yang
diambil dari mistisisme Islam dan asmaragama (seni bercinta Jawa). Ajaran
Islamnya bersumber dari buah pikir sufi Timur Tengah seperti Al-Jili, Abdul
Qadir al-Jailani, Al-Ghazali, dan Rumi. Sedangkan ajaran asmaragama bersumber
dari tradisi tantrisme dan falsafah Jawa Kuno. Karena asmaragama, banyak yang
menganggap Serat Centhini sebagai Kamasutra Jawa. "Memang ada yang
menyebut seperti itu, tapi saya kira Centhini bercerita tentang banyak hal.
Lebih luas daripada Kamasutra," katanya.
Amongraga menyadari sepenuhnya apa yang diajarkannya selama
empat puluh malam, pun jua dengan Tambangraras. Jiwa mereka terbakar dalam api
asmara. Dan mencapai puncaknya pada malam keempatpuluh. Saat itulah, mereka
menyatukan tubuh. Tak ada laki-laki, tak ada perempuan. Manunggal. Demikianlah
puncak erotika. Inandiak menyebut itu sebagai paduan sir (nafsu
dalam bahasa Jawa) dan sir (rahasia dalam bahasa Arab).
"Nafsu yang mengangkat asmaragama ke alam gaib (rahasia)," tulis
Inandiak. Sesuatu yang menurut Inandiak menjadi padanan kata paling tepat untuk
erotika dan tidak ditemukan dalam alam pikiran orang Barat melalui pembacaannya
terhadap karya sastra mereka.
"Sepanjang
pengetahuan saya, mudah-mudahan saya salah, tak ada kesusastraan Eropa yang
menggabungkan seks dan mistik seperti ini," kata Inandiak menutup diskusi.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 -
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar