Jumat, 02 Desember 2016

Tabot, Seni Budaya yang Memiliki Kandungan Nilai Sakral

   
  Tabot Bengkulu adalah festival perayaan budaya tahunan yang menarik untuk disaksikan. Tidak hanya menjadi kegembiraan penduduk lokal, acara dengan berbagai prosesi sakral ini menjadi magnet tersendiri bagi Provinsi Bengkulu yang mampu menarik perhatian wisatawan domestik dan mancanegara.

Saat atraksi budaya berbalut agama di gelar maka dipastikan ratusan bahkan ribuan orang tumpah-ruah di sepanjang jalan dan lapangan utama kota Bengkulu untuk menyaksikan rangkaian kegiatan dimulai dari upcara ritual tabot Bengkulu, hingga kemeriahan pertunjukan seni, pasar rakyat, pameran kriya, lomba delman hias, rebana, tari tabot,  dan beragam acara seni lainnya.
Sehari sebelum acara utama dilaksanakan, Anda juga akan disuguhkan pameran tabot utama dan tabot kecil berhiaskan kerlap-kerlip lampu yang akan mewarnai malam penuh arti bagi kota Bengkulu.
Dalam upacara ini, tabot Bengkulu tentunya yang menjadi objek arak-arakan. Tabot berupa peti bertingkat akan terlihat cantik dihiasi unik dengan kertas warna-warni. Berbagai bahan pembuat tabot yang dirangkai yaitu meliputi: bambu, rotan, kertas karton, kertas mar-mar, kertas grip, tali, pisau ukir, alat-alat gambar, lampu senter, lampu hias, bunga kertas, bunga plastik, dan bahan penunjang lainnya.
Tabot Bengkuu tersebut akan diarak dengan perlengkapan pengiringnya seperti bendera merah putih, bendera berwarna hijau atau biru yang ukurannnya lebih besar, bendera putih, tombak bermata ganda yang di ujungnya digantung, duplikat pedang zufikar (pedang Nabi Muhammad, SAW).
Selain pembuatan tabot Bengkulu, dalam ritual ini juga melibatkan atraksi kesenian dari alat musik dol dan tessa. Dol berbentuk seperti beduk dimana terbuat dari kayu yang tengahnya dilubangi dan ditutup kulit lembu. Garis tengah dol sekitar 70 – 125 cm, sementara alat pemukulnya berdiameter 5 cm dengan panjangnya 30 cm. Sementara itu, tessa berbentuk seperti rebana dari tembaga, besi plat atau aluminium. Kadang juga dibuat dari kuali yang permukaannya ditutup kulit kambing.

Sementara prosesi ritual dari tabot Bengkulu yakni pengambilan tanah dari tempat yang ditentukan untuk kemudian ditempatkan dalam replika keranda Imam Husein. Berikutnya diiringi lantunan musik tradisional. Setelah itu, maka puluhan tabot akan diarak mengelilingi kampung di Bengkulu.

Dalam iring-iringan akan terdengar hentakan suara khas alat musik dol yang berbentuk tambur bulat terbuat dari akar bagian bawah pohon kelapa. Perayaan ini layaknya parade kendaraan hias dimana prosesi akhir adalah pembuangan tabot di Karbela yaitu sekira 3 km dari lokasi festival. Pengarakan tabot ke tempat pembuangan ini merupakan acara puncak Festival Tabot.
Upacara Tabot Bengkulu bagi masyarakat setempat merupakan kegiatan yang mengandung nilai agama yang sakral sekaligus sejarah dan sosial. Upacara Tabot Bengkulu juga sebagai perayaan untuk menyambutan tahun baru Islam.
Ada banyak pesan moral dan sosial dari ritual Tabot Bengkulu bagi masyarakat di sana. Salah satunya adalah selain manifestasi kecintaan dan mengenang kepahlawanan Imam Hussein bin Ali, juga mengingatkan manusia terhadap praktik penghalalan segala cara untuk menuju puncak kekuasaan dan simbolisasi dari sebuah keprihatinan sosial.

Tabot Bengkulu merupakan tradisi untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad Saww, Husein bin Ali bin Abi Thalib, dalam peperangan di padang Karbala, Irak, pada 10 Muharam 61 Hijriah (681 M) menentang kekuasaan Bani Umayyah yang saat itu pimpinan Yazid bin Muawiyah dan Gabernur ‘Ubaidillah bin Ziyad. Kejadian tragis tersebut di Bengkulu digelar menjadi sebuah ritual budaya rutin setiap tahunnya yang digelar setiap tanggal 1 hingga 10 Muharram (Kalendar Islam Hijriah).

Setiap ritual dalam upacara Tabot Bengkuu selalu diawali pembacaan doa-doa Islam, seperti: doa kubur, doa mohon selamat dan ampunan, bacaan tasbih, salawat ulul azmi, salawat wasilah, dan bacaan lainnya. Dalam ritual ini juga disajikan kenduri dan sesaji, yaitu: beras ketan, pisang emas, tebu, jahe, dadih, gula aren, gula pasir, kelapa, ayam, daging, bumbu masak, kemenyan, dan lainnya.

Dalam pelaksanaannya upacara Tabot Bengkulu merupakan simbolisasi mengenang usaha pengikut Syiah yang dahulu mengumpulkan potongan tubuh Imam Husein dalam peti kemudian mengaraknya ke pemakaman di Padang Karbala. Simbolisasinya kini dilakukan dengan mengambik tanah (mengambil tanah) dari 2 tempat keramat di Bengkulu, yaitu di Keramat Tapak Padri dan Keramat Anggut. Proses mengambik tanah (mengambil tanah) juga mengingatkan manusia tentang asal bahan penciptaannya.

Setiap ada tabot, pasti terdengar irama ritmis menghentak yang seolah memompa semangat arak-arakan festival budaya itu. Dimainkan sekelompok orang dengan menabuh alat musik serupa perkusi atau beduk.

Iramanya dengan beat yang cepat mampu memeriahkan ritual yang penuh nuansa sakral. Alat musik ini tidaklah banyak nyatanya, bahkan mungkin tidak ditemukan di daerah lain. Dol kerap disamakan dengan perkusi khas dari Bengkulu. Alat musik ini bahkan disebut sebagai satu-satunya perkusi di dunia yang tidak berlubang di bagian dasarnya.

Dimainkan dengan cara dipukul, ada 3 teknik dasar memainkan dol, yaitu: disebut suwena, tamatam, dan suwari. Jenis pukulan suwena biasanya untuk suasana berduka cita dengan tempo pukulan lambat; tamatam untuk suasana riang, konstan dan ritmenya cepat; sementara suwari adalah pukulan untuk perjalanan panjang dengan tempo pukulan satu-satu. Dalam pementasan dol, ada intsrumen lain yang ikut mengiringi, seperti tassa (sejenis rebana yang dipukul dengan rotan), dol berukuran kecil, serunai, dan lainnya.
Zaman dahulu, dol hanya dimainkan saat perayaan Tabot, setiap 1-10 Muharram dalam rangka mengenang wafatnya Imam Hasan dan Imam Husen (cucu Nabi Muhammad saw.) dalam sebuah peperangan di Padang Karbala. Penabuh dol pun bukan sembarang orang melainkan keturunan tabot, yaitu warga Bengkulu keturunan India yang biasa disebutsipai. Ritual ini selalu dilaksanakan setiap tahun karena dipercaya dapat menghindarkan berbagai kesulitan dan wabah penyakit.

Seiring perkembangan zaman dan upaya beberapa seniman lokal yang ingin mengenalkan musik dol yang unik ini ke masyarakat yang lebih luas lagi kemudian musik dol kini biasa menjadi alat musik pengiring di berbagai acara khusus.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria







Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Nyamei, Sinden ala Bengkulu Bernyanyi Sambil Menutup Wajah

Nyamei
Nusantaraku.com - Suku Jawa mengenal sinden, penyanyi yang muncul di sela pagelaran pewayangan dan musikal Jawa. Di Bengkulu, juga terdapat seni serupa di kalangan warga masyarakat Suku Rejang yakni Nyamei atau Ngandak.
Akulturasi yang kuat antara sejarah suku Jawa dan Rejang diduga memunculkan seni nyamei. Banyak budaya Jawa yang terakulturasi secara kuat pada Suku Rejang, termasuk dalam berkesenian.
Nyamei atau Ngandak sudah mulai ditinggalkan oleh tradisi Suku Rejang seiring waktu dan perlu dilestarikan. Dahulunya menurut Samsul Hilal, anggota Badan Musyawarah Adat (BMA) Rejang Lebong, Nyamei dilakukan sebelum digelarnya Tari Kejei.
Tari Kejei merupakan kesenian rakyat Rejang yang dilakukan pada setiap upacara Kejei berlangsung. Upacara Kejei merupakan hajatan terbesar di Suku Rejang.
Tak heran hajatan ini disebut terbesar karena yang mengangkat hajat kejei tersebut merupakan orang-orang yang mampu dengan pemotongan beberapa kerbau, kambing, atau sapi. Hal ini sebagai syarat sah upacara Kejei.
Tarian tersebut dimainkan oleh para muda-mudi di pusat-pusat desa pada malam hari di tengah-tengah penerangan lampion. Tarian ini sebagai ajang perkenalan antara bujang dan gadis Suku Rejang.
"Namun sekarang, Nyamei banyak mengalami perubahan, tidak harus upacara Kejei, Nyamei bisa dilakukan dengan hanya bernyanyi saja," kata Samsul.
Nyamei dilakukan cukup unik. Penyanyinya menggunakan pakaian adat Suku Rejang. Selain itu ia memakai kipas atau selendang yang digunakan sebagai penutup wajah.
Penyanyi Naymei atau Penyamei selalu menyanyikan lagu-lagu sedih. Bercerita tentang perjuangan seorang ibu, perjuangan masyarakat. Tidak sedikit penonton yang memahami bahasa Rejang akan menitikkan air mata menyimak lagu-lagu sedih tersebut.
"Ada pesan moral yang disisipkan dalam nyanyian Penyamei," tambah Samsul.
Nyamei biasanya hanya diiringi seruling. Tradisi Nyamei bisa dilakukan oleh pria dan wanita. Bedanya kalau Penyamei perempuan maka menggunakan kipas atau selendang sebagai penutup wajah. Jika Penyameinya pria maka tidak perlu penutup wajah.
Jeng Asih , Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria








Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Cowongan Tradisi Unik Memohon Turun Hujan Khas Banyumas

Tradisi Cowongan
Cowong-cowong penentang, penintange tali gandek, gandek mandek-mandek, midondangi jaluk     pitulung marang Nyi Ratu, kanggo njaluk udan, ayuh gagiyan reg-regan rog-rogan.

 Nusantaraku.com-Cowongan, tradisi meminta hujan yang dilakukan oleh masyarakat Banyumas dan sekitarnya, boleh jadi belum banyak dikenal anak-anak muda. Bahkan, mereka sepertinya tidak tertarik untuk mempelajarinya lebih jauh. Namun, tidak demikian dengan siswa-siswi SMA Santo Agustinus Purbalingga (Jateng). Mereka mencoba mengenal tradisi ini dan mencoba menampilkannya kepada masyarakat luas.
”Cowong-cowong penentang,
penintange tali gandek,
gandek mandek-mandek,
midondangi jaluk pitulung marang Nyi Ratu,
kanggo njaluk udan, ayuh gagiyan reg-regan rog-rogan”.



Demikian penggalan nyayian Jawa yang merupakan bagian dari doa-doa untuk meminta hujan. Doa itu dipanjatkan agar roh Dewi Sri dan Dewi Larasati (dewi kesejahteraan) bersedia memasuki boneka cowongan dan berkomunikasi dengan warga agar bencana kekeringan dapat segera teratasi.



Salah seorang seniman di Purbalingga, Chune Yulianto, yang menjadi pelatih seni di SMA Santo Agustinus mengungkapkan, Cowongan merupakan tradisi memohon kemurahan Yang Maha Kuasa melalui Dewi Sri (dewi padi) agar diberikan hujan untuk  petani. Cowongan, lanjut Chune, sejatinya merupakan boneka yang hampir mirip jelangkung. Cwongan dibuat dari irus atau gayung dari tempurung kelapa, kukusan, kayu, dan bambu, yang disusun menyerupai boneka pengusir burung yang dipasang di tengah-tengah sawah.



”Cowongan juga dilengkapi dengan pakaian yang didominasi warna hitam dan corak batik kecoklatan,” ujar Chune.


Cowongan

Menurut Chune, untuk menggelar tradisi Cowongan harus ada syarat yang wajib dipenuhi. Seluruh rangken (bekas jari-jari atap rumah dari bambu) yang masih difungsikan warga harus dimusnahkan. ”Itu permintaan dari Dewi Sri. Warga harus menyanggupi karena menurut Dewi Sri, batang bambu yang sudah rusak akan menahan turunnya hujan,” tutur Chune.



Gelaran ritual Cowongan biasanya diiringi musik gamelan. Doa-doa permohonan hujan dalam ritual cowongan juga dipanjatkan oleh warga. Setelah melafalkan doa itu, kemudian diiringi lagu Ilir-ilir.



Tidak lama berselang, boneka Cowongan mulai bergetar dan bergerak tidak tentu arah mengikuti liukan asap dupa. Gerakan boneka ini terlihat sangat merepotkan para gadis yang memegangnya. ”Mereka harus rela berlari menuju kerumunan penonton demi menuruti keinginan roh dalam Cowongan untuk sekedar menunjukan eksistensi alam mereka dalam berinteraksi dengan alam manusia,” ujar Chune.

Tradisisi Cowongan
Doa yang dipanjatkan melalui tradisi Cowongan akan berhasil jika sebelum acara ritual berakhir akan bertiup angin dingin serta muncul kilat dari arah gunung Slamet. ”Jika pertanda itu muncul, hanya dalam beberapa waktu setelah Cowongan digelar, biasanya hujan akan turun,” tutur Chune.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria







Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585


  

Upacara Ujungan, Adat Tradisi Memohon Turun Hujan

Tradisi Ujungan
Nusantaraku.com-Warga Desa Gumelem Wetan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Banjarnegara (Jateng),   menggelar prosesi upacara Ujungan. Tradisi yang berkembang di wilayah Banyumas ini sebagai ritual meminta hujan. Dua lelaki dewasa dengan memegang alat pukul rotan saling menyerang. Tak hanya tangan, kaki-pun diperbolehkan untuk dipukul. Sang Wlandang (wasit) yang lebih memiliki ilmu bela diri akan menentukan siapa pemenangnya. Jika salah seorang tak terima      dinyatakan kalah, maka sang wasit harus siap menghadapi pertarungan pula.
Tradisi Ujungan
Konon, untuk mempercepat datangnya hujan, pemain Ujungan harus memperbanyak pukulan kepada lawannya hingga mengeluarkan darah. Semakin banyaknya darah yang keluar akibat pukulan, maka semakin cepat pula hujan akan turun.
Tradisi Ujungan diselenggarakan pada mangso kapat (keempat) dan kamo (kelima) di musim kemarau ini. Mongso Kapat dan Kamo merupakan waktu yang sangat berat bagi petani. Tak ada hujan yang membuat petani harus paceklik.



Tradisi Ujungan muncul sebelum Belanda datang dan menjajah di Indonesia. Ketika masa itu, tujuan diselenggarakannya tradisi Ujungan ialah untuk memohon hujan kepada Tuhan. Namun, karena ketika itu Indonesia dijajah Belanda, maka tradisi Ujungan ini kemudian dijadikan sebagai sarana latihan beladiri guna membina mental dan fisik para pejuang. Tradisi ini juga sedikit banyak turut melahirkan pejuang-pejuang bangsa yang pemberani.


Tradisi Ujungan
Ritual ini berkembang saat Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon masih berbentuk Kademangan Gumelem yang dipimpin seorang demang sekitar tahun 1830-an. Ketika itu, sering terjadi perselisihan antara dua kelompok petani kademangan setempat yang berebut air untuk mengairi sawah mereka yang mengering akibat musim kemarau.


 Bahkan, perselisihan tersebut sering kali mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah di antara petani. Oleh karena itu, para sesepuh kademangan setempat menggelar upacara "Mujung" atau "Ujungan" yang berarti memohon kepada Tuhan agar diberi hujan sehingga perselisihan antarkelompok petani dapat berakhir setelah hujan turun.


Kepala Desa Gumelem Wetan, Budi Sulistyo mengatakan, ritual "Ujungan" ini biasa digelar warga setempat setiap kali terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. “Ritual minta hujan ini merupakan seni tradisional masyarakat Susukan turun-temurun sejak tahun 1830 meskipun tidak setiap tahun digelar. Ritual ini terakhir digelar sekitar tiga tahun lalu," katanya.


Tradidi Ujungan

Kendati demikian, masyarakat tidak bisa sembarangan menggelar ritual adu sabet menggunakan rotan ini karena harus melalui musyawarah para tetua adaT lebih dulu. Bahkan, para peserta "Ujungan" tidak saling dendam meskipun terjadi saling serang hingga ada yang terluka dan berlumuran darah.


“Seni adu sabet ini sempat memakan korban tetapi hal itu tidak mengakibatkan saling dendam. Kepercayaan selama ini, kalau sudah digelar 'Ujungan' akan segera turun hujan, dan konon darah yang mengucur dari para penari 'Ujungan' ini sebagai simbol akan turun hujan," kata Budi.


Peserta "Ujungan" bukan orang sembarangan meskipun mereka ditunjuk langsung oleh pemangku adat di lokasi ritual. Bahkan, kata dia, para peserta sering kali belum pernah saling mengenal. "Peserta 'Ujungan' biasanya memiliki kekuatan supranatural dan merupakan keturunan orang sakti. Meskipun mereka terluka akibat sabetan rotan, lukanya dapat segera sembuh," katanya.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria






Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585


Selasa, 15 November 2016

Komunitas Suku Osing, dan Ragam Budayanya

Suku Osing, Banyuwangi
Nusantaraku.com-Sebagian besar masyarakat Osing  beragama Islam, dan setengahnya lagi beragama Hindhu  dan Budha.  Penduduk suku Osing  ini  masih menganut kepercayaan  turun temurun dahulu sebelum datangnya Islam.  Suku Osing merupakan keturunan dari  kerajaan Majapahit yang memiliki kepercayaan pada agama Hindhu dan Budha. Masyarakat Osing percaya pada para roh leluhur, reinkarnasi, moksa, dan hukum karma. Mereka juga percaya kepada roh yang dipuja (danyang) di sebuah tempat disebut Punden yang biasanya ada di bawah pohon atau batu besar.1 Namun saat ini agama mayoritas masyarakat Osing adalah Islam, hal tersebut akibat berkembangnya kerajaan Islam di daerah Pantura (Pantai Utara).
Kepercayaan Mistis yang diyakini “Suku Osing”
Masyarakat  Osing masih memegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan hal  mistis,  ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar  tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya sebelum Islam. Dalam makalahnya mengenai  Perancangan film Dokumenter:  Tribute to East Java, Evan Permana menyebutkan beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan dunia mistis2 antara lain:
1.     Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/ Jaran Goyang.  Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang  terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang  menyukainya.  Image  bahwa jika seseorang  disukai oleh orang yang berasal  dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. Padahal mitos ini hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka.
2.     Selametan  setiap hari  Senin dan  Kamis di makam Buyut Cili yang dilakukan  oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis melaksanakan suatu acara.
3.     Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan kepada perhitungan  dan hari baik dan buruk, serta tanda tanda alam yang terbaca.
Tradisi Kebo-Keboan
4.     Tata cara selamatan yang sering kali dilaksanakan setiap hari tertentu dan pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada daerah lain.
5.     Adanya kepercayaan tentang  santet  dan ilmu hitam lainnya bila kita dianggap  menyakiti orang yang berasal dari suku Osing.
Penduduk suku Osing juga sebagian masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan  yang kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina. Sistem kepercayaan di suku Osing masih mengandung unsur  Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.1
Terbukanya suku Osing dalam menerima pengaruh dari luar ini membuat kepercayaan mistis dan agama masih bercampur. Suku Osing merupakan suku yang masih menjaga tradisi dan kepercayaan dahulu,  dan tetap bisa menerima agama Islam yang masuk ke wilayahnya saat itu.
Wujud Budaya Tindakan
Bahasa Osing
Suku Osing menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang dinamakan “bahasa Osing”, yang merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa Kuno yang dahulu digunakan pada masa kerajaan Majapahit.  Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali yang tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup  sampai abad ke-20.3 Namun bahasa Osing menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa, dengan penekanan pada beberapa huruf. Pada perkembangannya saat ini, bahasa Osing semakin lama semakin jarang digunakan dan menyusut.
Terjadi dimensi perubahan diakibatkan masuknya bahasa Jawa dan Madura dari masyarakat pendatang. Hal ini  mengakibatkan terjadinya keanekaragaman bahasa dalam masyarakat Banyuwangi, dan  muncul masalah mengenai keanekabahasan dan masalah sosiolinguistik lainnya. Dimana proses persentuhan bahasa ibu dan bahasa pendamping menimbulkan  ketumpangtindihan (overlapping), alih kode dan campur kode.Walau terjadi percampuran bahasa di daerah Banyuwangi, bahasa Osing masih dapat ditemukan pada beberapa daerah di kecamatan paling timur di Banyuwangi. Beberapa penduduknya masih menggunakan bahasa Osing  dalam berinteraksi antar warganya.
Masyarakat Osing tidak mengenal hierarki ataupun stratifikasi bahasa, tetapi mengenal santun bahasa yang digunakan terhadap lawan bicara berdasarkan kategori usia, kekerabatan sosial, dan  pencerminan rasa hormat pada seseorang.  Penggunaan bahasa Osing di masyarakat lebih dominan pertama, digunakan dalam rumah tangga sebagai alat komunikasi dan interaksi  antar anggota rumah tangga. Dalam komunitas Osing, oleh anggotanya bahasa Osing digunakan  sebagai lambang identitas dan  pengembangan seni budaya daerah. Sedangkan dalam ranah umum seperti pemerintahan, pendidikan, penyuluhan, politik dan lain-lain, bahasa Indonesia digunakan lebih dominan sebagai alat berkomunikasi. Walau pada beberapa situasi terjadi proses alih bahasa dan pencampuran dengan bahasa daerah lain.
tari Tradisional Seblang
Akibat dari pencampuran berbagai bahasa, sekarang ini bahasa Osing memiliki 2 ragam bahasa. Yakni ragam biasa atau bahasa Osing dan ragam halus atau bahasa Jawa-Osing (orang Osing menyebutnya “besiki”).4    Dalam dialek bahasa Osing, kosakata pada bahasanya terdapat penekanan pada huruf, kekhususan  atau palatalisasi (pergeseran akibat pengaruh bahasa Madura), dan penambahan atau perubahan kata.
Adat dan Tradisi budaya “Suku Osing?
Di daerah Banyuwangi banyak sekali ditemukan adat dan tradisi yang hingga sekarang masih dilakukan. Tradisi dan adat inipun tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan mistis yang  diyakini dan kesenian yang telah diwariskan. Beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing selalu dipenuhi dengan iringan alat musik, tari, syair,  dan lagu. Berikut beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing di Banyuwangi5
1.     Tari Gandrung : Pertujukan tari sebagai ucapan syukur atas hasil panen
2.     Kebo-Keboan : Upacara adat untuk meminta kesuburan hasil panen
3.     Perang Bangkat  : Upacara adat saat prosesi perkawinan
4.     Geredhoan  : Tradisi mencari jodoh oleh pemuda-pemudi suku Osing
5.     Barong Idher Bumi  : Perayaan iring-iringan Barong untuk menolak balak
6.     Tari Seblang  : Pertunjukan tari untuk menolak balak
7.     Petik Laut/Larung Sesaji : Upacara adat sedekah laut oleh nelayan dan penduduk di pesisir

Wujud Budaya Artefak
Produk Kerajinan Tangan Khas Osing
Profesi dan mata pencaharian dalam masyarakat Osing yang sebagian besar merupakan petani dan nelayan. Selain itu ada juga beberapa mengambil profesi sebagai pedangang dan wiraswasta dalam industri  kerajinan tangan. Dalam bidang industri kerajinan tangan di Banyuwangi ini bisa dibilang masih tradisional, mulai dari proses, teknologi hingga hasil dari pembuatannya. Walaupun begitu, beragam kerajinan tangan dari masyarakat ini memiliki sebuah kekhasan dari daerahnya. Berikut beberapa kerajinan tangan khas Osing :
a. Motif batik Gajah Oling
Motif batik  Gajah Oling  ini merupakan motif batik khas dari Banyuwangi. Motif ini berbentuk sulur-sulur tanaman dan kembang di ujungnya. Motif ini terdapat pada kain batik sebagai baju/busana adat, seperti busana tari Gandrung, pakaian adat manten,  Seblang, dan lain-lain. Selain  sebagai motif pada kain, Gajah Oling  juga  terdapat pada ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing.
b. Tenunan dari serat pisang Abaca
Di desa Kemiren kecamatan Glagah,  terdapat sebuah  kerajinan tangan dari tenunan yang dibuat dengan  berbahan dasar serat pisang Abaca.  Pisang Abaca merupakan tanaman asli kepulauan  Phillipines dan Mindanao yang memiliki serat  tipis tapi sangat kuat. Abaca tidak menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi.  Karena tidak mudah putus, serat Abaca banyak dimanfaatkan untuk bahan  baku  tali tambang, kerajinan dan mebel.  Di Banyuwangi sendiri, tenunan dari Abaca ini dijadikan sebuah kerajinan yang menarik, seperti kap lampu, tirai,  taplak meja,  dan  tatakan makan hingga bantalan kursi
c. Alat musik Angklung
Tradisi Barong Ider Bumi
Angklung di Banyuwangi ini selain sebagai alat musik pengiring dalam pertunjukkan dan upacara adat, juga digunakan dalam mengiringi gerak ani-anian padi. Angklung  sekarang ini  berkembang sangat pesat dan mengalami banyak  varian seperti Angklung Paglak,  Angklung Tetak,  Angklung Dwi Laras  dan  Angklung  Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat  musik dan jenis nada yang dibawakannya. Namun semua adalah jenis angklung khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini.2
1.     Angklung Paglak : terbuat dari bilah-bilah bambu yang kemudian diatur dalam pangkan dengan nada  slendro  (Jawa).  Angklung Paglak  dahulu digunakan dalam  pesta perayaan panen, yang kemudian berkembang hingga menjadi  cikal bakal  kesenian angklung  di Banyuwangi. Paglak adalah gubuk kecil sederhana yang dibangun di sawah atau di dekat pemukiman. Paglak dibangun dari bambu dan dibangun sekitar 10 meter di atas tanah. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga padi dari  burung. Petani biasanya menjaga  sawah sembari bermain alat musik angklung dalam paglak tersebut. Karena itu, seni ini disebut angklung paglak.
2.     Angklung Dwi Laras  :  Merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
3.     Angklung Blambangan :  Angklung Blambangan merupakan improvisasi dari angklung      caruk. Terdapat instrumen musik termasuk gong dan alat musik Gandrung.
Rumah Adat
Di  Banyuwangi,  desa yang masih menggunakan rumah adat  ialah  Desa Kemiren, Kecamatan Glagah dan Desa  Aliyan, Kecamatan  Rogojampi.  Rumah Osing memiliki tampilan ruang yang sederhana dan identik dengan rumah  kampung. Hal ini berkaitan erat dengan struktur sosial pada masyarakat Osing yang mewakili lapisan masyarakat biasa.
a. Konsep bentuk Rumah Adat Osing
Karakteristik rumah Osing terletak pada  bentuk dasar rumah  tersebut sekaligus dalam susunan  secara  berurutan  dari depan ke belakang sesuai dengan susunan  ruangnya.  Bentuk atapnya juga merupakan indikator utama dalam membedakan bentuk dasar rumah Osing. Arsitektur rumah Osing  dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu  Tikel  Balung, Baresan  dan Cerocogan.  Pola ruanganya sendiri terbagi menjadi 3 susunan ruang, yaitu  Bale (ruang tamu), Jrumah  (kamar)  dan  Pawon  (dapur). Sedangkan bagian luar rumah terdiri dari Amper (teras), Ampok (teras samping kanan-kiri).
Rumah Adat Suku Osing
Konsep ruang  pada rumah Osing ini  disesuaikan dengan fungsi dan  aktivitas  keluarga didalamnya,  sebagai wadah  dan sandang pemenuhan hidup  sehari-hari.  Konsep rumah Osing ini dipengaruhi oleh penilaian  makna kegiatan yang dilakukan serta siapa yang menghuni atau melakukan kegiatan di ruang tersebut.
b. Struktur bangunan pada rumah Osing
Struktur utama rumah Osing berupa susunan rangka 4 tiang (saka) kayu dengan sistem tanding  tanpa paku, tetapi menggunakan  paju  (pasak pipih).  Penutup atap menggunakan genteng kampung (sebelumnya adalah  welitan  daun kelapa), dan biasanya masih  berlantai tanah. Dinding samping dan belakang serta partisi rumah Osing menggunakan anyaman  bambu (gedheg).
c. Ornamen dan Ragam hias
Rumah Osing yang memiliki  ornamen biasanya menunjukkan status ekonomi pemiliknya lebih baik. Ornamen yang ada banyak terbuat dari pahat dan ukiran kayu, dengan bentuk yang geometris dan  motif flora. Ornamen dengan motif flora terdiri  dari  Peciringan (bunga matahari), Anggrek,  dan  Ukel  (sulur-suluran) seperti pakis, anggrek atau  kangkung. Motif geometris antara lain Slimpet (swastika) dan Kawung.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria






 Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Mandau Senjata Khas Suku Dayak Memiliki Kekuatan Mistis



 Nusantaraku.com-Suku Dayak merupakan suku yang ada di di pulau kalimantan tidak hanya Indonesia, namun juga negara-negara di pulau kalimantan seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Jika anda termasuk orang yang menetap di daerah kalimantan, maka anda sangat tidak asing lagi dengan masyrakat dayak, karena hampir diseluruh penjuru pulau borneo , anda akan menjumpai yang namanya Suku Dayak.

Jika anda belum pernah menjumpai suku dayak, mungkin akan banyak khayalan anda mengenai suku dayak, namun perlu diketahui bahwa kehidupan dayak saat ini sangat modern kecuali suku dayak yang benar-benar berada jauh di pedalaman yang masih sangat tradisional. Walau sangat tradisional namun peradaban modern masih bisa di rasakan juga. Berbicara tentang suku dayak maka sangat erat hubungannya dengan senjata khas suku dayak yaitu mandau.  Mandau merupakan senjata khas suku Dayak yang memiliki kekuatan mistis tinggi’

Pada zaman dayak kuno yaitu zaman pada saat para tetua leluhur suku dayak, mandau merupakan sebuah senjata yang memiliki kekuatan yang sangat sakti. Mandau mampu membuat tanah bergetar dan bergoyang, Mandau mampu membuat air sungai naik menuju daratan, dan tentunya yang mungkin sudah sering anda dengar bahwa mandau mampu terbang yang dapat menebas apapun. Istilahnya bahwanya mandau merupakan sebuah senjata yang memiliki sesuatu kekuatan gaib dan mistik, sehingga pada zaman leluhur suku dayak, mandau dijadikan jimat keselamatan bagi mereka.

 
Yang yang menjadi perbedaan mandau jaman dayak kuno dengan zaman dayak modern ? tentu itu yang menjadi pertanyaan besar bagi sebagian orang. Pada zaman leluhur dayak, lempengan bilah mandau pada masa itu dibuat dari lempangan tembaga asli kalimantan. Mandau jenis ini tidak dimiliki sembarang orang, karena hanya orang-orang tertentu saya yang dapat memiliki mandau ini yaitu mereka yang memiliki ilmu yang tinggi. Berbeda dengan era sekarang, mandau yang ada sekarang sebagian besar di buat dengan menggunakan bahan besi namun mandau dengan bahan tembaga masih bisa di temukan di bumi kalimantan.

Bentuk mandau sangat menyerupai pedang yang kira-kira memiliki panjang sekitar 120 cm. Berbeda dengan sarung-sarung wadah sanjata lainnya, sarung mandau identik dengan warna alami coklat kayu. Ganggang pegangan mandaupun memiliki khas tersendiri, jadi jika diperlihatkan gambar atau diperlihatkan senjata ini secara langsung , pasti orang lain sudah bisa menebak bahwa itu adalah mandau.Penduduk dayak kalimantan sendiri, sudah pasti memiliki mandau dalam kehidupan sehari-harinya.


Mandau pada era ini, sebagian besar digunakan untuk mempertahankan diri dan juga sering di bawa kemana-mana oleh suku dayak, namun ada juga ada yang meninggalkannya di rumah. Namun, sebagian orang, terkhusus para tetua-tetua adat suku dayak dan orang-orang memiliki ilmu, masih memiliki mandau yang memiliki kekuatan gaib dan mistis. Unttuk mandau biasa, anda bisa menjumpai banyak di daerah kalimantan khususnya yang sebuah kios yang menjual pernak-pernik dayak dan jangan khawatir itu tidak mistis. 

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria







Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585



 
                    

Komunitas Suku Dayak, Identitas Pulau Kalimantan

Nusantaraku.com-Sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan memiliki sejuta pesona yang akan membuat kita terkagum-kagum dan bangga untuk menjadi orang Indoneia.
Sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan memiliki sejuta pesona yang akan membuat kamu kagum dan bangga menjadi orang Indonesia. Bukan hanya kekayaan alamnya saja yang melimpah dan menjanjikan, Kalimantan juga menyimpan wujud kearifan lokal yang masih terpelihara dengan baik dan selalu dijaga oleh masyarakat adat di sana sebagai sebuah warisan leluhur yang wajib dilestarikan.

Pulau Kalimantan dihuni oleh suku asli Dayak yang hingga saat ini masih mendiami rimba dan pedalaman Kalimantan. Sebagai wilayah yang banyak dialiri oleh sungai-sungai besar di sepanjang hutan pedalaman Kalimantan, maka tak heran bila penduduk asli Kalimantan memiliki budaya maritim yang lekat di dalam kehidupan sehari-harinya.
Kata "Dayak" sendiri hingga saat ini masih sering diperdebatkan maknanya, sebagian orang mengatakan bahwa "Dayak" berarti manusia, sementara sebagian besar lainnya mengartikannya sebagai pedalaman. Di dalam masyarakat Kalimantan sendiri terdapat perbedaan makna tersebut, di mana orang Dayak Tunjung dan Benuaq mengartikan "Dayak" sebagai hulu sungai, sementara di sisi lain masyarakat Dayak Iban mengartikannya sebagai manusia.
Pada dasarnya di Pulau Kalimantan terdapat banyak suku Dayak yang dibedakan menjadi rumpun-rumpun tertentu, namun kebanyakan orang membaginya di dalam 6 rumpun terbesar saja, antara lain: rumpun Klemantan (kalimantan), rumpun Iban, rumpun Apokayan (Dayak Kayan, Dayak Kenyah dan Dayak Bahau), rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju, dan rumpun Punan. Di antara keenam rumpun tersebut yang menjadi rumpun terbanyak adalah suku Dayak Kenyah yang memiliki aksesoris yang dijadikan sebagai perhiasan bagi tubuh mereka.

Upacara Adat
Suku dayak merupakan suku yang memiliki keunikan dan kedekatan yang sangat kental dengan alam di sekitar mereka, hal ini dapat kita lihat dengan adanya beragam upacara adat yang sering digelar di antara mereka. Di dalam pelaksanaannya, upacara adat merupakan sebuah perwujudan ritual yang dilaksanakan dengan tujuan tertentu demi mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan atau sebagai sebuah ungkapan syukur kepada Tuhan dan juga leluhur.

1.Pekan Gawai Dayak

Gawai Dayak merupakan serangkaian upacara adat yang dilaksanakan sesudah panen dan rutin dilakukan setiap tangga 20 Mei oleh suku Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat. Upacara ini layaknya upacara pesta panen yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia di wilayah lain, seperti Sumatra dan Jawa.  Gawai dayak dilaksanakan sebagai sebuah ungkapan syukur dan rasa terima kasih kepada Jubata (Tuhan) atas hasil panen melimpah yang telah didapatkan.
Pada dasarnya Gawai Dayak merupakan sebuah upacara tahunan yang digelar di semua perkampungan / wilayah yang terdapat di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya adalah suku Melayu dan Dayak. Pelaksanaan upacara ini dilakukan pada masing-masing wilayah dengan nama yang berbeda-beda di mana orang-orang menamainya dengan Gawai, Naik dango, Maka Dio dan Pamole Beo.

Perayaan upacara ini akan dilakukan oleh seluruh penduduk kampung yang dipimpin oleh seorang tetua adat atau tetua kampung sebagai pemimpin ritual. Dalam pelaksanaannya pemimpin ritual akan memanjatkan doa-doa dan mantra kepada roh para leluhur di dalam bahasa Dayak. Pembacaan doa ini akan diakhiri dengan acara makan bersama, di mana beragam hidangan dan panganan khas suku Dayak akan disajikan sebagai santapan.

Di dalam pelaksanaannya, Gawai Dayak merupakan sebuah rangkaian ritual adat yang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Upacara ini akan dilakukan secara bertahap dan memakan waktu yang lama sekitar tiga bulan, dalam rentang waktu April-Mei-Juni. Hal ini tentu saja membuat beberapa tokoh masyarakat kemudian berinisiatif untuk menggelarnya secara bersamaan ditiap wilayah sehingga pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda) yang salah satu tugasnya adalah menggelar dan mengonsep pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak. Untuk pertama kalinya upacara syukur sesudah panen di daerah masing-masing wilayah Kalimantan Barat diadakan secara serentak, tepatnya pada 30 Juni 1986. Sekberkesda menyelenggarakan pergelaran kesenian Dayak yang pertama kalinya di Pontianak dan upacara tersebut dinamai Gawai Dayak dan sejak saat itu ditetapkanlah tanggal 20 Mei sebagai hari pelaksanaan Gawai Dayak setiap tahunnya.

Gawai Dayak merupakan perayaan acara syukur sesudah panen di tingkat Provinsi, di mana semua suku Dayak dari berbagai daerah berkumpul bersama untuk merayakan upacara ini secara bersama-sama. Di dalam perayaan Gawai dayak, beragam perlombaan tradisional dihelat, seperti: pertunjukkan tarian dan nyanyian dari daerah masing-masing peserta, serta pameran barang-barang kebudayaan dan makanan khas dari tiap-tiap daerah. Gawai Dayak merupakan sebuah perayaan meriah yang menyatukan semua masyarakat Dayak. 

Pada tahun 1992 nama Gawai Dayak diubah menjadi Pekan Gawai Dayak, di mana perayaan ini dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan penuh. Pekan Gawai Dayak merupakan sebuah pesta tahunan yang paling ditunggu-tunggu baik oleh masyarakat Dayak maupun masyarakat umum, karena perayaan ini bukan hanya sebagai sebuah sarana mempererat hubungan antar suku Dayak tetapi juga sebagai sarana hiburan bagi masyarakat umum dan sebagai upaya untuk tetap melestarikan budaya leluhur.

2. Upacara Tabur Beras Kuning

Ini merupakan sebuah ritual yang dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan diri di saat dalam kondisi terdesak. Pada umumnya ritual ini dilakukan oleh suku Dayak Manyaan atau yang dikenal juga sebagai Suku Dayak Barito Timur. Di dalam pelaksanaannya, Tabur Beras Kuning dimaksudkan sebagai sebuah ritual pemanggilan terhadap roh-roh para leluhur yang dilakukan hanya pada saat suku Dayak Manyaan membutuhkan perlindungan / dalam kondisi terdesak. Hal tersebut juga menandakan bahwa upacara ini bukanlah sebuah upacara yang dapat dilakukan dengan sembarangan.

Tradisi dan Aksesoris
1. Tato (Obor)

Bagi suku dayak, tato atau yang lazim disebut "obor" merupakan sebuah tanda yang lekat hubungannnya dengan tradisi, religi dan status sosial yang mereka miliki. Dengan alasan-alasan tersebut, maka tato di dalam masyarakat Dayak adalah suatu hal yang tidak bisa dibuat secara sembarangan karena memiliki arti yang sangat mendalam.

Tato di dalam suku Dayak bisa dimiliki oleh kaum lelaki dan perempuan yang di mana pembuatannya sendiri masih dilakukan dengan cara tradisional dan sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku. Di dalam pembuatannya, tato tradisional suku Dayak dibuat dengan menggunakan duri buah jeruk yang panjang, namun saat ini pembuatannya bisa menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Satu hal yang tidak berubah di dalam pembuatan tato adalah bahan yang digunakan tetap jelaga dari periuk yang berwarna hitam. Semakin banyak tato, "Obor" yang dimiliki, maka akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang.
2. Aksesoris

Suku Dayak Kenyah merupakan suku Dayak yang memiliki aksesoris sebagai perhiasan tubuh mereka. Umumnya aksesoris ini berupa perhiasan manik-manik yang terbuat dari batu alam. Dahulu batu-batu ini dibentuk dengan tangan dan tanpa bantuan mesin, sehingga warnanya kusam bila dibandingkan dengan manik-manik modern yang dibuat di pabrik. Perbedaan lainnya adalah berat di bebatuan dan manik-manik tersebut, jika ingin membuktikan bahwa manik-manik tersebut asli dari Suku Dayak atau bukan, maka haruslah dilakukan tes dengan cara membakarnya.

Suku dayak merupakan salah satu suku yang memiliki kedekatan yang sangat erat dengan alam, mereka hidup di pedalaman Kalimantan bersama dengan kekayaan alam yang terdapat di sana. Untuk melihat Suku Dayak dan kehidupan yang mereka jalani, kamu bisa mendatangi Desa Budaya Pampang di Samarinda dan Festival Budaya Capgomeh di Singkawang. Bila kamu ingin melihat langsung kehidupan Suku Dayak, bisa memakan waktu perjalanan 2-3 hari untuk menyusuri sungai di Kalimantan. 

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria





.
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585