Selasa, 15 November 2016

Komunitas Suku Osing, dan Ragam Budayanya

Suku Osing, Banyuwangi
Nusantaraku.com-Sebagian besar masyarakat Osing  beragama Islam, dan setengahnya lagi beragama Hindhu  dan Budha.  Penduduk suku Osing  ini  masih menganut kepercayaan  turun temurun dahulu sebelum datangnya Islam.  Suku Osing merupakan keturunan dari  kerajaan Majapahit yang memiliki kepercayaan pada agama Hindhu dan Budha. Masyarakat Osing percaya pada para roh leluhur, reinkarnasi, moksa, dan hukum karma. Mereka juga percaya kepada roh yang dipuja (danyang) di sebuah tempat disebut Punden yang biasanya ada di bawah pohon atau batu besar.1 Namun saat ini agama mayoritas masyarakat Osing adalah Islam, hal tersebut akibat berkembangnya kerajaan Islam di daerah Pantura (Pantai Utara).
Kepercayaan Mistis yang diyakini “Suku Osing”
Masyarakat  Osing masih memegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan hal  mistis,  ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar  tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya sebelum Islam. Dalam makalahnya mengenai  Perancangan film Dokumenter:  Tribute to East Java, Evan Permana menyebutkan beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan dunia mistis2 antara lain:
1.     Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/ Jaran Goyang.  Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang  terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang  menyukainya.  Image  bahwa jika seseorang  disukai oleh orang yang berasal  dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. Padahal mitos ini hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka.
2.     Selametan  setiap hari  Senin dan  Kamis di makam Buyut Cili yang dilakukan  oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis melaksanakan suatu acara.
3.     Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan kepada perhitungan  dan hari baik dan buruk, serta tanda tanda alam yang terbaca.
Tradisi Kebo-Keboan
4.     Tata cara selamatan yang sering kali dilaksanakan setiap hari tertentu dan pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada daerah lain.
5.     Adanya kepercayaan tentang  santet  dan ilmu hitam lainnya bila kita dianggap  menyakiti orang yang berasal dari suku Osing.
Penduduk suku Osing juga sebagian masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan  yang kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina. Sistem kepercayaan di suku Osing masih mengandung unsur  Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.1
Terbukanya suku Osing dalam menerima pengaruh dari luar ini membuat kepercayaan mistis dan agama masih bercampur. Suku Osing merupakan suku yang masih menjaga tradisi dan kepercayaan dahulu,  dan tetap bisa menerima agama Islam yang masuk ke wilayahnya saat itu.
Wujud Budaya Tindakan
Bahasa Osing
Suku Osing menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang dinamakan “bahasa Osing”, yang merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa Kuno yang dahulu digunakan pada masa kerajaan Majapahit.  Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali yang tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup  sampai abad ke-20.3 Namun bahasa Osing menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa, dengan penekanan pada beberapa huruf. Pada perkembangannya saat ini, bahasa Osing semakin lama semakin jarang digunakan dan menyusut.
Terjadi dimensi perubahan diakibatkan masuknya bahasa Jawa dan Madura dari masyarakat pendatang. Hal ini  mengakibatkan terjadinya keanekaragaman bahasa dalam masyarakat Banyuwangi, dan  muncul masalah mengenai keanekabahasan dan masalah sosiolinguistik lainnya. Dimana proses persentuhan bahasa ibu dan bahasa pendamping menimbulkan  ketumpangtindihan (overlapping), alih kode dan campur kode.Walau terjadi percampuran bahasa di daerah Banyuwangi, bahasa Osing masih dapat ditemukan pada beberapa daerah di kecamatan paling timur di Banyuwangi. Beberapa penduduknya masih menggunakan bahasa Osing  dalam berinteraksi antar warganya.
Masyarakat Osing tidak mengenal hierarki ataupun stratifikasi bahasa, tetapi mengenal santun bahasa yang digunakan terhadap lawan bicara berdasarkan kategori usia, kekerabatan sosial, dan  pencerminan rasa hormat pada seseorang.  Penggunaan bahasa Osing di masyarakat lebih dominan pertama, digunakan dalam rumah tangga sebagai alat komunikasi dan interaksi  antar anggota rumah tangga. Dalam komunitas Osing, oleh anggotanya bahasa Osing digunakan  sebagai lambang identitas dan  pengembangan seni budaya daerah. Sedangkan dalam ranah umum seperti pemerintahan, pendidikan, penyuluhan, politik dan lain-lain, bahasa Indonesia digunakan lebih dominan sebagai alat berkomunikasi. Walau pada beberapa situasi terjadi proses alih bahasa dan pencampuran dengan bahasa daerah lain.
tari Tradisional Seblang
Akibat dari pencampuran berbagai bahasa, sekarang ini bahasa Osing memiliki 2 ragam bahasa. Yakni ragam biasa atau bahasa Osing dan ragam halus atau bahasa Jawa-Osing (orang Osing menyebutnya “besiki”).4    Dalam dialek bahasa Osing, kosakata pada bahasanya terdapat penekanan pada huruf, kekhususan  atau palatalisasi (pergeseran akibat pengaruh bahasa Madura), dan penambahan atau perubahan kata.
Adat dan Tradisi budaya “Suku Osing?
Di daerah Banyuwangi banyak sekali ditemukan adat dan tradisi yang hingga sekarang masih dilakukan. Tradisi dan adat inipun tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan mistis yang  diyakini dan kesenian yang telah diwariskan. Beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing selalu dipenuhi dengan iringan alat musik, tari, syair,  dan lagu. Berikut beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing di Banyuwangi5
1.     Tari Gandrung : Pertujukan tari sebagai ucapan syukur atas hasil panen
2.     Kebo-Keboan : Upacara adat untuk meminta kesuburan hasil panen
3.     Perang Bangkat  : Upacara adat saat prosesi perkawinan
4.     Geredhoan  : Tradisi mencari jodoh oleh pemuda-pemudi suku Osing
5.     Barong Idher Bumi  : Perayaan iring-iringan Barong untuk menolak balak
6.     Tari Seblang  : Pertunjukan tari untuk menolak balak
7.     Petik Laut/Larung Sesaji : Upacara adat sedekah laut oleh nelayan dan penduduk di pesisir

Wujud Budaya Artefak
Produk Kerajinan Tangan Khas Osing
Profesi dan mata pencaharian dalam masyarakat Osing yang sebagian besar merupakan petani dan nelayan. Selain itu ada juga beberapa mengambil profesi sebagai pedangang dan wiraswasta dalam industri  kerajinan tangan. Dalam bidang industri kerajinan tangan di Banyuwangi ini bisa dibilang masih tradisional, mulai dari proses, teknologi hingga hasil dari pembuatannya. Walaupun begitu, beragam kerajinan tangan dari masyarakat ini memiliki sebuah kekhasan dari daerahnya. Berikut beberapa kerajinan tangan khas Osing :
a. Motif batik Gajah Oling
Motif batik  Gajah Oling  ini merupakan motif batik khas dari Banyuwangi. Motif ini berbentuk sulur-sulur tanaman dan kembang di ujungnya. Motif ini terdapat pada kain batik sebagai baju/busana adat, seperti busana tari Gandrung, pakaian adat manten,  Seblang, dan lain-lain. Selain  sebagai motif pada kain, Gajah Oling  juga  terdapat pada ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing.
b. Tenunan dari serat pisang Abaca
Di desa Kemiren kecamatan Glagah,  terdapat sebuah  kerajinan tangan dari tenunan yang dibuat dengan  berbahan dasar serat pisang Abaca.  Pisang Abaca merupakan tanaman asli kepulauan  Phillipines dan Mindanao yang memiliki serat  tipis tapi sangat kuat. Abaca tidak menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi.  Karena tidak mudah putus, serat Abaca banyak dimanfaatkan untuk bahan  baku  tali tambang, kerajinan dan mebel.  Di Banyuwangi sendiri, tenunan dari Abaca ini dijadikan sebuah kerajinan yang menarik, seperti kap lampu, tirai,  taplak meja,  dan  tatakan makan hingga bantalan kursi
c. Alat musik Angklung
Tradisi Barong Ider Bumi
Angklung di Banyuwangi ini selain sebagai alat musik pengiring dalam pertunjukkan dan upacara adat, juga digunakan dalam mengiringi gerak ani-anian padi. Angklung  sekarang ini  berkembang sangat pesat dan mengalami banyak  varian seperti Angklung Paglak,  Angklung Tetak,  Angklung Dwi Laras  dan  Angklung  Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat  musik dan jenis nada yang dibawakannya. Namun semua adalah jenis angklung khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini.2
1.     Angklung Paglak : terbuat dari bilah-bilah bambu yang kemudian diatur dalam pangkan dengan nada  slendro  (Jawa).  Angklung Paglak  dahulu digunakan dalam  pesta perayaan panen, yang kemudian berkembang hingga menjadi  cikal bakal  kesenian angklung  di Banyuwangi. Paglak adalah gubuk kecil sederhana yang dibangun di sawah atau di dekat pemukiman. Paglak dibangun dari bambu dan dibangun sekitar 10 meter di atas tanah. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga padi dari  burung. Petani biasanya menjaga  sawah sembari bermain alat musik angklung dalam paglak tersebut. Karena itu, seni ini disebut angklung paglak.
2.     Angklung Dwi Laras  :  Merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
3.     Angklung Blambangan :  Angklung Blambangan merupakan improvisasi dari angklung      caruk. Terdapat instrumen musik termasuk gong dan alat musik Gandrung.
Rumah Adat
Di  Banyuwangi,  desa yang masih menggunakan rumah adat  ialah  Desa Kemiren, Kecamatan Glagah dan Desa  Aliyan, Kecamatan  Rogojampi.  Rumah Osing memiliki tampilan ruang yang sederhana dan identik dengan rumah  kampung. Hal ini berkaitan erat dengan struktur sosial pada masyarakat Osing yang mewakili lapisan masyarakat biasa.
a. Konsep bentuk Rumah Adat Osing
Karakteristik rumah Osing terletak pada  bentuk dasar rumah  tersebut sekaligus dalam susunan  secara  berurutan  dari depan ke belakang sesuai dengan susunan  ruangnya.  Bentuk atapnya juga merupakan indikator utama dalam membedakan bentuk dasar rumah Osing. Arsitektur rumah Osing  dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu  Tikel  Balung, Baresan  dan Cerocogan.  Pola ruanganya sendiri terbagi menjadi 3 susunan ruang, yaitu  Bale (ruang tamu), Jrumah  (kamar)  dan  Pawon  (dapur). Sedangkan bagian luar rumah terdiri dari Amper (teras), Ampok (teras samping kanan-kiri).
Rumah Adat Suku Osing
Konsep ruang  pada rumah Osing ini  disesuaikan dengan fungsi dan  aktivitas  keluarga didalamnya,  sebagai wadah  dan sandang pemenuhan hidup  sehari-hari.  Konsep rumah Osing ini dipengaruhi oleh penilaian  makna kegiatan yang dilakukan serta siapa yang menghuni atau melakukan kegiatan di ruang tersebut.
b. Struktur bangunan pada rumah Osing
Struktur utama rumah Osing berupa susunan rangka 4 tiang (saka) kayu dengan sistem tanding  tanpa paku, tetapi menggunakan  paju  (pasak pipih).  Penutup atap menggunakan genteng kampung (sebelumnya adalah  welitan  daun kelapa), dan biasanya masih  berlantai tanah. Dinding samping dan belakang serta partisi rumah Osing menggunakan anyaman  bambu (gedheg).
c. Ornamen dan Ragam hias
Rumah Osing yang memiliki  ornamen biasanya menunjukkan status ekonomi pemiliknya lebih baik. Ornamen yang ada banyak terbuat dari pahat dan ukiran kayu, dengan bentuk yang geometris dan  motif flora. Ornamen dengan motif flora terdiri  dari  Peciringan (bunga matahari), Anggrek,  dan  Ukel  (sulur-suluran) seperti pakis, anggrek atau  kangkung. Motif geometris antara lain Slimpet (swastika) dan Kawung.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria






 Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Tidak ada komentar:

Posting Komentar