Senin, 14 November 2016

Menelusuri Jejak Sejarah Negeri Blambangan

Tirtayatra Blambangan
Nusantaraku.com-Nama Blambangan, ada beberapa pendapat yang mendefinisikan asal usul dari kata atau nama Blambangan  tersebut, yang  pertama berasal dari kata Balumbung yang bermakna; lumbung padi, memang sejak dahulu kala Blambangan sampai dengan sekarang merupakan salah satu daerah yang menjadi stok pangan nasional. Pendapat kedua tentang arti kata Blambangan, yaitu Malambangan yang artinya mengalirnya darah perjuangan rakyat blambangan dalam mengusir kekuatan asing, baik itu dari Demak, Mataram, Bali, Bugis Makasar, maupun kekarasan imperialisme Belanda. Adapun sebutan Blambangan dari berita –berita asing, baik itu dari Portugis maupun Inggris dan Belanda disebut Belambuan, kemudian dalam perkembangan-nya kata ini menjadi sebutan Blambangan.

Asal usul kerajaan Blambangan ditinjau dari realitas sejarah.
Kerajaan Blambangan, dalam perjalananya tidak terlepas dengan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan antar nusa kedua, yang berdiri tahun 1293, sedangkan Blambangan diperkirakan berdiri dua tahun setelahnya yaitu pada Tahun 1295, berdirinya kerajaan Blambangan ini terkait dengan gugatan Aria Wiraraja terhadap Raden Wijaya Raja Majapahit, dimana tuntutan itu berawal kesepakatan jika kerajaan Majapahit telah terbentuk harus mengembalikan kekuasaan dinasti Rajasa yang direbut Jayakatwang dari gelang –gelang Kediri, dengan keputusan bahwa kerajaan Majapahit yang telah berdiri  itu nantinya akan dibagi dua. Adapun yang menjadi pemicu motivasi tuntutan Aria Wiraraja terhadap Raden Wijaya berawal dari pemberontakan Ronggolawe, yang saat itu sebagai Adipati Tuban pada tahun 1295. Berdasarkan kidung Ronggolawe, sebenarnya Ronggolawe adalah putra dari Aria Wiraraja, Adipati Sumenep yang berada di Madura, pemberontakan itu berawal dari ketidak sepahaman tentang pengangkatan Rakiyan Empu nambi, menjadi Maha Patih Majapahit, menurut pandangan Ronggolawe, Rakiyan empu Nambi dianggap tidak pantas, karena kontribusi jasa di saat pendirian kerajaan Majapahit kurang begitu besar. Menurut Rongolawe yang lebih pas menduduki jabatan itu adalah Lembu Sora, pamannya atau Ronggolawe sendiri. Pemberontakan ini telah di halangi sebelumnya oleh Aria Wiraraja, dengan pertimbangan akan menjadi pemberontak dan preseden buruk bagi Ronggolawe yang akan mengalami reinkarnasi, namun karena sikap Ronggolawe yang tergolong ksatria, dengan segala resiko akhirnya dirinya tidak mengindahkan nasehat dari Aria Wiraraja, dia tetap memegang prinsip  meskipun ia sudah mengetahui konswekensinya. Kondisi ini diperparah oleh intrik dari Mahapati kerajaan yang sangat ambisius agar  orang-orang  terbaik  Majapahit yang menjadi rivalnya itu dapat tersingkirkan.

Meskipun pada akhirnya saat terjadi perebutan kekuasaan para ksatria Majapahit tersingkir dengan sendirinya. Kepulangan Ronggolawe dari sidang istana waktu itu, akhirnya berbuntut malapetaka, dengan terjadinya pertempuran di sungai tambak beras daerah Tuban, awalnya pasukan Majapahit kocar-kacir menghadapi prajurit Tuban, namun setelah majunya senopati majapahit, yang bernama Kebo Anabrang sebagai mantan komandan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 yang diunggulkan, pertempuran antara kebo Anabarang dengan Ronggolawe berjalan seimbang, namun lama kelamaan Ronggolawe kewalahan, saat itu dengan kekuatannya Kebo Anabrang menghimpit Ronggolawe dengan kepala yang dicelupkan ke sungai Tambak beras telinganya berdarah, sehingga sungai tambak beras berwarna merah. Lembu Sora tak kuasa melihat keponakannya yang terdesak dan akhirnya kalah ikut bertarung dan menusuk Kebo Anabrang, dan kedua ksatria tersebut harus mati sia-sia, melihat peristiwa ini menjadikan Raden Wijaya hatinya menjadi pilu, akibat dari intrik ambisi untuk mendapatkan kekuasaan  sang Mahapati  atau lebih dikenal Ramapati insiden ini menimbulkan banyak korban.

Raden Wijaya sebagai penguasa Majapahit yang konsisten tetap menepati janji kesepakatan awal, yang akhirnya menyepakati kerajaan Majapahit di bagi dua Aria Wiraraja diberi kekuasaan daerah Lumajang utara, dan daerah lumajang selatan serta daerah Tigang Juru, yang didalamnya adalah wilayah Blambangan, dengan pusat pemerintahan awal yang berkedudukan di Lumajang  dan Aria Wiraraja dinobatkan sebagai raja Blambangan pertama.

Nama Kerajaan Blambangan secara pasti berdasarkan sumber dari prasasti, salah satunya terdapat dalam prasasti Jayanegara II atau disebut prasasti Bukit Lamongan, sebagai akibat penumpasan pemberontakan Nambi di lumajang pada tahun 1313, setelah benteng Pajarakan dihancurkan oleh Majapahit, dan benteng pertahanan terakhir Nambi, di bukit Lamongan, juga dihancurkan maka Jayanegara, Raja Majapahit II, mengeluarkan prasasti Lamongan atau disebut Prasati Jayanegara II, yang isinya:
1.    Menarik kembali wilayah yang dipinjamkan kepada Aria Wiraraja;
2.Menjadikan wilayah Blambangan, menjadi daerah swatantra/ atau Blambangan diberi otonomi  tidak berdiri sendiri tetapi menjadi bagian dari Majapahit.

Pemberontakan Kerajaan Blambangan terhadap Kerajaan Majapahit.
Perang Paregreg yang terjadi pada Tahun 1401-1406, antara Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon.

Peristiwa ini berawal dari perebutan kekuasaan setelah meninggalnya raja terbesar Majapahit, yakni Hayam Wuruk sebagai antisipasi perpecahan Bhre Wirabumi sebagai putra dari istri selir diberi kedudukan sebagai penguasa di kedato wetan (Blambangan), sedangkan Putri dari Permaisuri yang bernama Kusumawardhani kawin dengan keponakan Hayam Wuruk, yang bernama Wikramawardhana menjadi penguasa di kedaton kulon (Majapahit), sepeninggal Hayam  Wuruk  hubungan antara kedua penguasa ini cukup harmonis, namun setelah Wikramawardhana melepaskan jabatan meninggalkan urusan duniawi, menjadi seorang pendeta kedukukan itu digantikan oleh putrinya yang bernama Dewi Suhita, mulai timbul keretakan hubungan antara kedaton kulon dan kedaton wetan yang saat itu diperintah oleh Bhre wirabumi yang merasa dirinya lebih berhak atas tahta tunggal Majapahit.

Tari Jangger, Khas Blambangan
Konflik internal ini kemudian dimanfaatkan oleh pihak asing, hal itu ditunjukan dengan intervensi dari Kekaisaran Mongol Cina. Sebagai bukti kedua kerajaan ini, untuk melangsungkan eksistensinya, mengirimkan utusan ke Cina. Pertama kedaton kulon yang diakui kedaulatannya dengan diberi stempel oleh Kaisar Cina. Selang berikutnya Bhre wirabumi  juga mengirimkan utusan ke Cina dan awalnya tidak diberi balasan. Kepentingan politik untuk campur tangan urusan internal Majapahit, pada akhirnya Cina pun memberikan pengakuan atas kedaulatan kedaton wetan (Blambangan) melalui pengiriman utusan di bawah pimpinan laksamana Cheng Ho untuk memberikan cap stempel kaisar kepada Bhre Wirabumi. 

Dukungan Cina tersebut mendorong Wikramawardhana mengirim utusan untuk menyerbu kedaton wetan di bawah pimpinan Raden Gajah. Pada saat penyerangan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Gajah terjadi insiden politik internasional; utusan cina sebanyak 170 orang tersebut akhirnya ikut terbunuh. Sedangkan Bhre Wirabumi tertangkap kemudian kepalanya dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Kepala Bhre Wirabumi ini dikebumikan di Desa Lung, dan dicandikan dengan sebutan nama Candi Giri Sapura yang terletak di daerah Trowulan, Mojokerto. Sehingga akibat peristiwa pemenggalan tersebut dalam cerita rakyat dan legenda di masyarakat Banyuwangi saat ini, terciptalah sebuah mitos Menak Jinggo dan Damarwulan.

Berikut beberapa pendapat seputar mitos tersebut. Ditinjau dari sejarah sastra tentang cerita Menak Jinggo dan Damarwulan berdasarkan penelitian serat Damarwulan yang tertua, dibuat pada tahun 1748 pada masa Pakubuwono II, dari Keraton Surakarta pecahan Mataram. Menurut Purbo Caroko ahli sejarah dan pilology, yang dimaksud Menak Jinggo adalah bentuk dari gugatan Aria Wiraraja kepada Raden Wijaya.Mitos Menak Jinggo dan Damarwulan.
Minak Jinggo

Menurut CC.Berg seorang Orientalis Belanda, kisah Menak Jinggo identik dengan pemberontakan Sadeng, yang dipimpin oleh Adipati Sadeng, sedangkan yang menumpas pemberontakan sadeng, adalah patih gajah mada dan adityawarman, Pada masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi Ibu Hayam Wuruk. Diluar surat perintah menumpas pemberontakan sadeng  ada elit penguasa Majapahit, diluar komando ingin menumpas sendiri pemberontakan sadeng, dia adalah Rakembar, Rakembar ini diidentikan dengan layang setro dan layang kumitir.
Menurut Stutterhim, Damarwulan diidentikan dengan suami Tribuanatunggadewi, yaitu Kerta Wardhana.

Menurut Brandess,  kisah Menak jinggo dan Damarwulan erat kaitannya dengan perang paregreg, Menak jinggo diidentikan dengan Bhre Wirabumi, sedang Damarwulan diidentikan dengan Raden Gajah, karena Raden Gajah tidak ada ikatan perkawinan dengan penguasa Majapahit, bahkan oleh Dewi Suhita, Raden Gajah tidak mendapatkan ganjaran malah dibunuh, karena Dewi Suhita memandang Bhre Wirabumi adalah kakek dari Dewi Suhita.    

Berdasarkan kajian analisa tersebut diatas sebenarnya tentang cerita Damarwulan dan Minak Jinggo adalah cerita fiktif belaka, yang dalam penciptaannya mungkin tergolong jenis sastra yang bernuansa politis. Ada beberapa kemungkinan, diantaranya, pertama, untuk memberikan pelajaran kepada elit penguasa mataram, yang pada waktu itu selalu berebut kekuasaan dan melupakan nasib rakyat. kemungkinan kedua, memberikan pelajaran kepada penguasa dan rakyat Blambangan, yang sering memberontak kepada penguasa baik pada masa Majapahit, Demak, Mataram, Bali, dan Belanda yang dalam cerita tersebut, pemberontak digambarkan sosok yang jelek dan ending-nya kepalanya dipenggal, sebagai shock therapy kepada rakyat Blambangan. Sedangkan kemungkinan ketiga, pengarang tidak bermaksud menjelekan etnis tertentu, melainkan murni sebagai keindahan karya sastra.

Blambangan dibawah bayang pengaruh Kekuasaan Kerajaan Demak dan Bali.
Raja terbesar demak yaitu Sultan Trenggono Pernah menyerang Blambangan sampai tiga kali penyerangan, bahkan sampai mengakibatkan Raja Demak Sultan Trenggono tahun 1546 Meninggal dunia atau Wafat ketika menyerang panarukan. Dengan demikian, Demak tidak berhasil menaklukan Blambangan.

Blambangan dibawah kekuasaan Bali, pasca kematian raja terbesar Blambangan yaitu Prabu Susuhunan Tawang Alun II (1691). Ketika terjadi perebutan kekuasaan di antara putra-putra prabu Tawang Alun yang mengakibatkan pemindahan Ibukota Blambangan dari Ibu kota Macan Putih ke Wijenan Singojuruh, adalah Anak Sosro Negoro pengganti Tawang Alun yang bernama Mas Purbo Atau Pangeran Danu Rejo untuk balas dendam kematian ayahnya akibat persekongkolan macan Apura dengan saudara – saudaranya. Danurejo meminta bantuan kekuasaan Raja Buleleng dengan pendaratan ki Panjisakti di pantai Tirto Rum dekat candi Bang untuk mengusir Macan Apura.

Mulai pada masa Danu Rejo inilah Blambangan berada dibawah Vasal Buleleng. Danurejo memindahkan Ibukota Blambangan di kota Lateng Rogojampi. Ibukota inilah merupakan pusat Ibukota Blambangan yang terlama selama 77 tahun. Setelah lepas dari kerajaan  Buleleng Blambangan juga jatuh ke kekuasaan Klungkung Atau Gel-Gel dan Mengwi. Anak Danurejo yang bernama Danuningrat diangkat sebagai Raja Oleh Dewa Agung dari Meng wi dan Adiknya Mas Sirno atau Wong Agung Willis diangkat menjadi Patih mendampingi kakaknya. Sedangkan untuk pengawasan Blambangan ditempatkanlah komandan pasukan Bali yang dipimpin oleh Ronggo Satoto yang mengepalai pasukan Blambangan.

Akibat, intrik kekuasaan Wong Agung Willis dicopot dari jabatannya Sebagai Patih Blambangan di ganti anaknya sendiri yaitu bernama Suta Wijaya. Danuningrat yang ingin lepas dari kekuasaan Meng wi pernah Minta bantuan kepada V.O.C. akan tetapi VOC belum tertarik menanamkan pengaruhnya di Blambangan.

Sebagai wujud bentuk perlawanan selain tidak taat kepada ketetapan keputusan Dewa Agung yang mempertahankan Wong Agung Willis, Suta Wijaya sebagai pengganti Wong Agung Willis membunuh Ronggo Satoto, Panglima Bali yang ditempatkan Di Blambangan. Peristiwa pembunuhan ini dalam babad Blambangan disebabkan akibat Adu Jangkrik. Hal ini sebenarnya berhubungan dengan intrik perebutan kekuasaan yang ingin lepas dari kekuasaan Meng wi. Sebagai akibat peristiwa, Danuningrat di panggil Oleh Raja Meng Wi dengan segala ancaman kemudian Danuningrat di bunuh di pantai Seseh Tabanan Bali.

Wong Agung Willis yang tersingkir dari percaturan politik di Blambangan menyingkir ke pesisir pantai manis, di wilayah  pantai selatan dekat Pancer, Pesanggaran. Pada waktu tentara Bugis, Makasar, mendirikan benteng di Bong Pakem, sebanyak delapan ribu tentara di bawah pimpinan Daeng Pagersah dan Daeng Pagaruyung. Ronggo satoto akhirnya meminta bantuan Wong Agung Willis untuk mengusir tentara Bugis Makasar.Pada waktu diminta bantuan oleh RonggoSatoto tersebut,Wong agung willis sedang mengaji kitab Suluk Sudarsih Awalnya permintaan Ronggo satoto itu ditolak Namun karena Patriotisme yang cukup tinggi mempertahankan Blambangan dari ancaman kekuasaan Bugis Makasar, sikap itu berubah tiba – tiba sewaktu shubuh Wong Agung willis yang berkoordinasi dengan Ronggosatoto mengadakan serangan kilat kekubu pertahanan Orang bugis makasar di bong Pakem.tentara Bugis makasar kocar kacir banyak yang meninggal. Bahkan, Dua pemimpinnya yaitu,Daeng Pagersah terbunuh sekarang makamnya ada di karang Rejo dekat jalan menuju pulau Santen sedangkan Daeng Pageruyung Juga terbunuh makamnya ada di Dusun Kramat kelurahan kertosari.

Blambangan di bawah kekuasaan Mataram.
Situs Ompak Songo
Mataram melakukan penyerangan secara besar besaran sebanyak tiga kali, yaitu tahun1635, 1639 dan 1640. Blambangan dapat dihancurkan. Coretan hitam Mataram terhadap Blambangan adalah pembunuhan terhadap Ajar Selakantoro dan Ajar Sekando, sebagai pemuka agama Hindu di Blambangan. Di samping itu, banyak orang-orang Blambangan yang ditangkap dan dipekerjakan secara kerja membangun Ibukota Mataram. Bukti sejarah menunjukan di daerah Jogjakarta dan Surakarta ada namanya kampung Gajah Pinggir. Orang orang Blambangan ditawan Mataram dan bahkan putri-putri Belambangan dijadikkan inang untuk menyusui dan mengasuh putra-putra Raja Mataram. Sampai sekarang di keraton Yogyakarta ada Kaputren Blambangan. Masalah ini di sembunyikan dalam sejarah karena bisa menimbulkan konflik antar daerah seperti imbas peristiwa Bubat.

Meskipun Mataram dapat menghancurkan Blambangan, dalam perkembangan selanjutnya tidak mampu mengontrol kekuasaan di Blambangan. Sebagai bukti ketidakmampuan Mataram dalam mengontrol Blambangan, di dalam cerita babad blambangan dijelaskan adanya kekalahan guru spiritual Raja Mataram Amangkurat I yang bernama Pangeran Kadilangu. Kadilangu adalah keturunan sunan Kalijogo dikalahkan oleh Ki bagus Wongso Karyo, guru Spiritual Prabu Tawang Alun. Di dalam adu kesaktian di Alun-Alun kerajaan Mataram, Pangeran Kadilangu terbunuh oleh senjata Ki Bagus wongso Karyo atau lebih terkenal dengan sebutan Buyut Cungking. Di samping itu kegagalan mataram terlihat dari tetap kuatnya penguasa-penguasa Blambangan masih memeluk agama Hindu.

Blambangan jatuh ke tangan VOC Th.1767
Blambangan pada era tahun 1760-an masih berada dalam pengaruh kekuasaan kerajaan Meng wi, sepeninggal Raja Danuningrat sedangkan Wong Agung Willis masih ada di pengasingan di pantai Selatan. Wakil penguasa Bali di Blambangan adalah Gusti Ngurah Ketut Kaba-Kaba, berkedudukan di ibukota Lateng. Penguasa Bali ini kurang mendapatkan dukungan politik rakyat Blambangan karena sikap perilaku politiknya kurang simpatik, sering menyakiti hati rakyat Blambangan. Rakyat Blambangan tetap menunggu kehadiran Wong Agung Willis untuk tampil kembali di bumi Blambangan.
Gusti Ngurah Ketut Kaba-Kaba menjalin hubungan dengan Inggris sehingga Inggris dengan mengijinkan Inggris membuka kantor dagang (di kota Banyuwangi ada kampong yang disebut dengan Inggrisan).

Ketut Kaba-Kaba sendiri oleh kompeni dianggap tidak mampu menjaga keamanan Blambangan dan membiarkan Blambangan sebaga sarang bajak laut, tempat pelarian orang-orang Bugis Makasar serta orang-orang China yang melarikan akibat pembantaian orang cina di Batavia, tahun1740.

Pada pertengahan abad ke-17, berdasarkan laporan mata-mata Kompeni Belanda di Probolinggo mengatakan bahwa pedagang dari Inggris seringkali datang melakukan transaksi dagang di sekitar pelabuhan utama Blambangan. Laporan ini menjadi salah satu alasan dasar penguasa Belanda di Jawa bersikeras untuk menaklukan Blambangan. Permohonan Gubernur Semarang untuk menaklukan Blambangan disetujui oleh Gubernur Jenderal di Batavia. Pengerahan pasukan segera dilakukan oleh Blanke yang ditunjuk sebagai komandan pasukan ekspedisi militer ke Blambangan. Dalam pasukan militer ini, kolonial Belanda mengikut sertakan pasukan dari bupati–bupati di Jawa Timur, seperti, Madura Barat, Sumenep, Surabaya, Pasuruan, Bangil, dan Probolinggo. Blanke dengan pasukannya berangkat dari Semarang tanggal 17 Februari 1767 untuk kemudian bergabung dengan pasukan dari para Bupati di Jawa Timur.

Gerakan pasukan kompeni dan sekutunya berangkat dari Panarukan tanggal 13 Maret 1767; berhasil menduduki Banyu Alit Pada tanggal 21 Maret 1767. Beberapa hari kemudian, tanggal 25 Maret 1767, ibukota kerajaan Blambangan yaitu, kota Lateng, dapat di rebut oleh Kompeni. Dua orang kepala daerah perwakilan Meng wi di Blambangan yaitu Gusti Kutho Bedah dan Gusti ngurah ketut Kaba-kaba tetap melakukan perlawanan menyingkir ke Ulupangpang. Gusti Ngurah ketut Kaba-kaba mengadakan perang puputan. Sebagai suatu yang sangat berharga dalam pandangan kesatria Bali.

Perlawanan Wong Agung Wilis dan Mas Rempeg Jogopati.
Petilasan Susuhunan Blambangan
Ditaklukannya Blambangan, tahun 1767, tidak berarti bahwa daerah tersebut aman bagi kompeni. Perlawanan di galang oleh Pangeran Agung Willis, yang pada waktu itu menjadi Pangeran di Blambangan.

Di bawah kepemimpinannya, rakyat Blambangan hidup makmur dan Sejahtera. Kepemimpinan Pangeran Agung Willis dikenal adil dan bijaksana, sebagaimana digambarkan pada Babad Blambangan, ”Nagoro Blambangan karo karti murah kang sarwo tinumbas soho dai kang sarwo tinandur….(Ndaru Suprato 1984:Hal 135).

Mas Dalem Puger, yakni anak Pangeran Agung Wilis mendesak ayahnya untuk menyerang loji kompeni belanda di Banyu Alit. Sebenarnya Pangeran Wilis kurang begitu setuju dengan usulan anaknya itu. Menurut perhitungannya persenjataan yang dimiliki tidak seimbang dengan musuhnya. Namun demikian, desakan anak dan kerabatnya meluluhkan Pangeran Agung Wilis untuk melakukan penyerangan ke benteng kompeni itu. Pertempuran terjadi dengan seru, dan seperti telah diperhitungkan terkait ketidak seimbangan persenjataan, dengan cepat perlawanan Wgung wilis dapat dipatahkan. M,erasa terdesak pasukan Blambangan mundur dan kompeni mengejar serta mengejar serta membakar  rumah-rumah penduduk. Dalam situasi kritis, Pangeran Agung Wilis meninggalkan istana. Dengan cedera lutut kanannya tertembak, beliau bertahan di Dusun Blimbingsari. Pada tahun 1768 Pangeran Agung Wilis tertangkap oleh Belanda, sedangkan keluarganya diasingkan ke Selong.

Walaupun Pangeran Agung Willis telah ditangkap dan diasingkan, tetapi pengaruhnya masih berlanjut. Besarnya pengaruh Pangeran Agung Wilis ini tampak tatkala Pangeran Jogopati atau Mas Rempeg pada tahun 1771-1772, melawan kompeni Belanda, rakyat  Blambangan dengan sukarela membantu perjuangannya. Salah satu alasannya, karena rakyat Blambangan beranggapan, Mas Rempeg merupakan reinkarnasi Pangeran Wong Agung Wilis, yang sangat dihormati.

Petilasan Susuhunan Blambangan
Puncak pertempuran, tanggal 18 Desember 1771, pasukan Mas Rempeg atau Jogopati tiba-tiba menyerang dadakan benteng pertahannan kompeni di dusun Duren, Songgon. Pasukan Jogopati dapat menghancurkan benteng pertahanan kompeni dan panglima Belanda yang bernama Van Schar, terbunuh oleh tentara Bayu. Sayangnya, kemenangan tersebut hanya sesaat sebab setelah tanggal 18 sampai tanggal 20 D,esember pasukan bayu mengalami kekalahan yang terus menerus. Jogopati sendiri akhirnya  tewas saat bertempur dengan Tumenggung Alap-Alap, dari Sumenep Madura.

Dalam Perang Bayu selain tokoh sentralnya, P,angeran Jogopati juga terdapat tokoh lain, diantaranya, Bopo Rupo, Bopo Endo, Bopo Larat, dari Lemahbang Kidul. Ketiganya merupakan tokoh spiritual yang memberikan semangat perjuangan kepada tentara Bayu. Selain itu, juga Bekel Utun dari Bedewang dan pejuang wanita yang bernama Sayu Wiwit. Sayu Wiwit, diperkirakan dari anak Wong Agung Wilis yang sempat diungsikan dan dititipkan kepada bekel Gumuk Jati, Jember. Sayu Wiwit dikenal sebagai senopati dari Blambangan Barat membantu perlawanan rakyat Bayu.

Akibat perang bayu V.O.C banyak kehilangan perwira dan pejabat militer yang tewas diantaranya, Residen Bieshuvel, Letnan Van Schaar, Letnan Kornet Tinne, Vaan Drig Oustrously, Kapten Reygers, dan ratusan pasukan eropa dan prajurit pribumi. Karena banyak kehilangan perwira dan prajurit ,V.O.C menjadi defensif dan menarik semua pasukanya ke kota Lateng dan Ulu Pampang. Sebaliknya, rakyat Blambangan yang penduduknya pada waktu sekitar enampuluh ribu hilang dalam pertempuran dan juga kena hama penyakit, yang mematikan sehingga penduduk Blambangan tersisa tinggal lima ribu jiwa, tersebar di beberapa daerah terpencil, seperti, hutan Gendong, Petang, Kaliagung dan Pucang Kerep. Mereka hidup dalam kesengsaraan dan kehilangan harapan hidup.

Tawang Alun II, Raja Macan Putih (1655-1691).
Sejarah Blambangan pada masa Tawang Alun agak lebih jelas karena ada warisan yang ditinggalkan berupa naskah Babad Blambangan yang terdiri dari Babad Sembar, babad Tawang Alun, Babad Bayu dan Babad Notodiningrat. Menurut Ndaru Suprapto, delapan puluh prosen kisah babad ini ada unsur kebenaran sejarah-nya. Karena sang penulis yang bernama Purwo Sastro mengalami sendiri Peristiwa dan penulisannya dekat dengan peristiwa tersebut.

Keunikan Tawang Alun Adalah sebagai penguasa yang umurnya sangat panjang serta meninggal secara alami. Disamping itu, Tawang Alun adalah termasuk salah satu raja terbesar kerajaan Blambangan yang mampu memerdekakan Blambangan dari pengaruh kekuasaan asing, apakah itu dari Mataram, Bali maupun VOC.

Kemerdekaan Blambangan itu tercapai mulai tahun 1676, setelah Tawang Alun menyatakan lepas dari pengaruh kekuasaan Mataram mendapatkan gelar baru, yaitu Prabu Susuhunan Tawang Alun. Tawang Alun di kenal mampu mensejahterakan rakyatnya dan berhasil membangun pusat Ibukota Blambangan di Macan Putih secara megah. Tembok keliling kota tingginya 12 kaki; batubatanya besarnya 6 kaki. Sedangkan panjang keliling ada empat setengah kilo meter. Untuk ornamen hiasan pendopo istana kerajaan didatangkan pengrajin – pengrajin dari China. Puing-puing reruntuhan tembok keliling ibukota Macan Putih masih ditemukan berdasarkan laporan Van Weckermen sebagai penguasa militer di Blambangan, pada tahun 1805, Bahkan, situs Bangunan tembok keliling ibukota Mcan putih masih meninggalkan sisa masih ada tahun 1920. Laporan Thpegiud, puing-puing sisa tembok keliling itu masih ada di Malar Kabat dan juga ada di desa Gombolirang.

Keunikan lain Tawang Alun konon istrinya sampai empat ratus orang. Tanggal 18 september 1691, dua puluh lima hari setelah wafatnya, Tawang Alun di kremasi atau Ngaben Ada dua ratus tujuh puluh Istrinya yang ikut bela pati atau yang ikut di kremasi. Dari sisa seratus tiga puluh istri Tawang Alun yang hidup keturunannya menjadi penguasa Blambangan. Adapun keturunan terakhir Prabu Tawang Alun yang menjadi Bupati Banyuwangi adalah Pringgo Kusumo, tahun1867. Bahkan sampai sekarang ada perkumpulan keluarga Tawang Alun. Sebagai perbedaan keturunan Tawang Alun yang menjabat dan pro pemerintah kolonial Belanda, gelarnya Bernama Raden. Sedangkan yang anti Belanda bergelar Mas, seperti, Mas Supardi, Mas supranoto, Mas Saleh, dan lain-lain. Untuk perempuan bergelar Masayu atau Sayu, seperti, Sayu Gringsing, Sayu Wiwit dan sebagainya.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria






Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar