Kamis, 10 November 2016

Bissu, Komunitas Manusia Berselimut Mistik








Arajang yang disimpan adalah berupa alat tradisional untuk membajak padi. Komunitas Bissu hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya, meskipun masyarakat tidak sepenuh hati menerima keberadaan komunitas Bissu tersebut.Tradisi transvestities di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu.


Mereka dikenal sebagai pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu. Keberadaan mereka sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis kuno.

Kata Bissu berasal dari kata mabessi dalam bahasa Bugis, yang berarti bersih atau suci, karena tidak memiliki payudara dan tidak haid. Sebagai implementasi tafsir suci tersebut, mereka tidak boleh berpacaran, menikah, dan menyingkirkan keinginan seksualitasnya.

Secara fisik Bissu adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam bertutur dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati, dan kebal terhadap senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu sama dengan waria/banci. 


Di dalam bahasa Bugis disebut calabai atau kawe-kawe yang berarti waria (wanita-pria, wadam). Untuk menjadi Bissu para calabai tersebut harus melewati seleksi dan upacara khusus. 

Tidak semua waria bisa menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang untuk menjadi Bissu, dengan mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan hati dari dewata. Pada dasarnya semua Bissu adalah waria (calabai dalam bahasa Bugis). 

Seorang Bissu dalam pengertiannya sebagai orang ”suci” karena berkaitan dengan tugas yang diembannya sebagai penjaga dan pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka yang diwariskan para raja yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di Bugis dahulu.

Seorang Bissu bukan calabai biasa, karena ada tirakat serta peraturan yang harus dijalani sebelum menjadi Bissu. Selain itu Bissu juga diharuskan berpakaian sopan dan anggun, tidak berpenampilan yang mengundang birahi orang seperti para banci/waria pada umumnya. 

Tugas Bissu pada intinya adalah sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada masa lalu. Di dalam kontekss kekinian mereka menerima konsultasi tentang hajatan, pertolongan, bahkan pengobatan.

Di dalam setiap upacara ritual, tugas mereka memimpin dan menjaga Arajang, yaitu benda pusaka keramat peninggalan kerajaan).

Tepatnya di Desa Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan, masyarakatnya masih melakukan upacara sebelum tanam padi, menumbuk padi, dan upacara syukur pada saat panen padi.

Unik dan menarik karena tradisi masyarakat agraris di sini sebagai pelaku utama ritual harus dilakukan/ dipimpin oleh seorang Puang Matowa, yang dibantu oleh seorang wakil yang bergelar Puang Lolo, dan keduanya dilantik oleh raja atau penguasa. 


Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu, yang sebenarnya adalah:

1. Penjaga raja/penjaga pusaka kerajaan pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan;
2. Orang yang mengurus sistem rumah tangga raja;
3. Orang yang menyerupai perempuan tetapi kebal dengan senjata tajam;
4. Orang yang dipercayai mampu mengobati orang sakit yang disebut sebagai tabib
5. Termasuk komunitas calabai  tetapi bukan calabai biasa
6. Berperan penting di dalam kerajaan yaitu sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah yang disebut sebagai Bissu Dewata.

Komunitas Bissu di Propinsi Sulawesi Selatan masih ada terdapat di Kabupaten Pangkep, Bonne, Soppeng, dan Wajo. Pada mulanya Bissu berasal dari Kabupaten Luwu, namun kini sudah tidak ada lagi. 

Aksi Mistik Masyarakat Bissu 
Tugas Bissu pada intinya sebagai pemimpin spritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada waktu itu. Di dalam setiap upacara ritual, tugas Bissu adalah memimpin. 

Di dalam pelaksanaan upacara Bissu kerap kali melantunkan pujian-pujian, mantera, untuk mencapai tahap fana al fana atau intrance yang ditandai dengan menusuk keris ke tubuh mereka yang telah kebal.

Di dalam naskah La Galigo disebutkan bahwa Bissu telah ada sebelum masuknya Islam. Di naskah tersebut dikatakan bahwa Bissu yang pertama kali diturunkan dari langit. Bahasa dalam naskah La Galigo tidak sama dengan bahasa yang digunakan Bissu.

Salah satu syarat untuk menjadi Bissu adalah mengetahui bahasa Bissu. Bahasa Bissu adalah lambang dari bahasa langit, sehingga disebut juga bahasa Torilangi, yang berarti bahasa orang dari langit. 

Norma-norma, konsep-konsep kehidupan, bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis dalam kitab La Galigo, mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru pendahulu mereka yang telah wafat.

Pengetahuan-pengetahuan warisan Bugis kuno itu mereka pertahankan dan aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Bissu memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan untuk berkomunikasi antara sesama Bissu. Bahasa tersebut disebut bahasa suci, 

Bahasa orang langit yang disebut juga bahasA Torilangi atau bahasa Dewata. Para Bissu beranggapan bahwa bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui Dewata.

Tarian Bissu yang masih dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu, sekarang dapat disaksikan di Desa Bontometene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. 

Pada hakekatnya pada jaman kejayaan Kerajaan Bugis, tari-tarian istana banyak dilakukan oleh penari pria yang menyerupai wanita, atau yang juga disebut kaum Bissu. 

Hal ini dilakukan sebagai sebuah fenomena dari politik raja yang menjaga putrinya dari gangguan para pria yang tidak diinginkan masuk dalam istana.

Meski pada dasarnya semua Bissu adalah calabai, namun tidak semua calabai adalah Bissu, karena ada tirakat dan peraturan yang harus dijalani. Mereka juga diharuskan meninggalkan pribadi genit dan patut berpakaian sopan dan anggun.

Seorang yang telah bergelar Bissu, tidak boleh berpacaran, tidak menikah, dan menyingkirkan keinginan seksual. Namun karena populasi Bissu semakin berkurang, diperoleh data bahwa beberapa di antara mereka kini berkeluarga untuk memperoleh keturunan. 
Di Bone ada Bissu yang disebut Bissu Mamatra, yaitu Bissu yang belum sempurna.

Pada masa pemerintahan Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu diperoleh dari hasil sawah kerajaan. 

Para Bissu juga memperoleh sumbangan dari dermawan yang berupa pedagang, kaum tani, bangsawan yang datang sendiri atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu mendapatkan tanah seluas satu petak atau dua petak tanah persawahan dari kerajaan untuk diolah oleh Puang Matowa bersama komunitasnya. 

Sawah yang merupakan tempat upacara Mappalili tersebut, hasilnya untuk biaya upacara-upacara dan kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun. 

Adat istiadat yang dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran.

Moral menjadi sasaran utama aturan, sehingga seluruh tata aturan tersebut harus ditaati dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara akan tercapai dengan baik.

Di dalam sebuah upacara Bissu ada yang disebut dengan matemmu tang, yaitu persembahan beberapa bahan sesaji untuk para dewa yang dianggap telah memberikan rahmat kepada masyarakat setempat selama satu tahun sebelumnya.

Jadi pada dasarnya upacara ini merupakan upacara tahunan yang hingga kini masih diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya. Ada sebuah bagian di dalam rangkaian upacara yang disebut dengan mappasabbi arajang, upacara ini dilakukan di dalam sebuah kamar arajang, di mana terdapat benda-benda pusaka. 

Selain itu dilakukan pembacaan mantra-mantra terhadap sesaji yang telah diletakkan di depan arajang tersebut oleh Puang Matowa sebagai pemimpin upacara.

Di dalam upacara disajikan apa yang disebut makemmo sokko patan rupa (meremas nasi ketan yang diberi warna merah, kuning, putih, dan hitam, yang diletakkan dalam piring-piring kecil. Adapun artinya warna merah adalah api, warna kuning adalah angin, warna putih adalah air, dan warna hitam adalah tanah.

Ketika aturan-aturan lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya.

Bissu adalah seorang laki-laki yang berpenampilan dan berkepribadian seperti wanita. Tidak semua manusia tranvestitisme dapat menjadi Bissu, 

Aksi Mistik masyarakat Bissu
karena harus menjalankan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Adapun untuk menjadi seorang Bissu harus melakukan beberapa syarat yang telah ditentukan dengan aturan-aturan yang ada dalam komunitas Bissu, yang dipimpin oleh Puang Matowa. 

Awal mula seorang waria yang hendak menjadi Bissu harus mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil menjadi Bissu.

Motivasi tersebut antara lain ingin menjadi Bissu secara sungguh-sungguh, karena jika hanya main-main maka akan menerima resikonya. Pernah terjadi seorang waria yang bertekad menjadi Bissu, namun gagal. 

Kegagalan ini dikarenakan adanya aturan yang dilanggar, yaitu Bissu tidak boleh melakukan hubungan suami istri, sehingga Bissu dilarang menikah, tidak boleh berdandan terlalu mencolok atau menor, yang dapat mengundang birahi lorang lain,

Bissu yang melanggar aturan akan mati, demikianlah mitos yang populer terdengar oleh masyarakat di Kecamatan Segeri. Namun untuk perkembangan di masa sekarang banyak Bissu yang menikah, agar supaya terjadi regenerasi 51

keturunan Bissu tetap ada. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu atau proses untuk menjadi Bissu (irreba) adalah:

1. Niat;
2. Puasa;
3. Mattinjak (mempunyai nazar);
4. Wuju;
5. Taat pada aturan-aturannya.

Niat adalah sebuah janji yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang waria untuk menjadi bagian dalam komunitas Bissu.

Niat ini harus muncul dari lubuk hati yang paling dalam, karena akan menjadi berat menjalankan dan kegagalan yang terjadi untuk menjadi Bissu. 

Niat yang tulus dibarengi dengan menjalankan puasa, biasanya para waria yang hendak menjadi Bissu, harus melakukan puasa selama 40 hari 40 malam secara terus-menerus. 

Kemudian selesai berpuasa calon Bissu melakukan sebuah nazar sebelum benar-benar menjadi Bissu. Biasanya nazar dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dengan melakukan apa yang disebut dengan Wuju. 

Calon Bissu menjalankan wuju, yaitu dengan dibungkus kain kafan putih dan dimandikan layaknya seperti mayat oleh para Bissu senior yang dipimpin oleh Puang Matowa. Setelah dimandikan dan dikafani, calon Bissu ditidurkan di rumah di lantai atas dengan beratapkan langit-langit, 

Sambil bernazar seperti orang bertapa, tidak makan dan minum selama satu hari satu malam. Demikianlah upacara pelantikan Bissu menjadi bertingkat-tingkat, dan bagian terbesar dalam upacara pelantikan Bissu harus ada 40 orang Bissu senior (Bissu Pattappuloe), serta salah satunya adalah Bissu wanita.

Bissu wanita biasanya adalah seorang wanita yang telah menopause dan mendapat manase (wangsit/panggilan hati). Namun sekarang pelantikan dengan cara seperti ini tidak dilakukan lagi karena calon Bissu beresiko jatuh pingsan, gila, atau bahkan meninggal. 

Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu, pada saat ini tidak lagi serumit dan selama pada waktu Bissu senior masih berjumlah 40 orang, karena Bissu yang tersisa saat ini hanya tinggal 6 orang.

Atraksi Mistik Masyarakat Bissu 
Syarat terakhir dan harus selamanya dilakukan oleh calon Bissu adalah harus taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang diberlakukan dalam komunitas Bissu, 

layaknya seorang laki-laki berpenampilan perempuan tetapi bukan waria biasa. Seperti dikatakan oleh Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis, bahwa:

“Para Bissu yang telah dilantik menganggap dirinya lebih terhormat dan lebih tinggi kedudukannya dari pada calabai pada umumnya yang belum dilantik. Bissu yang telah irreba-lah yang berhak menyandang predikat sebagai Bissu sesungguhnya,

sedangkan calon Bissu yang belum dilantik hanya berhak menyandang sebagai Bissu mentah (Bissu mamata). Namun karena kaum Bissu makin berkurang, perbedaan antara Bissu dan calabai ini makin rancu di beberapa wilayah adat” (Latief Halilintar A:2004:47).

Di dalam kehidupan komunitas Bissu juga mengenal dengan hirarki organisasi atau struktur organisasi yang dibedakan menurut fungsi kerjanya. Adapun struktur organisasi dalam komunitas Bissu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Puang Matowa;
2. Puang Lolo;
3. Bissu Tantre;
4. Bissu Poncok.

Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu. Puang Matowa pada jaman kerajaan dipilih oleh rakyat dan dinobatkan oleh raja. 

Puang Matowa bertugas menjaga pusaka kerajaan dan melayani keluarga kerajaan, serta hidupnya ditanggung oleh kerajaan. Biasanya Puang Matowa bertempat tinggal di rumah pusaka kerajaan (Bola Arajang).

Puang Matowa adalah sebagai pimpinan Bissu, maka apabila tidak bisa hadir dalam sebuah acara, yang akan menggantikan adalah Puang Lolo sebagai wakilnya.

Puang Lolo disebut juga sebagai wakil dari Puang Matowa atau juga bisa sebagai kandidat pengganti pimpinan Bissu tersebut. Oleh karena itu kelebihan yang dimiliki oleh Puang Matowa tidak jauh beda dengan yang dimiliki oleh Puang Lolo. 

Pelantikan Puang Lolo bersamaan dengan pelantikan Puang Matowa, karena Puang Lolo pun dipilih oleh rakyat dan dilantik oleh raja. Sedangkan Bissu Tantre adalah Bissu yang dianggap mempunyai pengetahuan yang tinggi atau berderajat tinggi, dalam arti Bissu ini sangat cepat menangkap dan cepat tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa. 

Ada juga yang disebut dengan Bissu Poncok adalah Bissu yang mempunyai derajat yang rendah atau berpengetahuan rendah karena tidak terlalu cepat mengerti dan tanggap dengan apa yang diajarkan oleh Puang Matowa. 

Bissu Tantre dan Bissu Poncok akan tampil dan menari dalam upacara ritual yang dipimpin oleh Puang Matowa. Saat ini jumlah Bissu tinggal 6 orang saja, di antaranya adalah Puang Matowa, Puang Lolo, Bissu Tantre (Zulaeka), dan Bissu Ponco (ada 4 orang). 

Menurut Andi Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat Bugis disebutkan bahwa Bissu yang terdapat di Segeri mempunyai perbedaan dengan Bissu yang berada di Bone. Perbedaan Bissu dari kedua daerah tersebut adalah sebagai berikut.

Para bissu dahulu mengenal tradisi tulisan pada lontar, namun tradisi ini sudah semakin ditinggalkan, dan berubah menjadi tradisi tutur. Di dalam upacara yang dipimpin oleh Bissu terdapat perpaduan dari berbagai aspek kesenian.

Kesenian pada komunitas Bissu sebenarnya merupakan bagian dari aktivitas upacara/ritual sebelum menanam padi yang meliputi pembacaan mantra-mantra, sastra, nyanyian, musik, dan tarian. Semua bentuk seni tersebut sebagai media upacara dalam berkomunikasi dengan Yang Maha Kuasa untuk mohon ijin dan berkahnya.

Salah satu media upacara yang menjadi puncaknya adalah tarian Maggiri. Gerakan tarian Bissu bukan sekedar gerakan tari semata-mata, tetapi ada aktifitas kesenian lain, seperti pantun, iringan alat musik, dan adanya atraksi kekebalan senjata yang disebut Maggiri.

Maggiri adalah disebut juga upacara magrangeng-rangeng, yaitu Bissu telah berpakaian lengkap dan berdandan sedemikian rupa, berjalan sambil menari mengelilingi walasuji dipimpin oleh Puang Matowa. 

Kemudian Puang Matowa memperlihatkan kesaktiannya dengan menusukkan keris ke arah tenggorokannya itulah yang disebut maggiri, lalu diikuti oleh ke enam Bissu yang lain.

Tarian Maggiri merupakan tarian yang unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung unsur mistis di dalamnya.

Tari spiritual kaum Bissu yang sudah berusia ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari prosesi upacara dalam tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para Bissu, dan sampai hari ini masih bertahan meski jumlah Bissu sudah tidak banyak lagi, yaitu hanya ada 6 orang Bissu yang berada di Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep. 

Atraksi ini sambil menghentak-hentakan kakinya ke lantai diiringi dengan musik yang ritmis semakin lama semakin cepat, sehingga mampu membuat penonton berdebar melihatnya. Di dalam Maggiri inilah Bissu mempertunjukan kesaktiannya kebal akan benda tajam, yaitu keris.


Jeng Asih, Ratu pembuka Aura dari Gunung Muria


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585



                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar