Kamis, 10 November 2016

Mistik Kejawen Filsafat Hidup Orang Jawa

Nusantaraku.com-Mengkaji budaya Jawa ibarat memasuki hutan
belantara yang lebat, penuh tantangan dan keunikan, tetapi memiliki daya tarik yang membuat orang penasaran. Tak terkecuali mempelajari mistik kejawen yang sarat dengan nuansa spiritual, mistis, dan psikologis. Tak dapat dipungkiri, hingga saat ini, masih banyak kontroversi perihal keberadaan mistik kejawen dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Namun, terlepas dari kontroversi itu, yang pasti, mistik kejawen mempunyai dunianya sendiri, memiliki ruang gerak, dan bernapas dengan leluasa. Lantas, apa sebenarnya mistik kejawen itu? Apakah ia adalah sebuah agama, budaya, aliran kebatinan, atau yang lainnya? Dan, masihkah ajaran kejawen dipegang teguh oleh para pengikutnya di zaman yang serba modern ini? Dan bagaimana pandangan agama Islam tehadap kejawen sendiri?. kita akan membahasnya.
Mengenal Seluk-beluk Mistik Kejawen

A. Memaknai Mistik Kejawen

Pernahkah anda mendengar istilah mistik kejawen? Saya yakin sebagian besar dari anda pernah mendengar istilah ini, sekalipun anda bukan orang Jawa. Di kalangan masyarakat Jawa, mistik kejawen sudah menyatu dan mendarah daging dalam sikap dan perilaku keseharian. Sebagai salah satu contoh, setiap malam-malam tertentu (misalnya malam jumat legi atau malam satu syuro), masyarakat Jawa akan melakukan ritual-ritual tertentu lengkap dengan uba rampe yang diperlukan, seperti sesajen, kembang, kemenyan, dan lain-lain. Nah, praktik semacam ini merupakan bagian dari perilaku kejawen dalam masyarakat Jawa.

Tidak hanya pada hari-hari tertentu saja, di dalam tradisi masyarakat Jawa juga sering diselenggarakan upacara selamatan (slametan) untuk berbagai tujuan, tergantung pada kebutuhan dan keyakinan masyarakat setempat. Misalnya, selamatan untuk memperingati hari kelahiran anak, selamatan untuk upacara perkawinan, selamatan untuk memperingati kematian seseorang, selamatan untuk menolak sihir, selamatan untuk pindah rumah, selamatan untuk melawan mimpi buruk agar tidak menjadi kenyataan, selamatan sebagai wujud syukur atas hasil panen, selamatan untuk memohon kepada arwah, dan lain sebagainya. Untuk beberapa tujuan itulah, selamatan sudah menjadi hal yang biasa dilakukan secara berkala oleh masyarakat Jawa. 

Meski sebagian besar dari anda telah sangat familiar dengan istilah mistik kejawen, namun tahukah anda apa sebenarnya yang dimaksud dengan mistik kejawen itu? Mungkin anda perlu berpikir dua kali bahkan lebih untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab, diakui ataupun tidak, meski mayoritas masyarakat Jawa dalam tradisi kesehariannya tidak bisa luput dari praktik kejawen, namun banyak dari mereka yang belum memahami makna dari istilah mistik kejawen itu sendiri. Sehingga, muncul banyak anggapan dan pemahaman yang kurang tepat mengenai mistik kejawen di kalangan masyarakat Jawa. Ada yang menganggapnya sebagai agama, kebudayaan, kepercayaan, dan berbagai prokonsepsi keliru lainnnya. Lantas, apakah sebenarnya mistik kejawen itu? Sebelum kita mendefinisikan mistik kejawen secara utuh, mari kita definisikan terlebih dahulu berdasarkan asal kata penyusunnya, yakni mistik dan kejawen.

1. Pengertian Mistik

Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa Yunani, mystikos, yang artinya rahasia (geheim),serbarahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verborgen), gelap (donker), atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Berdasarkan arti tersebut, maka mistik sebagai sebuah paham (disebut mistisme) dapat dimaknai sebagai paham yang memberikan ajaran yang serbamistis (misal ajarannya berbentuk rahasia atau serbarahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kelaman), sehingga hanya dikenal, diketahui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali para penganutnya.

Sementara itu, menurut buku karangan De Kleine W.P. Encylopaedie karya G.B.J Hiltermann dan Van de Woestijne, Sebagaimana dikutip dalam wikipedia.org, kata mistik berasal dari bahasa Yunani yaitu myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterionyang artinya suatu rahasia (geheimnis). Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan.

Selain kedua pengertian diatas, masih banyak mengenai pengertian mistik lainnya, baik menurut versi Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu antropologi, filsafat, maupun yang lainnya. Salah satunya:

a. Mistik merupakan hal gaib yang sangat diyakini hingga tidak bisa dijelaskan dengan akal manusia biasa.

b. Mistik merupakan subsistem yang ada dihampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan

Kraton Surakarta
c. Mistik merupakan pengetahuan yang tidak rasinal atau tidak dapat dipahami rasio, maksudnya hubungan sebab akibat yang terjadi tidak dapat dipahami oleh rasio

Menurut Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, Mistisme—yang dalam Islam adalah tasawuf— disebut sebagai sufisme. Sebutan ini tidak dikenal dalam agama-agama lain, kecuali khusus untuk sebutan mistisme Islam. Itu artinya, di dalam dunia Islam, juga terdapat mistik dan aliran mistik, yaitu tasawuf. Sebagaimana halnya mistisme (mistik dalam dunia kejawen), tasawuf atau sufisme juga mempunyai tujuan yang sama, yakni untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.

2. Pengertian Kejawen

Kejawen adalah sebuah kepercayaaan atau barangkali boleh dikatakan agama yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Pulau Jawa. Kata kejawen berasal dari bahasa Jawa, yang artinya segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. Penanaman “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia.




Kejawen, dalam opini umum, berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta folosofi orang-orang Jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannnya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlahlaku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan konfusianisme (paham yang berintikan nilai-nilai moral kebaikan kepada penganutnya), namun tidak sama pada ajaran-ajarannya.

Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen, dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan pendukunan. Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Oleh karena itu, lahirlah yang namanya Islam kejawen.

Menurut Kodiran (1971), kebudayaan spiritiual Jawa yang disebut kejawen ini memiliki ciri-ciri umum. Pertama,orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Mereka bersifat menerima takdir sehingga mereka tahan dalam hal menderita.Kedua, orang Jawa percaya pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benda, seperti keris, kereta istana, dan gamelan. Benda-benda tersebut setiap tahun harus dimandikan (dibersihkan) pada hari Jum’at Kliwon bulan Suro dengan upacara siraman. Ketiga, orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Dalam kepercayaan mereka, roh halus tersebut dapat mendatangkan keselamatan apabila mereka dihormati dengan melakukan selamatan dan sesaji pada waktu-waktu teretentu.

B. Asal Usul Kejawen

Asal usul kejawen sebenarnya bermula dari dua tokoh misteri, yaitu Sri dan Sadono. Sri sejatinya adalah penjelmaan Dewi Laksmi, istri Wisnu, sedangkan Sadono adalah penjelmaan dari Wisnu itu sendiri. itulah sebabnya, jika ada anggapan bahwa Sri dan Sadono adalah kakak beradik, kebenarannya tergantung dari mana kita meninjau. Namun, kaitannya dengan hal ini, Sri dan Sadono sesungguhnya adalah suami-istri yang menjadi cikal bakal kejawen.

Dewi Sri dan Wisnu, menurut Tantu Panggelaran, memang pernah diminta turun ke arcapada untuk menjadi nenek moyang di Jawa. Dalam Babad Tanah Jawi juga dijelaskan bahwa orang pertama yang membabad (menempati/tinggal) Tanah Jawa adalah Batara Wisnu. Sumber ini meneguhkan sementara bahwa nenek moyang masyarakat Jawa memang seorang dewa. Dengan demikian, kaum kejawen sebenarnya berasal dari keturunan orang yang tinggi tingkat sosial dan kulturnya. Selanjutnya, Dewi Sri dianggap menjelma ke dalam diri tokoh Putri Daha bernama Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, sedangkan Sadono menjadi Raden Panji. Keduanya pernah berpisah, namun akhirnya bertemu kembali.

Menurut beberapa sumber, pertemuan Sri dan Sadono atau Panji dan Sekartaji terjadi di Gunung Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Tempat itu kemudian oleh Sadono dan Sri diberi tetenger (tanda), dengan menancapkan paku Tanah Jawa. Hal ini sekaligus untuk mengokohkan Tanah Jawa yang sedang berguncang. Dan, sejak itu, Tanah Jawa kembali tenang. Paku tersebut kelak dinamakan Pakubuwana (Paku Bumi). Pakubuwana inilah yang membuat orang Jawa tenang, sehingga keturunan Sri dan Sadono menjadi banyak. Hanya saja, keturunan mereka ada yang baik dan ada yang buruk.

C. Karakteristik Kejawen

Pada umumnya, orang Jawa percaya bahwa semua penderitaan akan berakhir bila telah muncul Ratu Adil. Kepercayaan akan benda-benda bertuah serta melakukan slametan merupakan upaya orang Jawa untuk melakukan harmonisasi terhadap alam sekelilingnya. Selain itu, inti dari ajaran kejawen adalam amemayu hayuning bawana,yang dimuat dalam Kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa, 1032). Menjelaskan ajaran ini, Mpu Kanwa menggambarkan tugas seorang pimpinan yang harus memperbaiki dan memakmurkan dunia, seperti dinyatakan dalam Pupuh V bait 4-5. Sunan Pakubuwana IX (1861-1893) mengubah bait tersebut dalam serat Wiwaha Jarwa menjadi “Amayu jagad puniki kang parahita, tegese parahita nenggih angecani manahing Iyan wong sanagari puniki” (melindungi dunia ini dan menjaga kelestarian parahita, arti parahita ialah menyenangkan hati orang lain di seluruh negeri ini).


Tugas hidup amemayu hayuning bawana, oleh Ki Ageng Suryamentaram dan Ki Hajar Dewantara, dikembangkan menjadi mahayu hayuning bangsa, mahayu hayuning bawana (memelihara dan melindungi keselamatan pribadi, bangsa, dan dunia). Tugas amemayu hayuning bawana  jelas merupakan kewajiban bagi setiap orang sebagai pemimpin.

Kejawen

D. Hal yang berbeda dalam Mistik Kejawen

Ada beberapa hal yang membedakan mistik kejawen dengan agama, ajaran, atau mistik-mistik lainnya. Pertama, kejawen tentu saja tidak memiliki kitab suci sebagaimana layaknya agama-agama yang ada. Sebab, kejawen bukanlah agama, melainkan pandangan hidup yang sudah turun-temurun ribuan tahun melalui proses interaksi antara manusia dengan jagad raya.

Kedua, jika didefinisikan mistik kejawen merupakan hasil interaksi nilai-nilai kearifan lokal yang terjadi sejak zaman kuno pada masa kebudayaan spiritual animisme, dinamisme, dan monteseisme hingga saat ini.

Ketiga, walaupun latar belakang keagamaan masyarakat Jawa berbeda-beda, namun mereka memiliki unsur kesamaan dalam tatalaksana ritual Jawaisme. Perbedaannya hanya terletak pada bahasa yang digunakan dalam doa atau mantra. Namun, hakikat dari ritual sebenarnya sama saja, yakni bertujuan untuk selamatan.

E. Teori Mistik Kejawen

Mistik kejawen adalah suatu upaya spiritual ke arah pendekatan diri kepada Tuhan yang dilakukan oleh sebagian masayarakat Jawa. Pada dasarnya ada beberapa alasan mendasar menjalankan mistik kejawen. Alasan ini berhubungan dengan hakikat hidup manusia, dimana hidup manusia dituntut harus berbuat yang sejalan dengan kehendak Tuhan. Itulah sebabnya, manusia menjalankan berbagai laku yang dikenal sebagai ritual mistik kejawen. Hal ini sejalan dengan pandangan antropolog, Geertz. Bahwa ada beberapa postulat yang berhubungan dengan teori mistik, diantaranya sebagai berikut:

1. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, perasaan tentang “baik” dan “buruk”, serta “kebahagiaan” dan “ketidakbahagiaan” saling bergantung dan tidak bisa dipisahkan. Tak satu pun manusia bisa berbahagia sepanjang waktu, tetapi secara terus-menerus berada di antara dua keadaan ini dari hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit.

2. Tujuan manusia adalah untuk “tahu” dan “merasakan” rasa tertinggi ini dalam diri sendiri. prestasi demikian membawa kekuatan spiritual, suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk maksud baik maupun buruk dalam soal-soal duniawi.

3. Pada tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua manusia adalah satu dan sama serta tidak ada individualitas.

4. Karena tujuan semua manusia untuk mengalami rasa, maka sistem religi kepercayaan dan praktik-praktiknya seharusnya hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut dan hanya baik sepanjang semua itu bisa membawa kesana.

Dari beberapa postulat di atas, tampak bahwa mistik kejawen memiliki tujuan mulia. Melalui olah rasa dan penghayatan batin yang mendalam, seorang pelaku mistik akan mencapai rasa tertinggi dan selanjutnya hidupnya akan tenteram dan damai.

F. Dasar-Dasar Filsafat Jawa (Kejawen)

Adapun dasar-dasar filsafat Jawa adalah sebagai berikut.

1. Kesadaran Religius

Keimanan dan kepercayaan kepada sesembahan (Tuhan) mendasari munculnya sistem religi dan ritual penyembahan, yaitu sembah raga, jiwa, dan sukma, yang mencakup semua daya hidup berupa cipta, rasa, karsa, dan daya spiritual. Ritual itu bisa berbentuk tapa brata, yang terdiri dari lima laku, yakni mengurangi makan, dan minum, mengurangi keinginan hati, mengurangi nafsu berahi, mengurangi nafsu amarah, dan mengurangi berkata-kata atau bercakap-cakap yang sia-sia.

2. Kesadaran Kosmis

Kesadaran kosmis menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta dan isinya. Kesadaran kosmis ini mencitrakan ritual sesaji dengan falsafah semua yang ada di  semesta adalah satu yang berasal dari Sang Pencipta. Falsafah ini mendasari pengetahuan kesatuan, berupa hubungan kosmis-magis manusia dan alam seisinya.

3. Kesadaran Peradaban

Kesadaran peradaban adalah pemahaman mengenai hubunan manusia dengan manusia. Kesadaran ini berwujud ajaran manusia sebagai makhluk utama harus berhubungan dengan sesama manusia dalam keutamaan (beradab). Kesadaran peradaban ini mewujudkan kesadaran berintegrasi, terlebih dalam bernegara.
Kejawen

Memahami Konsep Ajaran Kejawen

A. Konsep Kejawen Tentang Kehidupan Dunia

Pandangan kejawen tentang makna hidup manusia didunia ditampilkan secara rinci, realistis, logis, dan mengena di hati nurani—bahwa hidup ini diumpamakan hanya sekedar “mampir-minum”, hidup dalam waktu sekejap, dibandingkan kelak hidup di alam keabadian setelah raga ini mati. Pada awalnya Tuhan meminjamkan raga kepada ruh, dan ruh harus mempertanggungjawabkan “barang” pinjamannya itu, apabila waktu “kontrak” peminjaman telah habis. Hidup didunia ini hanya sementara. Dan, apa yang dimiliki manusia di dunia hanyalah merupakan bentuk pinjaman yang diberikan Tuhan.

B. Konsep Kejawen tentang Pahala, Dosa, Kebaikan, dan keburukan

Pahala, dosa, kebaikan, dan keburukan merupakan empat hal yang saling bersinergi. Maksudnya, pahala merupakan buah ganjaran dari kebaikan dan dosa adalah buah ganjaran dari keburukan. Dalam agama apapun, konsep ajaran seperti ini hampir sama.

Ajaran kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadah. Bagi kejawen, motivasi beribadah atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam melaksanakan sembahyang menyembah kepada Tuhan Yang Maha Suci, bukan karena takut neraka dan tergiur iming-iming surga, melainkan dalam kejawen ini disebut sebagai kesadaran kosmik, bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama adalah sikap adil dan baik pada diri sendiri. kebaikan kita kepada sesama merupakan kebutuhan diri kita sendiri.

C. Konsep Kejawen tentang Tuhan

Di dalam pandangan kejawen, Tuhan tidak pernah menghukum ciptaan-Nya sendiri. Sebab, sebagaimana semua agama di dunia ini, ajaran kejawen meyakini bahwa Tuhan bisa membuat apa saja, dan sempurna. Intinya, untuk apa Tuhan harus menghukum makhluk ciptaan-Nya sendiri? Bukankah Tuhan sesungguhnya dapat membuat manusia sempurna?.

Konsep tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah (sesembahan) dan siapa yang menyembah serta bagaimana cara menyembahnya.

Masyarakat kejawen juga beranggapan bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi keberadaan-Nya merupakan sesuatu yang mutlak sebagai pencipta alam seisinya.

D. Konsep Kejawen tentang Alam

Kejawen meyakini bahwa alam ini terdiri dari tiga jenis, yakni alam fana atau dunia nyata, alam gaib, dan alam tunggu atau alam barzakh. Alam fana dihuni oleh manusia, binatang, tumbuhan, dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Adapun alam gaib dihuni oleh jin dan roh. Jin terdiri dari yang baik dan jin yang jahat yang kemudian disebut setan atau demit. Roh adalah arwah manusia yang telah meninggal dunia, yang semasa hidupnya sangat dekat dengan Tuhan sehingga dianugerahi ilmu dari-Nya serta diberi kesempatan untuk terus bisa mengamalkan ilmunya sampai hari kiamat. Adapun alam tunggu atau alam barzakh dihuni oleh arwah manusia yang sudah tenteram untuk menunggu datangnya hari kiamat.

Menurut kejawen, tugas-tugas makhluk di alam adalah sebagai berikut:

a. Manusia diberikan tugas untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya agar bisamasuk ke surga setelah hari kiamat tiba.

b. Jin baik diberikan tugas untuk mencari bekal sebanyak-banyaknya agar bisa masuk ke surga setelah hari kiamat tiba.

c. Jin yang jahat yang disebut setan/demit diberikan tugas untuk mengganggumanusia agar tidak bisa masuk surga dan menemani mereka masuk ke neraka.

Manusia untuk bisa mencapai tidaklah mudah, sebab setan/demit selalu dan pasti akan menghalangi dengan berbagai cara dan upaya. Adapun cara-cara yang dilakukan setan untuk menghalangi, antara lain lewat pesugihan, jimat, santet, dan pusaka.

Pandangan Islam terhadap Kejawen Sebagai Akulturasi Budaya Islam dan Jawa

Pada dasarnya, Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun istilah, di dalam al-Qur’an dan Hadits tidak ditemukan penjelasan tentang kejawen. Banyak versi yang mengatakan kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali (Wali Songo) ke tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Ketika itu, para wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukkan unsur budaya dan tradisi Jawa agar mudah diterima serta dipahami masyarakat kala itu. Inilah, menurut sebagian kalangan, yang menjadi cikal bakal munculnya Islam kejawen.

Jawa dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa semasa zaman Hinduisme dan Buddhisme. Dalam perkembangannnya, penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur perantara yang baik bagi penyebarannya. Oleh Wali Songo, unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa, mulai dari pertunjukkan wayang kulit, dendangan lagu-lagu Jawa, ular-ular(petuah berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan khususnya di Kerajaan Mataram (Yogyakarta/Surakarta). Semua itu merupakan budaya kejawen yang diadaptasi ke dalam Islam.

Dari penjelasan di atas, maka secara ringkas dapat disimpulkan bahwa mistik kejawen adalah bersifat universal bagi siapapun. Laku spiritual kejawen juga beradasarkan pandangan hidup atau falsafash hidup, atau disebut juga Jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual Jawa adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapa pun yang mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaktif, sectarian, dan primodialisme, kiranya belum memahami secara baik nilai – nilai dalam falsafah hidup kejawen. Mistik kejawen merupakan bagian dari ribuan mistik yang ada di dunia. Setiap masyarakat bangsa, dan budaya memiliki nilai – nilai tradisi orthodox tersendiri, sebagai mistik yang dipegang teguh sebagai pedoman hidup. Sebagai contoh, mistik Islam yang dikenal dengan orang – orang yang mendalaminya disebut orang – orang zuhud dan sufi, mistik Buddha dikenal Buddhisme, Mistik Hindu yang dikenal dengan Hinduisme, dan masih banyak lagi mistik – mistik di dunia ini.

Mistik lebih fleksibel jika dibandingkan dengan Agama, sebab mistik tidak mempersoalkan latar belakang ajaran, Agama, ataupun budaya orang yang ingin menghayatinya. Meski demikian, hal tersebut tidak menimbulkan risiko yang sesungguhnya,keberagaman “kulit” akan dikulit, lalu diambil sisi maknawiahnya yang bersifat hakikat atau esensial. Orang Jawa, Hindu, Buddha, Islam dan Kristen bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat Hindu juga bisa mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan rezim Agama akan membuat batasan batasan tegas kepada para penghayatan mistik dengan mistik itu sendiri. Bahkan, sering terjadi prejudice (prasangka), pencitraan secara subjektif, dan punishment (hukuman) yang berdasarkan kepentingan rezim. Jangankan terhadap lintas budaya dan Agama, di dalam lingkup Agama itu sendiri pun kerap terjadi hal – hal tersebut. Maka yang terjadi adalah umat yang terkesan “Agamais” tetapi sangat miskin pencapaian spiritualnya.


Lalu, bagaimana dengan mistik kejawen? Mistik kejawen lain daripada yang lain. Kaum kejawen memiliki tradisi asli. Tradisi tersebut berupa pemujaan kekuatan adikodrati yang diwujudkan dengan ritual slametan. Itulah sebabnya, mistik kejawen adalah gejala religi yang unik. Keunikan mistik kejawen berlangsung secara turun – temurun. Kehidupan sehari – hari , tubuh dan lingkungan sekitarnya adalah sumber “kitab” mistik kejawen menggunakan slametan. Jadi, slametan adalah inti tradisi kejawen yang menjadi wahana mistik. Melalui slametan, ritual mistik mendapatkan jalan sasaran sinar cahaya yang di Ridhoi.
               
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
                                        

Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 – 08122908585 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar