Rabu, 09 November 2016

Nyobeng, Upacara Adat Suku Dayak Bidayuh, Ritual Tahunan Penolak Bala Bencana!


Upacara Memandikan Tengkorak
Nusantaraku.com-Indonesia memang terkenal kaya akan sumber daya alam dan manusia. Nggak perlu meragukannya lagi, SDA dan SDM Indonesia telah terbentang dari Sabang sampai Marauke. Berbagai kebudayaan pun lahir dan menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan beragam. Hasil cipta, rasa, dan karsa manusia inilah yang akhirnya memperkaya keberagaman Nusantara. Salah satunya adalah keberadaan Suku Dayak Bidayuh yang memiliki kebudayaan dan tradisi unik.
Kali ini kita  akan mengajak kalian untuk mengenal lebih dalam Suku Dayak Bidayuh yang memiliki tradisi Nyobeng sebagai upacara adat dalam menolak bala. Kalau kamu udah mengenal Suku Dayak, nggak ada salahnya untuk mengenal sub etnisnya, kan? Cekidot!
Sebelum lebih dalam mengenal Suku Dayak Bidayuh, begini peta persebaran mereka dan sejarah singkat suku yang mendiami ujung utara Indonesia

Suku Dayak Bidayuh merupakan sub etnis dari Suku Dayak yang kita kenal. Mereka awalnya terorganisir sebagai Suku Dayak. Karena adanya arus migrasi, mereka terpisah menjadi tujuh suku besar di Kalimantan dan sebagian mendiami Malaysia. Suku Dayak Bidayuh ini sendiri tinggal di Kabupaten Sanggau; di Kecamatan Kapuas, Parindu, Jangkang, Bonti, Beduai, Entikong, Bengkayang, Sekayam, dan Kembayan, dan di Sarawak (Kuching dan Samarahan).
Sementara menyinggung kebudayaan atau tradisi Nyobeng, mereka percaya bahwa kepala merupakan pusat kekuatan supranatural. Maka dari itu, upacara Nyobeng mengharuskan menggunakan tengkorak sebagai media utamanya dalam upaya melindungi diri dari berbagai ancaman dunia nyata dan gaib.
Tradisi unik dalam menjaga kampungnya dari marabahaya. Nyobeng, tradisi memandikan tengkorak kepala manusia sebagai syarat utama

Upacara Memandikan Tengkora 
Nyobeng merupakan tradisi atau kebudayaan yang secara turun temurun dipercaya sebagai penolak bala dan bencana bagi suku Dayak Bidayuh. Begitu besar nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Nyobeng ini. Sebagai sebuah suku yang masih percaya hal-hal gaib, mereka berkeyakinan bahwa upacara ini dapat menyelamatkan suku mereka dari berbagai ancaman dunia nyata dan gaib.
Selain itu, mereka juga menyakini bahwa upacara ini bertujuan untuk menghargai para leluhur mereka yang telah meninggal. Mereka juga percaya bahwa Nyobeng merupakan manifestasi dari perbedaan yang ada. Sebab nggak cuma Suku Dayak Bidayuh aja yang mengikuti upacara ini. Melainkan banyak dari suku lain yang turut serta dalam prosesi Nyobeng. Yang terakhir adalah membangun solidaritas sosial. Dari beragam suku dan warga yang berkumpul dalam ritual Nyobeng, mereka bermaksud untuk menyatukan perbedaan dan kesibukan orang-orang yang udah nggak pernah bisa kumpul kayak dulu lagi. Hmmm.

Apakah kita perlu mengadakan upacara Nyobeng untuk mengadakan reuni akbar SMA kita? Haha, becanda deh ya.

Nyobeng nggak bisa dilakukan sembarang waktu. Ada jadwal yang telah ditentukan dari turun temurun
Tengkotak yang Sudah di Bersihkan
Upacara Nyobeng ini nggak bisa diadakan sembarang waktu. Ada jadwal tertentu yang udah ditetapkan sejak zaman dahulu. Diadakan setahun sekali di bulan Juni, dan harus berlangsung di rumah Balug. Rumah ini berbentuk panggung tinggi yang menyimpan berbagai benda pusaka, salah satunya adalah tengkorak yang akan menjadi bahan utama dalam upacara Nyobeng.

Upacara panjang dan melelahkan demi menjaga keamanan dan stabilitas seluruh Suku Dayak Bidayuh. Rumit juga, ya!
Para tamu undangan memasuki lapangan sebelum berkumpul di rumah Bulug. Tetua adat yang memimpin para tamu undangan melemparkan anak anjing, ayam, dan telur ke udara. Sementara pemimpin/ketua rombongan harus menebasnya hingga mati. Untuk telur, kalau mereka nggak bisa memecahkan telur yang dilempar, itu berarti mereka nggak ikhlas dalam menghadiri upacara Nyobeng.
Setelah proses sambutan, dilanjutkan dengan minum-minum dan langsung menuju ke rumah Bulug. Memasuki tempat upacara tersebut, para tamu diperciki dengan daun anjuang yang telah dicelupkan ke dalam air bermantra. Tujuannya sebagai penolak bala. Mereka percaya akan hal itu.

Acara pun dimulai dengan tarian khas suku Dayak Bidayuh dan makan bersama. Setelah makan, para tamu dipersilakan untuk beristirahat di rumah penduduk, sementara yang cowok disuruh mencari bambu yang berdiameter 10 cm. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemanggilan ruh oleh tetua adat yang bertujuan untuk meminta izin kepada para leluhur.

Upacara dilanjutkan dengan melumuri atau memandikan tengkorak manusia alias kepala musuh dengan darah ayam dan ramuan khusus yang telah dibacai mantra. Setelah itu, tengkorak dikembalikan dalam kotak yang disimpan dalam rumah Bulug. Kemudian, demi menjaga keamanan desa, dipotonglah seekor anjing yang darahnya digunakan untuk melumuri tiang penyangga rumah seluruh warga. Tujuannya untuk menolak roh jahat dan segala bencana yang memungkinkan datang pada warga suku Dayah Bidayuh. Setelah semua proses ini selesai, dilanjutkan dengan mandi bersama dengan air yang telah dimantrai. Pada malam hari, mereka melanjutkan dengan makan bersama. Baru deh, selesai. Sehari penuh.

Jeng Asih, Ratu pembuka Aura dari Gunung Muria


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585



                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar