Selasa, 15 November 2016

Komunitas Suku Osing, dan Ragam Budayanya

Suku Osing, Banyuwangi
Nusantaraku.com-Sebagian besar masyarakat Osing  beragama Islam, dan setengahnya lagi beragama Hindhu  dan Budha.  Penduduk suku Osing  ini  masih menganut kepercayaan  turun temurun dahulu sebelum datangnya Islam.  Suku Osing merupakan keturunan dari  kerajaan Majapahit yang memiliki kepercayaan pada agama Hindhu dan Budha. Masyarakat Osing percaya pada para roh leluhur, reinkarnasi, moksa, dan hukum karma. Mereka juga percaya kepada roh yang dipuja (danyang) di sebuah tempat disebut Punden yang biasanya ada di bawah pohon atau batu besar.1 Namun saat ini agama mayoritas masyarakat Osing adalah Islam, hal tersebut akibat berkembangnya kerajaan Islam di daerah Pantura (Pantai Utara).
Kepercayaan Mistis yang diyakini “Suku Osing”
Masyarakat  Osing masih memegang teguhnya tradisi dan budaya yang erat kaitannya dengan hal  mistis,  ini menimbulkan banyak persepsi negatif bagi masyarakat yang hanya mengetahui sebagian saja dari tradisi Osing, terutama karena sebagian besar  tradisi masyarakat Osing yang memang masih sangat dekat dengan budaya sebelum Islam. Dalam makalahnya mengenai  Perancangan film Dokumenter:  Tribute to East Java, Evan Permana menyebutkan beberapa tradisi masyarakat Osing yang dianggap dekat dengan dunia mistis2 antara lain:
1.     Adanya kepercayaan bahwa orang yang tentang ilmu pelet/ Jaran Goyang.  Ilmu ini digunakan untuk menarik lawan jenis yang kita sukai. Jika orang  terkena ilmu ini maka orang tersebut tidak akan bisa menolak orang yang  menyukainya.  Image  bahwa jika seseorang  disukai oleh orang yang berasal  dari suku Osing tidak akan bisa menolak lahir dari mitos ini. Padahal mitos ini hanya berlaku jika orang tersebut sama sama suka.
2.     Selametan  setiap hari  Senin dan  Kamis di makam Buyut Cili yang dilakukan  oleh orang yang akan mempunyai hajat ataupun sehabis melaksanakan suatu acara.
3.     Masa menanam padi dan bercocok tanam yang didasarkan kepada perhitungan  dan hari baik dan buruk, serta tanda tanda alam yang terbaca.
Tradisi Kebo-Keboan
4.     Tata cara selamatan yang sering kali dilaksanakan setiap hari tertentu dan pada saat tanggal tertentu. Frekuensi dari selamatan ini lebih sering daripada daerah lain.
5.     Adanya kepercayaan tentang  santet  dan ilmu hitam lainnya bila kita dianggap  menyakiti orang yang berasal dari suku Osing.
Penduduk suku Osing juga sebagian masih memegang kepercayaan lain seperti Saptadharma, yaitu kepercayaan  yang kiblat sembahyangnya berada di Timur seperti orang Cina. Sistem kepercayaan di suku Osing masih mengandung unsur  Animisme, Dinamisme, dan Monotheisme.1
Terbukanya suku Osing dalam menerima pengaruh dari luar ini membuat kepercayaan mistis dan agama masih bercampur. Suku Osing merupakan suku yang masih menjaga tradisi dan kepercayaan dahulu,  dan tetap bisa menerima agama Islam yang masuk ke wilayahnya saat itu.
Wujud Budaya Tindakan
Bahasa Osing
Suku Osing menggunakan bahasa daerahnya sendiri yang dinamakan “bahasa Osing”, yang merupakan turunan langsung dari bahasa Jawa Kuno yang dahulu digunakan pada masa kerajaan Majapahit.  Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali yang tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup  sampai abad ke-20.3 Namun bahasa Osing menggunakan dialek yang berbeda dengan bahasa Jawa, dengan penekanan pada beberapa huruf. Pada perkembangannya saat ini, bahasa Osing semakin lama semakin jarang digunakan dan menyusut.
Terjadi dimensi perubahan diakibatkan masuknya bahasa Jawa dan Madura dari masyarakat pendatang. Hal ini  mengakibatkan terjadinya keanekaragaman bahasa dalam masyarakat Banyuwangi, dan  muncul masalah mengenai keanekabahasan dan masalah sosiolinguistik lainnya. Dimana proses persentuhan bahasa ibu dan bahasa pendamping menimbulkan  ketumpangtindihan (overlapping), alih kode dan campur kode.Walau terjadi percampuran bahasa di daerah Banyuwangi, bahasa Osing masih dapat ditemukan pada beberapa daerah di kecamatan paling timur di Banyuwangi. Beberapa penduduknya masih menggunakan bahasa Osing  dalam berinteraksi antar warganya.
Masyarakat Osing tidak mengenal hierarki ataupun stratifikasi bahasa, tetapi mengenal santun bahasa yang digunakan terhadap lawan bicara berdasarkan kategori usia, kekerabatan sosial, dan  pencerminan rasa hormat pada seseorang.  Penggunaan bahasa Osing di masyarakat lebih dominan pertama, digunakan dalam rumah tangga sebagai alat komunikasi dan interaksi  antar anggota rumah tangga. Dalam komunitas Osing, oleh anggotanya bahasa Osing digunakan  sebagai lambang identitas dan  pengembangan seni budaya daerah. Sedangkan dalam ranah umum seperti pemerintahan, pendidikan, penyuluhan, politik dan lain-lain, bahasa Indonesia digunakan lebih dominan sebagai alat berkomunikasi. Walau pada beberapa situasi terjadi proses alih bahasa dan pencampuran dengan bahasa daerah lain.
tari Tradisional Seblang
Akibat dari pencampuran berbagai bahasa, sekarang ini bahasa Osing memiliki 2 ragam bahasa. Yakni ragam biasa atau bahasa Osing dan ragam halus atau bahasa Jawa-Osing (orang Osing menyebutnya “besiki”).4    Dalam dialek bahasa Osing, kosakata pada bahasanya terdapat penekanan pada huruf, kekhususan  atau palatalisasi (pergeseran akibat pengaruh bahasa Madura), dan penambahan atau perubahan kata.
Adat dan Tradisi budaya “Suku Osing?
Di daerah Banyuwangi banyak sekali ditemukan adat dan tradisi yang hingga sekarang masih dilakukan. Tradisi dan adat inipun tidak terlepas dari pengaruh kepercayaan mistis yang  diyakini dan kesenian yang telah diwariskan. Beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing selalu dipenuhi dengan iringan alat musik, tari, syair,  dan lagu. Berikut beberapa tradisi pertunjukan dan upacara adat suku Osing di Banyuwangi5
1.     Tari Gandrung : Pertujukan tari sebagai ucapan syukur atas hasil panen
2.     Kebo-Keboan : Upacara adat untuk meminta kesuburan hasil panen
3.     Perang Bangkat  : Upacara adat saat prosesi perkawinan
4.     Geredhoan  : Tradisi mencari jodoh oleh pemuda-pemudi suku Osing
5.     Barong Idher Bumi  : Perayaan iring-iringan Barong untuk menolak balak
6.     Tari Seblang  : Pertunjukan tari untuk menolak balak
7.     Petik Laut/Larung Sesaji : Upacara adat sedekah laut oleh nelayan dan penduduk di pesisir

Wujud Budaya Artefak
Produk Kerajinan Tangan Khas Osing
Profesi dan mata pencaharian dalam masyarakat Osing yang sebagian besar merupakan petani dan nelayan. Selain itu ada juga beberapa mengambil profesi sebagai pedangang dan wiraswasta dalam industri  kerajinan tangan. Dalam bidang industri kerajinan tangan di Banyuwangi ini bisa dibilang masih tradisional, mulai dari proses, teknologi hingga hasil dari pembuatannya. Walaupun begitu, beragam kerajinan tangan dari masyarakat ini memiliki sebuah kekhasan dari daerahnya. Berikut beberapa kerajinan tangan khas Osing :
a. Motif batik Gajah Oling
Motif batik  Gajah Oling  ini merupakan motif batik khas dari Banyuwangi. Motif ini berbentuk sulur-sulur tanaman dan kembang di ujungnya. Motif ini terdapat pada kain batik sebagai baju/busana adat, seperti busana tari Gandrung, pakaian adat manten,  Seblang, dan lain-lain. Selain  sebagai motif pada kain, Gajah Oling  juga  terdapat pada ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing.
b. Tenunan dari serat pisang Abaca
Di desa Kemiren kecamatan Glagah,  terdapat sebuah  kerajinan tangan dari tenunan yang dibuat dengan  berbahan dasar serat pisang Abaca.  Pisang Abaca merupakan tanaman asli kepulauan  Phillipines dan Mindanao yang memiliki serat  tipis tapi sangat kuat. Abaca tidak menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi.  Karena tidak mudah putus, serat Abaca banyak dimanfaatkan untuk bahan  baku  tali tambang, kerajinan dan mebel.  Di Banyuwangi sendiri, tenunan dari Abaca ini dijadikan sebuah kerajinan yang menarik, seperti kap lampu, tirai,  taplak meja,  dan  tatakan makan hingga bantalan kursi
c. Alat musik Angklung
Tradisi Barong Ider Bumi
Angklung di Banyuwangi ini selain sebagai alat musik pengiring dalam pertunjukkan dan upacara adat, juga digunakan dalam mengiringi gerak ani-anian padi. Angklung  sekarang ini  berkembang sangat pesat dan mengalami banyak  varian seperti Angklung Paglak,  Angklung Tetak,  Angklung Dwi Laras  dan  Angklung  Blambangan. Perbedaan penyebutan ini berdasarkan kelengkapan perangkat  musik dan jenis nada yang dibawakannya. Namun semua adalah jenis angklung khas Banyuwangi yang hadir di tengah masyarakat tani telatah Blambangan ini.2
1.     Angklung Paglak : terbuat dari bilah-bilah bambu yang kemudian diatur dalam pangkan dengan nada  slendro  (Jawa).  Angklung Paglak  dahulu digunakan dalam  pesta perayaan panen, yang kemudian berkembang hingga menjadi  cikal bakal  kesenian angklung  di Banyuwangi. Paglak adalah gubuk kecil sederhana yang dibangun di sawah atau di dekat pemukiman. Paglak dibangun dari bambu dan dibangun sekitar 10 meter di atas tanah. Fungsi bangunan ini sebagai tempat untuk menjaga padi dari  burung. Petani biasanya menjaga  sawah sembari bermain alat musik angklung dalam paglak tersebut. Karena itu, seni ini disebut angklung paglak.
2.     Angklung Dwi Laras  :  Merupakan hasil pengembangan dari angklung tetak, penggabungan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro.
3.     Angklung Blambangan :  Angklung Blambangan merupakan improvisasi dari angklung      caruk. Terdapat instrumen musik termasuk gong dan alat musik Gandrung.
Rumah Adat
Di  Banyuwangi,  desa yang masih menggunakan rumah adat  ialah  Desa Kemiren, Kecamatan Glagah dan Desa  Aliyan, Kecamatan  Rogojampi.  Rumah Osing memiliki tampilan ruang yang sederhana dan identik dengan rumah  kampung. Hal ini berkaitan erat dengan struktur sosial pada masyarakat Osing yang mewakili lapisan masyarakat biasa.
a. Konsep bentuk Rumah Adat Osing
Karakteristik rumah Osing terletak pada  bentuk dasar rumah  tersebut sekaligus dalam susunan  secara  berurutan  dari depan ke belakang sesuai dengan susunan  ruangnya.  Bentuk atapnya juga merupakan indikator utama dalam membedakan bentuk dasar rumah Osing. Arsitektur rumah Osing  dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu  Tikel  Balung, Baresan  dan Cerocogan.  Pola ruanganya sendiri terbagi menjadi 3 susunan ruang, yaitu  Bale (ruang tamu), Jrumah  (kamar)  dan  Pawon  (dapur). Sedangkan bagian luar rumah terdiri dari Amper (teras), Ampok (teras samping kanan-kiri).
Rumah Adat Suku Osing
Konsep ruang  pada rumah Osing ini  disesuaikan dengan fungsi dan  aktivitas  keluarga didalamnya,  sebagai wadah  dan sandang pemenuhan hidup  sehari-hari.  Konsep rumah Osing ini dipengaruhi oleh penilaian  makna kegiatan yang dilakukan serta siapa yang menghuni atau melakukan kegiatan di ruang tersebut.
b. Struktur bangunan pada rumah Osing
Struktur utama rumah Osing berupa susunan rangka 4 tiang (saka) kayu dengan sistem tanding  tanpa paku, tetapi menggunakan  paju  (pasak pipih).  Penutup atap menggunakan genteng kampung (sebelumnya adalah  welitan  daun kelapa), dan biasanya masih  berlantai tanah. Dinding samping dan belakang serta partisi rumah Osing menggunakan anyaman  bambu (gedheg).
c. Ornamen dan Ragam hias
Rumah Osing yang memiliki  ornamen biasanya menunjukkan status ekonomi pemiliknya lebih baik. Ornamen yang ada banyak terbuat dari pahat dan ukiran kayu, dengan bentuk yang geometris dan  motif flora. Ornamen dengan motif flora terdiri  dari  Peciringan (bunga matahari), Anggrek,  dan  Ukel  (sulur-suluran) seperti pakis, anggrek atau  kangkung. Motif geometris antara lain Slimpet (swastika) dan Kawung.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria






 Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585

Mandau Senjata Khas Suku Dayak Memiliki Kekuatan Mistis



 Nusantaraku.com-Suku Dayak merupakan suku yang ada di di pulau kalimantan tidak hanya Indonesia, namun juga negara-negara di pulau kalimantan seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Jika anda termasuk orang yang menetap di daerah kalimantan, maka anda sangat tidak asing lagi dengan masyrakat dayak, karena hampir diseluruh penjuru pulau borneo , anda akan menjumpai yang namanya Suku Dayak.

Jika anda belum pernah menjumpai suku dayak, mungkin akan banyak khayalan anda mengenai suku dayak, namun perlu diketahui bahwa kehidupan dayak saat ini sangat modern kecuali suku dayak yang benar-benar berada jauh di pedalaman yang masih sangat tradisional. Walau sangat tradisional namun peradaban modern masih bisa di rasakan juga. Berbicara tentang suku dayak maka sangat erat hubungannya dengan senjata khas suku dayak yaitu mandau.  Mandau merupakan senjata khas suku Dayak yang memiliki kekuatan mistis tinggi’

Pada zaman dayak kuno yaitu zaman pada saat para tetua leluhur suku dayak, mandau merupakan sebuah senjata yang memiliki kekuatan yang sangat sakti. Mandau mampu membuat tanah bergetar dan bergoyang, Mandau mampu membuat air sungai naik menuju daratan, dan tentunya yang mungkin sudah sering anda dengar bahwa mandau mampu terbang yang dapat menebas apapun. Istilahnya bahwanya mandau merupakan sebuah senjata yang memiliki sesuatu kekuatan gaib dan mistik, sehingga pada zaman leluhur suku dayak, mandau dijadikan jimat keselamatan bagi mereka.

 
Yang yang menjadi perbedaan mandau jaman dayak kuno dengan zaman dayak modern ? tentu itu yang menjadi pertanyaan besar bagi sebagian orang. Pada zaman leluhur dayak, lempengan bilah mandau pada masa itu dibuat dari lempangan tembaga asli kalimantan. Mandau jenis ini tidak dimiliki sembarang orang, karena hanya orang-orang tertentu saya yang dapat memiliki mandau ini yaitu mereka yang memiliki ilmu yang tinggi. Berbeda dengan era sekarang, mandau yang ada sekarang sebagian besar di buat dengan menggunakan bahan besi namun mandau dengan bahan tembaga masih bisa di temukan di bumi kalimantan.

Bentuk mandau sangat menyerupai pedang yang kira-kira memiliki panjang sekitar 120 cm. Berbeda dengan sarung-sarung wadah sanjata lainnya, sarung mandau identik dengan warna alami coklat kayu. Ganggang pegangan mandaupun memiliki khas tersendiri, jadi jika diperlihatkan gambar atau diperlihatkan senjata ini secara langsung , pasti orang lain sudah bisa menebak bahwa itu adalah mandau.Penduduk dayak kalimantan sendiri, sudah pasti memiliki mandau dalam kehidupan sehari-harinya.


Mandau pada era ini, sebagian besar digunakan untuk mempertahankan diri dan juga sering di bawa kemana-mana oleh suku dayak, namun ada juga ada yang meninggalkannya di rumah. Namun, sebagian orang, terkhusus para tetua-tetua adat suku dayak dan orang-orang memiliki ilmu, masih memiliki mandau yang memiliki kekuatan gaib dan mistis. Unttuk mandau biasa, anda bisa menjumpai banyak di daerah kalimantan khususnya yang sebuah kios yang menjual pernak-pernik dayak dan jangan khawatir itu tidak mistis. 

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria







Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585



 
                    

Komunitas Suku Dayak, Identitas Pulau Kalimantan

Nusantaraku.com-Sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan memiliki sejuta pesona yang akan membuat kita terkagum-kagum dan bangga untuk menjadi orang Indoneia.
Sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, Kalimantan memiliki sejuta pesona yang akan membuat kamu kagum dan bangga menjadi orang Indonesia. Bukan hanya kekayaan alamnya saja yang melimpah dan menjanjikan, Kalimantan juga menyimpan wujud kearifan lokal yang masih terpelihara dengan baik dan selalu dijaga oleh masyarakat adat di sana sebagai sebuah warisan leluhur yang wajib dilestarikan.

Pulau Kalimantan dihuni oleh suku asli Dayak yang hingga saat ini masih mendiami rimba dan pedalaman Kalimantan. Sebagai wilayah yang banyak dialiri oleh sungai-sungai besar di sepanjang hutan pedalaman Kalimantan, maka tak heran bila penduduk asli Kalimantan memiliki budaya maritim yang lekat di dalam kehidupan sehari-harinya.
Kata "Dayak" sendiri hingga saat ini masih sering diperdebatkan maknanya, sebagian orang mengatakan bahwa "Dayak" berarti manusia, sementara sebagian besar lainnya mengartikannya sebagai pedalaman. Di dalam masyarakat Kalimantan sendiri terdapat perbedaan makna tersebut, di mana orang Dayak Tunjung dan Benuaq mengartikan "Dayak" sebagai hulu sungai, sementara di sisi lain masyarakat Dayak Iban mengartikannya sebagai manusia.
Pada dasarnya di Pulau Kalimantan terdapat banyak suku Dayak yang dibedakan menjadi rumpun-rumpun tertentu, namun kebanyakan orang membaginya di dalam 6 rumpun terbesar saja, antara lain: rumpun Klemantan (kalimantan), rumpun Iban, rumpun Apokayan (Dayak Kayan, Dayak Kenyah dan Dayak Bahau), rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju, dan rumpun Punan. Di antara keenam rumpun tersebut yang menjadi rumpun terbanyak adalah suku Dayak Kenyah yang memiliki aksesoris yang dijadikan sebagai perhiasan bagi tubuh mereka.

Upacara Adat
Suku dayak merupakan suku yang memiliki keunikan dan kedekatan yang sangat kental dengan alam di sekitar mereka, hal ini dapat kita lihat dengan adanya beragam upacara adat yang sering digelar di antara mereka. Di dalam pelaksanaannya, upacara adat merupakan sebuah perwujudan ritual yang dilaksanakan dengan tujuan tertentu demi mendapatkan suatu manfaat bagi kehidupan atau sebagai sebuah ungkapan syukur kepada Tuhan dan juga leluhur.

1.Pekan Gawai Dayak

Gawai Dayak merupakan serangkaian upacara adat yang dilaksanakan sesudah panen dan rutin dilakukan setiap tangga 20 Mei oleh suku Dayak di Pontianak, Kalimantan Barat. Upacara ini layaknya upacara pesta panen yang banyak dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia di wilayah lain, seperti Sumatra dan Jawa.  Gawai dayak dilaksanakan sebagai sebuah ungkapan syukur dan rasa terima kasih kepada Jubata (Tuhan) atas hasil panen melimpah yang telah didapatkan.
Pada dasarnya Gawai Dayak merupakan sebuah upacara tahunan yang digelar di semua perkampungan / wilayah yang terdapat di Kalimantan Barat yang mayoritas penduduknya adalah suku Melayu dan Dayak. Pelaksanaan upacara ini dilakukan pada masing-masing wilayah dengan nama yang berbeda-beda di mana orang-orang menamainya dengan Gawai, Naik dango, Maka Dio dan Pamole Beo.

Perayaan upacara ini akan dilakukan oleh seluruh penduduk kampung yang dipimpin oleh seorang tetua adat atau tetua kampung sebagai pemimpin ritual. Dalam pelaksanaannya pemimpin ritual akan memanjatkan doa-doa dan mantra kepada roh para leluhur di dalam bahasa Dayak. Pembacaan doa ini akan diakhiri dengan acara makan bersama, di mana beragam hidangan dan panganan khas suku Dayak akan disajikan sebagai santapan.

Di dalam pelaksanaannya, Gawai Dayak merupakan sebuah rangkaian ritual adat yang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Upacara ini akan dilakukan secara bertahap dan memakan waktu yang lama sekitar tiga bulan, dalam rentang waktu April-Mei-Juni. Hal ini tentu saja membuat beberapa tokoh masyarakat kemudian berinisiatif untuk menggelarnya secara bersamaan ditiap wilayah sehingga pada tahun 1986 dibentuklah Sekretariat Kesenian Dayak (Sekberkesda) yang salah satu tugasnya adalah menggelar dan mengonsep pelaksanaan pergelaran seni budaya Dayak. Untuk pertama kalinya upacara syukur sesudah panen di daerah masing-masing wilayah Kalimantan Barat diadakan secara serentak, tepatnya pada 30 Juni 1986. Sekberkesda menyelenggarakan pergelaran kesenian Dayak yang pertama kalinya di Pontianak dan upacara tersebut dinamai Gawai Dayak dan sejak saat itu ditetapkanlah tanggal 20 Mei sebagai hari pelaksanaan Gawai Dayak setiap tahunnya.

Gawai Dayak merupakan perayaan acara syukur sesudah panen di tingkat Provinsi, di mana semua suku Dayak dari berbagai daerah berkumpul bersama untuk merayakan upacara ini secara bersama-sama. Di dalam perayaan Gawai dayak, beragam perlombaan tradisional dihelat, seperti: pertunjukkan tarian dan nyanyian dari daerah masing-masing peserta, serta pameran barang-barang kebudayaan dan makanan khas dari tiap-tiap daerah. Gawai Dayak merupakan sebuah perayaan meriah yang menyatukan semua masyarakat Dayak. 

Pada tahun 1992 nama Gawai Dayak diubah menjadi Pekan Gawai Dayak, di mana perayaan ini dicanangkan untuk dilaksanakan selama sepekan penuh. Pekan Gawai Dayak merupakan sebuah pesta tahunan yang paling ditunggu-tunggu baik oleh masyarakat Dayak maupun masyarakat umum, karena perayaan ini bukan hanya sebagai sebuah sarana mempererat hubungan antar suku Dayak tetapi juga sebagai sarana hiburan bagi masyarakat umum dan sebagai upaya untuk tetap melestarikan budaya leluhur.

2. Upacara Tabur Beras Kuning

Ini merupakan sebuah ritual yang dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan diri di saat dalam kondisi terdesak. Pada umumnya ritual ini dilakukan oleh suku Dayak Manyaan atau yang dikenal juga sebagai Suku Dayak Barito Timur. Di dalam pelaksanaannya, Tabur Beras Kuning dimaksudkan sebagai sebuah ritual pemanggilan terhadap roh-roh para leluhur yang dilakukan hanya pada saat suku Dayak Manyaan membutuhkan perlindungan / dalam kondisi terdesak. Hal tersebut juga menandakan bahwa upacara ini bukanlah sebuah upacara yang dapat dilakukan dengan sembarangan.

Tradisi dan Aksesoris
1. Tato (Obor)

Bagi suku dayak, tato atau yang lazim disebut "obor" merupakan sebuah tanda yang lekat hubungannnya dengan tradisi, religi dan status sosial yang mereka miliki. Dengan alasan-alasan tersebut, maka tato di dalam masyarakat Dayak adalah suatu hal yang tidak bisa dibuat secara sembarangan karena memiliki arti yang sangat mendalam.

Tato di dalam suku Dayak bisa dimiliki oleh kaum lelaki dan perempuan yang di mana pembuatannya sendiri masih dilakukan dengan cara tradisional dan sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku. Di dalam pembuatannya, tato tradisional suku Dayak dibuat dengan menggunakan duri buah jeruk yang panjang, namun saat ini pembuatannya bisa menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Satu hal yang tidak berubah di dalam pembuatan tato adalah bahan yang digunakan tetap jelaga dari periuk yang berwarna hitam. Semakin banyak tato, "Obor" yang dimiliki, maka akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang.
2. Aksesoris

Suku Dayak Kenyah merupakan suku Dayak yang memiliki aksesoris sebagai perhiasan tubuh mereka. Umumnya aksesoris ini berupa perhiasan manik-manik yang terbuat dari batu alam. Dahulu batu-batu ini dibentuk dengan tangan dan tanpa bantuan mesin, sehingga warnanya kusam bila dibandingkan dengan manik-manik modern yang dibuat di pabrik. Perbedaan lainnya adalah berat di bebatuan dan manik-manik tersebut, jika ingin membuktikan bahwa manik-manik tersebut asli dari Suku Dayak atau bukan, maka haruslah dilakukan tes dengan cara membakarnya.

Suku dayak merupakan salah satu suku yang memiliki kedekatan yang sangat erat dengan alam, mereka hidup di pedalaman Kalimantan bersama dengan kekayaan alam yang terdapat di sana. Untuk melihat Suku Dayak dan kehidupan yang mereka jalani, kamu bisa mendatangi Desa Budaya Pampang di Samarinda dan Festival Budaya Capgomeh di Singkawang. Bila kamu ingin melihat langsung kehidupan Suku Dayak, bisa memakan waktu perjalanan 2-3 hari untuk menyusuri sungai di Kalimantan. 

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria





.
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585


Beras Kuning Suku Dayak Bernuansa Mistis Sangat Ditakuti

Bottom of Form
Ritual Tradisi Beras Kuning
Nusantaraku.com-Mistis, Beras Kuning Suku Dayak yang Sangat Ditakuti. Dayak Ma'anyan dikenal juga sebagai Suku Dayak Barito Timur.

Berbicara suku dayak , suku ini selalu menawarkan sejuta kisah yang seakan-akan tidak pernah habis untuk di bahas dan diangkat kedalam sebuah tulisan.

Memang suku dayak, tidak hanya terdiri dari satu sub suku, melainkan terdiri dari puluhan sub suku dan setiap sub suku memiliki kebudayaannya tersendiri, gaya hidupnya sendiri, dan kehidupannya sendiri dan tentu memiliki mitos sendiri yang berbeda-beda.

Secara garis besar suku dayak adalah sama namun dengan banyaknya subsuku dayak menjadikan dayak sebagai suku yang berkarakteristik berbeda-beda. Menaik bukan?
Salah satu subsuku dayak yang penulis akan diabahas adalah suku Dayak Ma'anyan. Dayak maanyan adalah salah satu subsuku dayak yang kadang dikenal juga sebagai Suku Dayak Barito Timur. Suku dayak ini mayoritas memang tersebar luas di Barito timur, Kalimantan Tengah. Jika anda pergi ke daerah Barito Timur, maka anda akan menemui mayoritas suku ini yang tentunya sangat ramah kepada pendatang.
Tradisi Ritual Beras Beras Kuning

Salah satu yang menarik dari suku dayak maanyan adalah beras kuning. Konon kabarnya ketika suku dayak maanyan menebar beras kuning, itu merupakan sesuatu yang sangat di takuti oleh orang lain, Seperti pernah kejadian di Barito timur, dimana Polisi dipaksa mundur oleh kumpulan orang dayak, setelah orang dayak maanyan menaburkan beras kuning? sebernarnya ada apa dengan beras kuning ini? kenapa begitu menakutkan bahkan polisi pun ketakutan kala itu?

Dalam tradisi suku kami, dayak maanyan, menurut kabar yang berkembang di masyrakat menabur beras kuning artinya adalah memanggil roh-roh leluhur yang akan memberikan kekuatan kepada suku dayak maanyan. Jika anda pernah mendengar Mandau terbang, maka dari segi spiritual maka menebar beras kuning memiliki arti yang sama. Itulah mengapa ketika beras kuning telah di tabur sangat begitu ditakuti. Tapi tidak dengan sembarangan beras kuning ini ditabur dan pertanyaan yang akan timbul adalah mengapa suku dayak maanyan sampai harus mengeluarkan dan menaburkan beras kuning ?

Jawaban yang masuk akal , mengapa suku dayak harus sampai menaburkan beras kuning adalah karena mempertahankan diri karena orang dayak tidak akan menyerang jika memang tidak merasa terancam. Sebuah kisah pada tahun 2014, di mana polisi dipaksa mundur oleh ratusan warga yang tergabung dalam Komando Pertahanan Adat Dayak Bartim yang berunjuk rasa di DPR Bartim karena tidak puas dengan keputusan KPU yang tidak mengindahkan syarat minimal perolehan kursi di DPRD bagi calon bupati saat itu. Karena Suku dayak pada saat itu merasa terdesak oleh aparat polisi, sehingga mereka harus menaburkan beras kuning untuk menghantam mundur polisi.

Dilain sisi menabur beras kuning ke atas langit maka roh penguasa yang ada di dalam beras kuning dapat hadir keacara atau ritual pemanggilan yang dilakukan oleh orang tersebut. Roh yang ada di dalam beras kuning itu adalah putri selong dan raja angking langit. Sebelum melaksanakan ritual, basir akan memilih beras yang terbaik dan mencampurkan beras tersebut dengan minyak yang bermakna bahwa segala sesuatu yang jahat akan sirna.


Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria























Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585



Penobatan Raja Sintang, Kerinduan Kejayaan Masa Lalu

Garuda, Lambang Kerajaan Sintang
Nusantaraku.com-Masih segar dalam ingatan kita tentang penobatan Raja Sintang. Beberapa tahun berlalu sejak Penobatan Raja Simpang ke-7 tepatnya tanggal 31 Mei 2008. Hasil mufakat keluarga antara Gusti Ibrahim, Gusti Abdul Muthalib, Gusti M Mulia, dan Gusti Mastur telah menyerahkan sepenuhnya kepada Drs H Gusti M Mulia bin Gusti Mesir bin Gusti Roem, untuk dinobatkan sebagai Raja Simpang ke-7 bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin II.
Penobatan yang sakral saat itu dihadiri oleh para raja se-Kalimantan Barat, para pejabat di forum komunikasi pimpinan (Forkopinda), utusan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemerintah Kabupaten Kayong Utara (KKU), tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat Kayong Utara pada umumnya. Penobatan Raja Sintang ini, diangkat oleh dewan adat suku yang berjumlah enam orang.
Masing-masing suku itu, pertama Suku Mayak, berkewajiban menerima utusan yang datang. Ia adalah hulu balang pertama mewakili raja yang menangani hal-hal besar dan menggelar raja.
Kedua, Suku Mengkalang yang bertugas menalangi raja terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan raja, serta menalanginya.  Ketiga Priyayi atau rerahi (muka) raja, menjadi raja sehari ketika raja wafat sedang belum ada penggantinya. Bahasa kerennya raja carateker.
Keempat, Suku Siring yang menjadi pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Kelima diberi pangkat Mambal yang bertugas menambal hal raja, menambal adat, hingga menambal sarana yang rusak. Terakhir, Suku Panca, tidak ada referensi yang jelas tentang suku yang terakhir ini.
Kerajaan Sintang
Keenam suku inilah yang berhak dalam menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja.
Keenam suku tersebut ditetapkan Ikatan Kekerabatan Keraton Simpang (IKRAS). Adapun yang mewakili keenam suku kala itu, Ilyas bin Abdurrahman sebagai Datuk Mayak, Sabar bin Nuh sebagai Datuk Mengkalang, Abdurrani bin Said sebagai Datuk Priyai, Asmah bin Onjol sebagai Nyai Siring, Gunawan ST bin Jamban sebagai Datuk Panca, Hanafi bin HM Salim sebagai Datuk Mambal. Surat penunjukan tersebut ditandatangani Gusti Ibrahim sebagai Ketua IKRAS dan Gusti Imron Nour sebagai Sekretaris IKRAS, ditetapkan pada 20 Mei 2008.
Peristiwa penobatan tersebut merupakan momen yang penting di tengah-tengah kondisi masyarakat yang mulai kehilangan identitas khususnya di Kecamatan Sintang Hilir, Kabupaten Kayong Utara. Kehilangan identitas dikarenakan semakin hari semakin banyak yang kurang mengenal sejarah, terutama daerahnya sendiri. Hal ini disebabkan kurangnya sumber-sumber bacaan atau tulisan, dan dokumentasi sejarah, serta saksi atau pelaku sejarah pada masa lampau yang mulai berkurang, menyebabkan semakin kurangnya pengenalan terhadap sejarah daerah terutama dari kalangan muda.
Sejak penyerahan kekuasaan dan aset-aset kerajaan yang dilebur pada tahun 1959 kepada pemerintah, maka semua inventaris kerajaan atau swapraja menjadi inventaris pemerintah. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah sendiri untuk memfasilitasi dan menjadi regulasi supaya menjaga dan melestarikan semua aset-aset tersebut. Namun kenyataan sungguh berbeda.

Menurut Gusti Hukma, putra dari raja Simpang saat ini, kurangnya perhatian dari pemerintah menyebabkan hampir hilangnya semua aset sejarah, adat, dan budaya yang pernah ada di Kerajaan Simpang. Seperti Istana Simpang yang sudah miring karena tuanya bangunan tersebut sudah diratakan dengan tanah pada tahun 1980-an.
Belum lagi situs-situs dan makam-makam peninggalan sisa-sisa Kerajaan Sintang yang tidak terpelihara. Ditambah dengan pembalakan hutan serta perkebunan kelapa sawit yang lagi santernya sekarang ini yang masuk ke areal pemakaman sehingga merusak makam-makam ataupun situs-situs yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan.
Panembahan Siintang, Pangeran Ratu Sri Negara HRM Ikhsan Perdana  
Raden Jamhari, salah seorang pemerhati seni budaya lokal mengatakan, adanya acara penobatan Raja Simpang beberapa tahun silam diharapkan dapat terbentuknya Ikatan Kekerabatan Kerajaan Simpang. Diharapkan akan terjadi hubungan dan kerjasama yang saling pengertian antara pihak kerajaan yang mewakili nilai-nilai, adat seni, dan budaya. Termasuk situs-situs yang ada di wilayah bekas Kerajaan Simpang, pihak pemerintah sebagai pihak yang wajib memberikan fasilitas untuk melestarikannya.
Sedangkan swasta dan masyarakat sebagai pihak yang wajib menjaga, agar tidak merusak nilai-nilai dan seni dan budaya yang ada. Menjaga agar tidak merusak situs-situs yang ada dengan sebaik-baiknya. Dan tentunya hal itu juga tidak terlepas dari peranan masyarakat dan semua komponen.
Putri bungsu dari almarhum Gusti Mastur bin Gusti Mesir, Utin Elika berharap semoga momen penobatan itu tidak hilang begitu saja. Namun dapat menjadi tonggak kerja sama yang kuat antara pemerintah, swasta, dan pihak kekerabatan Istana Simpang, untuk bersama dalam mengangkat dan melestarikan kembali nilai-nilai luhur, adat, seni, dan budaya yang pernah ada di wilayah Kerajaan Simpang.
Menurut Raden Jamrudin, salah seorang pemerhati sejarah di kecamatan Sintang Hilir mengungkapkan bahwa dari berbagai sumber dan literatur, termasuk kitab tua karangan Mpu Prapanca menyebutkan bahwa pada abad ke-12 kerajaan Matan sudah ada.
Makam Raja-Raja Kerajaan Sintang 

Hal ini membuktikan bahwa pada masa lalu daerah Matan simpang hilir silam sangat jaya dan maju. Hal lain dibuktikan dengan makam makam tua yang berjumlah ribuan di bukit Matan.
 “Dengan kebesaran tersebut kita bersama sama berharap pada pemerintah untuk kembali menghidupkan sejarah masa lalu sebagai aset dan penguatan identitas sebuah daerah. Salah satunya dengan membangun kembali keraton Sintang Matan yang pada saat penobatan dahulu, sempat direncanakan. Semoga upaya kita untuk mengangkat budaya lokal dan sejarah tersebut dapat membawa keberkahan bagi Bumi Tanah Bertuah ini,” Raden Jamrudin menjelaskan.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 - 08122908585


Senin, 14 November 2016

Suku Dani, Sang Penghuni Lembah Baliem

Kepala Suku Dhani
Seorang pria bertubuh tegap dan kekar berdiri di kejauhan. Ia berdiri dengan gagah tanpa sehelai kain pun di tubuhnya. Pria ini hanya menggunakan sebuah benda berbentuk kerucut untuk menutupi kemaluannya. Sorot mata yang begitu tajam, seolah tertuju pada sesuatu di hadapannya. Wajah yang dilumurinya dengan lumpur hitam terlihat sangat seram dan terkesan bengis. Apalagi ditambah dua buah potongan taring babi menyumbul dari lubang hidungnya

Pria ini adalah seorang prajurit dari Suku Dani, Suku besar yang mendiami wilayah Lembah Baliem, pegunungan tengah Propinsi Papua.
Suku Dani adalah suku asli Papua yang cukup dikenal hingga ke seluruh penjuru dunia. Keberadaan suku ini sudah banyak diketahui, bahkan diteliti oleh berbagai pihak dari dalam dan luar Indonesia. Masyarakat suku Dani dikenal sebagai suku berperangai keras dan sangat menggemari peperangan. Namun pada kenyataannya, Suku Dani adalah suku yang sangat ramah, memiliki banyak kemampuan dalam bidang seni, bahkan mereka sangat senang bernyanyi. Jadi, dibalik penampilannya yang keras dan menyeramkan, masyarakat Dani ternyata menyimpan banyak kelembutan.
Keberadaan Suku Dani awalnya diketahui melalui berbagai penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari negara-negara barat sekitar tahun 1900 hingga 1940. Namun pada tahun 1938, ekspedisi pertama yang bersentuhan langsung dengan Suku Dani adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Richard Archbold, seorang pakar ilmu hewan serta filantropi asal Amerika Serikat. Archbold lah yang mengawali penelitian mendalam tentang suku Dani, kemudian para peneliti lain pun silih berganti mempelajari keberadaan suku ini hingga kini.
Komunitas Suku Dhani
Suku Dani sudah tinggal di kawasan lembah Baliem sejak ribuan tahun lalu. Mereka umumnya hidup bercocok tanam ubi dan berburu hewan liar untuk mencari makan. Gaya hidup ini diketahui oleh para peneliti masa lalu melalui beberapa penemuan berupa kapak batu dan ladang-ladang pertanian di sekitar wilayah lembah Baliem. Seiring berkembangnya jaman, peternakan pun kini menjadi pilihan aktifitas Suku Dani. Mereka suka beternak babi, bahkan hewan ini pun dianggap sangat berharga, hingga harga seekor babi bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Dalam hal sistem kekerabatan, Suku Dani sebenarnya tidak terlalu rumit, hanya saja seiring perkembangan jaman, sistem ini mengalami banyak perubahan. Pada dasarnya, suku Dani tidak mengenal sistem keluarga inti dimana satu rumah hanya berisi ayah, ibu, dan anak saja. Suku Dani adalah masyarakat komunal yang hidup dalam satu komunitas. Oleh karena itu, sistem kekerabatannya bersifat kelompok, dimana mereka membagi keluarga menjadi kelompok-kelompok yang tinggal dalam satu wilayah rumah yang bernama Silimo. Jadi, satuSilimo bisa berisi 3 hingga 4 keluarga kecil yang tinggal bersama. Kumpulan beberapa Silimo ini akan menjadi sebuah kampung, kemudian kumpulan beberapa kampung akan menjadi sebuah klan. Akhirnya, klan-klan inilah yang saling terkait menjadi satu kesatuan suku Dani dan mereka tinggal berpencar di seluruh wilayah Lembah Baliem hingga ke Puncak Jayawijaya.
Komunitas Suku Dhani
Banyaknya jaringan hubungan keluarga dalam Suku Dani membuat perselisihan pun tidak dapat terhindarkan. Perang antar klan, kampung, atau keluarga sangat sering terjadi. Apalagi bila kita mengingat lagi bahwa Suku Dani adalah suku yang sangat gemar berperang. Biasanya perselisihan ini disebabkan hal-hal perebutan tanah, perempuan, dan pencurian hewan ternak yang berupa babi. Tidak jarang korban nyawa pun melayang. Ketika masalah tidak dapat diselesaikan baik-baik, panah, tombak, dan parang dapat menancap kapan pun ke tubuh musuh. Namun, di masa modern ini mereka sudah mengenal sistem ganti rugi uang. Kini, perang sudah jarang terjadi dan penyelesaian masalah pun dialihkan menjadi ganti rugi uang ke pihak yang dirugikan.
Kehidupan Suku Dani tidak banyak mengalami modernisasi. Banyak tradisi kuno yang masih mereka pertahankan hingga saat ini. Pakaian, rumah adat, gaya hidup, bahkan bahasa asli pun masih mereka pergunakan walau hal-hal modern telah mereka kenal. Suku Dani hingga kini masih memakai koteka (penutup kemaluan pria yang terbuat dari umbi sejenis labu panjang) dan para wanita pun lebih suka bertelanjang dada dalam kesehariannya. Mereka masih tinggal di honai (rumah khas Suku Dani yang beratapkan jerami, berdinding kayu dan berbentuk jamur) dan bahasa asli Dani masih menjadi bahasa utama mereka, sekalipun mereka juga dapat berbahasa Indonesia.
Suku Dani sangat menarik untuk dipelajari. Banyak kearifan lokal yang akan kita dapat dari kehidupan mereka. Memang hidup mereka masih jauh dari kata modern, namun dalam beberapa hal, (misalnya cara mereka menghargai alam) Suku Dani jauh lebih bijak dari kita yang sering mengaku berbudaya modern. Akhir kata, Suku Dani adalah satu bukti nyata begitu kayanya budaya bangsa Indonesia.

Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585