Patih Gajah Mada |
Kejayaan
Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut
Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya,
Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada.
Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak
wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit
melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan
runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal Majapahit lainnya
adalah Adityawarman, yang terkenal karena penaklukannya di Minangkabau.
Menurut Kakawin Nagarakretagamapupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit
meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa
Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian,
batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut
tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi
terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh
raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Jatuhnya
Majapahit
Sesudah
mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur
melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun
1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah
terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan
pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwarajaatau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Hampir
setiap kota di Pulau Jawa, khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai
nama jalan. Nama Brawijaya juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi
negeri di Kota Malang, yaitu Universitas Brawijaya. Juga terdapat Stadion
Brawijaya dan Museum Brawijaya di kota yang sama. Di samping itu kesatuan
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur
dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana
Ketika
Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai
memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh
Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah
kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan
Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara
Catatan
sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta)
mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan
penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara
tahun 1518 dan 1521 M
Berikut
adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan
antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang
mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan
Majapahit menjadi dua kelompok
Raja-raja Majapahit
1.
Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa
Jayawardhana (1293 – 1309)
2.
Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara
(1309 – 1328)
Surya Majapahit |
3.
Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana
Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
4.
Hayam Wuruk, bergelar Sri
Rajasanagara (1350 – 1389)
5.
Wikramawardhana (1389 – 1429)
6.
Suhita (1429 – 1447)
7.
Kertawijaya, bergelar Brawijaya I
(1447 – 1451)
8.
Rajasawardhana, bergelar Brawijaya
II (1451 – 1453)
9.
Purwawisesa atau Girishawardhana,
bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
10.
Pandanalas, atau Suraprabhawa,
bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
11.
Kertabumi, bergelar Brawijaya V
(1468 – 1478)
12.
Girindrawardhana, bergelar Brawijaya
VI (1478 – 1498)
13.
Hudhara, bergelar Brawijaya VII
(1498-1518)
A. Raden Wijaya
Raden
Wijaya (lahir: ? – wafat:
Majapahit, 1309) adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama yang
memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Sri Maharaja Sanggramawijaya Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Raden
Wijaya nerupakan nama yang lazim dipakai para sejarawan untuk menyebut pendiri
Kerajaan Majapahit. Nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Kadang Pararaton juga menulisnya secara
lengkap, yaitu Raden Harsawijaya.
Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13
atau 14) pemakaian gelar raden belum
populer.
Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut
pendiri Majapahit bernama Dyah
Wijaya. Gelar dyah merupakan
gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar Raden. Istilah Raden sendiri diperkirakan
berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling
tepat adalah Nararya
Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang
dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar
kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih
sering digunakan.
Mendirikan Desa Majapahit
Menurut
prasasti Kudadu, pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati
Gelang-Gelang terhadap kekuasaan Kerajaan Singhasari. Raden Wijaya ditunjuk
Kertanegara untuk menumpas pasukan Gelang-Gelang yang menyerang dari arah utara
Singhasari. Wijaya berhasil memukul mundur musuhnya. Namun pasukan pemberontak
yang lebih besar datang dari arah selatan dan berhasil menewaskan Kertanagara.
Menyadari
hal itu, Raden Wijaya melarikan diri hendak berlindung ke Terung di sebelah
utara Singhasari. Namun karena terus dikejar-kejar musuh ia memilih pergi ke
arah timur. Dengan bantuan kepala desa Kudadu, ia berhasil menyeberangi Selat
Madura untuk bertemu Arya Wiraraja penguasa Songeneb (nama lama Sumenep).
Bersama
Arya Wiraraja, Raden Wijaya merencanakan siasat untuk merebut kembali takhta
dari tangan Jayakatwang. Wijaya berjanji, jika ia berhasil mengalahkan
Jayakatwang, maka daerah kekuasaannya akan dibagi dua untuk dirinya dan
Wiraraja. Siasat pertama pun dijalankan. Mula-mula, Wiraraja menyampaikan berita
kepada Jayakatwang bahwa Wijaya menyatakan menyerah kalah. Jayakatwang yang
telah membangun kembali negeri leluhurnya, yaitu Kerajaan Kadiri menerimanya
dengan senang hati. Ia pun mengirim utusan untuk menjemput Wijaya di pelabuhan
Jungbiru.
Siasat berikutnya, Wijaya meminta
Hutan Tarik di sebelah timur Kadiri untuk dibangun sebagai kawasan wisata
perburuan. Wijaya mengaku ingin bermukim di sana. Jayakatwang yang gemar
berburu segera mengabulkannya tanpa curiga. Wiraraja pun mengirim orang-orang
Songeneb untuk membantu Wijaya membuka hutan tersebut. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, salah
seorang Madura menemukan buah maja yang rasanya pahit. Oleh karena itu, desa
pemukiman yang didirikan Wijaya tersebut pun diberi nama Majapahit.
Menjadi Raja Majapahit
Catatan
Dinasti Yuan mengisahkan pada tahun 1293 pasukan Mongol sebanyak 20.000 orang
dipimpin Ike Mese mendarat di Jawa untuk menghukum Kertanagara, karena pada
tahun 1289 Kertanagara telah melukai utusan yang dikirim Kubilai Khan raja
Mongol.
Raden
Wijaya memanfaatkan kedatangan pasukan Mongol ini untuk menghancurkan
Jayakatwang. Ia pun mengundang Ike Mese untuk memberi tahu bahwa dirinya adalah
ahli waris Kertanagara yang sudah tewas. Wijaya meminta bantuan untuk merebut
kembali kekuasaan Pulau Jawa dari tangan Jayakatwang, dan setelah itu baru ia
bersedia menyatakan tunduk kepada bangsa Mongol.
Jayakatwang
yang mendengar persekutuan Wijaya dan Ike Mese segera mengirim pasukan Kadiri
untuk menghancurkan mereka. Namun pasukan itu justru berhasil dikalahkan oleh
pihak Mongol. Selanjutnya, gabungan pasukan Mongol dan Majapahit serta Madura
bergerak menyerang Daha, ibu kota Kerajaan Kadiri. Jayakatwang akhirnya
menyerah dan ditawan dalam kapal Mongol.
Setelah
Jayakatwang dikalahkan, Wijaya meminta izin untuk kembali ke Majapahit
mempersiapkan penyerahan dirinya. Ike Mese mengizinkannya tanpa curiga.
Sesampainya di Majapahit, Wijaya membunuh para prajurit Mongol yang
mengawalnya. Ia kemudian memimpin serangan balik ke arah Daha di mana pasukan
Mongol sedang berpesta kemenangan. Serangan mendadak itu membuat Ike Mese
kehilangan banyak prajurit dan terpaksa menarik mundur pasukannya meninggalkan
Jawa.
Wijaya kemudian menobatkan dirinya
menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung
Harsa Wijaya, penobatan tersebut terjadi pada tanggal 15 bulan Karttika
tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan 12 November 1293.
Masa Pemerintahan
Dalam
memerintah Majapahit, Wijaya mengangkat para pengikutnya yang dulu setia dalam
perjuangan. Nambi diangkat sebagai patih Majapahit, Lembu Sora sebagai patih
Daha, Arya Wiraraja dan Ranggalawe sebagai pasangguhan. Pada tahun 1294 Wijaya
juga memberikan anugerah kepada pemimpin desa Kudadu yang dulu melindunginya
saat pelarian menuju Pulau Madura.
Pada
tahun 1295 seorang tokoh licik bernama Mahapati menghasut Ranggalawe untuk
memberontak. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai patih,
dan menjadi perang saudara pertama yang melanda Majapahit. Setelah Ranggalawe
tewas, Wiraraja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia
menagih janji Wijaya tentang pembagian wilayah kerajaan. Wijaya mengabulkannya.
Maka, sejak saat itu, wilayah kerajaan pun hanya tinggal setengah, di mana yang
sebelah timur dipimpin oleh Wiraraja dengan ibu kota di Lamajang (nama lama
Lumajang).
Pada
tahun 1300 terjadi peristiwa pembunuhan Lembu Sora, paman Ranggalawe. Dalam
pemberontakan Ranggalawe, Sora memihak Majapahit. Namun, ketika Ranggalawe
dibunuh dengan kejam oleh Kebo Anabrang, Sora merasa tidak tahan dan berbalik
membunuh Anabrang. Peristiwa ini diungkit-ungkit oleh Mahapati sehingga terjadi
suasana perpecahan. Pada puncaknya, Sora dan kedua kawannya, yaitu Gajah Biru
dan Jurudemung tewas dibantai kelompok Nambi di halaman istana.
Akhir Hayat
Menurut Nagarakretagama, Raden Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Ia dimakamkan di Antahpura dan dicandikan di Simping sebagai Harihara, atau
perpaduan Wisnu dan Siwa. Wijaya digantikan Jayanagara sebagai raja
selanjutnya.
B. Jayanagara
Jayanagara (lahir: 1294 – wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan
Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri
Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai
masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal
akibat dibunuh oleh tabib istananya.
Asal-Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Raden Kalagemetputra Raden Wijaya dan
Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia
dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan
Mongol oleh pihak Majapahit. Raden Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua
orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagaiStri Tinuheng Pura, atau “istri yang
dituakan di istana”.
Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan
Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti
Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24
April 1293. Naskah Nagarakretagamajuga
menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka
kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal
4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.
Nama Dara Petak tidak dijumpai dalamNagarakretagama dan
prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. MenurutNagarakretagama, Raden Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi
empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita,
Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang
bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama
lain Dara
Naik Takhta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwarajaatau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.
Dari prasasti tersebut dapat
diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet
yang diperkenalkan Pararatonjelas
bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna “jahat” dan “lemah”.
Jayanagara naik takhta menjadi raja
Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.
Kematian Jayanagara
Pararaton mengisahkan Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan
takhtanya. Ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat
menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus
kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara
sendiri.
Desas-desus
itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi
kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang
diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan
tersebut.
Ra
Tanca adalah tabib istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul
Jayanagara. Dalam kesempatan itu Tanca berhasil membunuh Jayanagara di atas
tempat tidur. Gajah Mada yang menunggui jalannya pengobatan segera menghukum
mati Tanca di tempat itu juga, tanpa proses pengadilan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1328.
MenurutPararaton Jayanagara
didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan.
Sedangkan menurut Nagarakretagama ia
dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga
dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai
Buddha jelmaan Amogasidi.
Jayanagara
meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu takhta Majapahit
kemudian jatuh kepada adiknya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana
Tunggadewi
C. Tribhuwana
Wijayatunggadewi
Tribhuwana
Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga
Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351)
diketahui gelar abhisekanya ialah Sri
Tribhuwanotunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Pemerintahan Tribhuwana
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya
(Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika
Gayatri meninggal dunia tahun 1350, pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula.
Berita
tersebut menimbulkan kesan bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri.
Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tapi mungkin ia
satu-satunya yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia
dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan. Tetapi saat
itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun diwakili
putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya,
Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerahSadeng dan Keta. Menurut Pararatonterjadi persaingan antara
Gajah Mada dan Ra Kembar dalam
memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng. Maka, Tribhuwana pun berangkat
sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng, didampingi sepupunya, Adityawarman.
Peristiwa penting berikutnya dalam
Pararaton adalah Sumpah Palapa yang
diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah
tidak akan menikmati makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan
wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan Tribhuwana terkenal
sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan
Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng (Bali),
Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali. Tahun 1347 Adityawarman yang masih
keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan Sriwijaya dan
Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja(raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan
Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya
hingga mencapai Lamuri di
ujung barat sampai Wanin di
ujung timur.
Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan Tribhuwana adalah tahun
1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena
menurut prasasti Singasari, pada tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi raja
Majapahit.
Tribhuwana Wijayatunggadewi
diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti Singasari).
Ia kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalamSaptaprabhu, yaitu semacam dewan
pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga raja. Adapun yang menjadi raja
Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk.
Tidak diketahui dengan pasti kapan
tahun kematian Tribhuwana. Pararatonhanya
memberitakan Bhre Kahuripan tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun
1371.
Menurut Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak
di desa Panggih. Sedangkan
suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan
didharmakan di Candi Sarwa
Jayapurwa, yang terletak di desa
Japan.
D. Hayam Wuruk
Dyah Hayam
Wuruk adalah raja keempat Kerajaan
Majapahit yang memerintah tahun 1351-1389, bergelarMaharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan
Majapahit mencapai zaman kejayaannya.
Silsilah Hayam Wuruk
Nama Hayam Wuruk artinya “ayam yang terpelajar”. Ia adalah putra
pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya
adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja
bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel.
Hayam
Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi
di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam
Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik
angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya.
Permaisuri
Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Padukasori putri Wijayarajasa Bhre
Wengker. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana
putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat
sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa pemerintahan Hayam Wuruk
Di
bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru
(kemudian bernama Deli, dekat Medan sekarang). Majapahit juga menghancurkan
Palembang, sisa-sisa pertahanan Kerajaan Sriwijaya (1377).
Peristiwa Bubat
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak
menikahi puteri Raja sunda (di Jawa Barat), Diah Pitaloka Citrasemi. Pajajaran setuju asal bukan maksud
Majapahit untuk mencaplok Pajajaran. Ketika dalam perjalanan menuju upacara
pernikahan, Gajah Mada mendesak Pajajaran untuk menyerahkan puteri sebagai
upeti dan tunduk kepada Majapahit. Pajajaran menolak, akhirnya pecah
pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan
Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.
“Kecelakaan
sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam
bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian
Suksesor
Tahun
1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami
Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang
menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.
E. Wikramawardhana
Wikramawardhana adalah raja kelima Majapahit yang memerintah berdampingan
dengan istri sekaligus sepupunya, yaitu Kusumawardhaniputri Hayam Wuruk, pada tahun 1389-1427.
Silsilah Wikramawardhana dan
Kusumawardhani
Wikramawardhana dalam Pararatonbergelar Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama. Nama
aslinya adalah Raden Gagak Sali.
Ibunya bernama Dyah Nertaja,
adik Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Bhre Pajang. Sedangkan ayahnya bernama Raden Sumana yang menjabat
sebagai Bhre Paguhan, bergelar Singhawardhana.
Permaisurinya, yaitu Kusumawardhani
adalah putri Hayam Wuruk yang lahir dariPadukasori.
Dalam Nagarakretagama(ditulis
1365), Kusumawardhani dan Wikramawardhana diberitakan sudah menikah. Padahal
waktu itu Hayam Wuruk baru berusia 31 tahun. Maka, dapat dipastikan kalau kedua
sepupu tersebut telah dijodohkan sejak kecil.
Dari perkawinan itu, lahir putra
mahkota bernama Rajasakusuma bergelarHyang Wekasing Sukha, yang meninggal
sebelum sempat menjadi raja.
Pararaton juga menyebutkan, Wikramawardhana memiliki tiga orang
anak dari selir, yaitu Bhre Tumapel, Suhita, dan Kertawijaya.Bhre Tumapel lahir
dari Bhre Mataram, putri Bhre Pandansalas. Ia menggantikan Rajasakusuma sebagai
putra mahkota, tetapi juga meninggal sebelum sempat menjadi raja.Kedudukan
sebagai pewaris takhta kemudian dijabat oleh Suhita yang lahir dari Bhre Daha
putri Bhre Wirabhumi.
Awal Pemerintahan Wikramawardhana
dan Kusumawardhani
Saat Nagarakretagama ditulis tahun 1365, Kusumawardhani masih
menjadi putri mahkota sekaligus Bhre Kabalan. Sedangkan Wikramawardhana
menjabat Bhre Mataram dan mengurusi masalah perdata.
Menurut Pararaton, sepeninggal Hayam Wuruk tahun 1389, Kusumawardhani
dan Wikramawardhana naik takhta dan memerintah berdampingan. Jabatan Bhre
Mataram lalu dipegang oleh selir Wikramawardhana, yaitu putri Bhre Pandansalas
alias Ranamanggala. Ibu Bhre Mataram adalah adik Wikramawardhana sendiri yang
bernama Surawardhani alias Bhre Kahuripan. Jadi, Wikramawardhana menikahi keponakannya
sendiri sebagai selir.
Raja
sakusuma sang putra mahkota diperkirakan mewarisi jabatan Bhre Kabalan
menggantikan ibunya, meskipun tidak disebut secara tegas dalam Pararaton. Pada
tahun 1398 Rajasakusuma mengangkat Gajah Menguri sebagai patih menggantikan
Gajah Enggon yang meninggal dunia. Berita dalamPararaton ini harus ditafsirkan sebagai “mengusulkan”,
bukan “melantik”. Akhir Pemerintahan Wikramawardhana
Perang
Paregreg membawa kerugian besar bagi Majapahit. Banyak daerah-daerah bawahan di
luar Jawa melepaskan diri ketika istana barat dan timur sibuk berperang.
Wikramawardhana
juga berhutang ganti rugi pada kaisar Dinasti Ming penguasa Cina. Ketika
terjadi penyerbuan ke timur, sebanyak 170 orang anak buah Laksamana Ceng Ho
ikut terbunuh. Padahal waktu itu Ceng Ho sedang menjadi duta besar mengunjungi
Jawa.
Menurut
kronik Cina tulisan Ma Huan (sekretaris Ceng Ho), Wikramawardhana diwajibkan
membayar denda pada kaisar sebesar 60.000 tahil. Sampai tahun 1408 baru bisa
diangsur 10.000 tahil saja. Akhirnya, kaisar membebaskan hutang tersebut karena
kasihan.
Pada
tahun 1426 terjadi bencana kelaparan melanda Majapahit. Bhre Tumapel sang putra
mahkota meninggal dunia tahun 1427. Candi makamnya di Lokerep bernama
Asmarasaba. Disusul kemudian kematian istri dan putra Bhre Tumapel, yaitu Bhre
Lasem dan Bhre Wengker.
Wikramawardhana
akhirnya meninggal pula akhir tahun 1427. Ia dicandikan
di Wisesapura yang
terletak di Bayalangu.Rajasakusuma
meninggal tahun 1399. Candi makamnya bernama Paramasuka Pura di Tanjung.
Kedudukan putra mahkota lalu dijabat Bhre Tumapel putra Wikramawardhana dan
Bhre Mataram.
Pada
tahun 1400 Wikramawardhana turun takhta untuk hidup sebagai pendeta.
Kusumawardhani pun memerintah secara penuh di Majapahit.
Peninggalan sejarah Wikramawardhana
berupa prasasti Katiden (1395),
yang berisi penetapan Gunung Lejar sebagai tempat pendirian sebuah bangunan
suci.
F. Suhita
Prabu Stri
Suhita adalah raja wanita Majapahit
yang memerintah tahun 1427-1447, bersama suaminya yang bernamaBhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja.
Pemerintahan Suhita
Suhita memerintah berdampingan
dengan Ratnapangkaja bergelar Bhatara Parameswara. Pada tahun 1433 Suhita membalas
kematian Bhre Wirabhumi dengan cara menghukum mati Raden Gajah alias Bhra Narapati. Dari berita ini terasa masuk akal kalau hubungan
Bhre Wirabhumi dan Suhita adalah kakek dan cucu, meskipun tidak disebut secara
tegas dalam Pararaton.
Konon, di Lokasi ini, Gajah Mada Mengucap Sumpah Amukti Palapa |
Nama Suhita juga muncul dalam kronik
Cina dari Kuil Sam Po Kong sebagai Su-king-ta,
yaitu raja Majapahit yang mengangkat Gan Eng Cu sebagai pemimpin masyarakat
Cina di Tuban dengan pangkat A-lu-ya. Tokoh Gan Eng Cu ini identik dengan Arya
Teja, kakek Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1437 Bhatara Parameswara
Ratnapangkaja meninggal dunia. Sepuluh tahun kemudian, yaitu tahun 1447 Suhita
meninggal pula. Pasangan suami istri itu dicandikan bersama di Singhajaya.
Karena
tidak memiliki putra mahkota, Suhita digantikan adiknya, yaitu Dyah
Kertawijaya, sebagai raja selanjutnya.
G. Kertawijaya
Dyah
Kertawijaya adalah raja Majapahit yang
memerintah tahun 1447-1451 dengan gelar Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana. MenurutPararaton, Kertawijaya adalah putra
Wikramawardhana dari selir. Putra Wikramawardhana yang lain adalah Hyang
Wekasing Sukha, Bhre Tumapel, dan Suhita. Sebelum menjadi raja, Kertawijaya
pernah menjadi Bhre Tumapel, yaitu menggantikan kakaknya yang meninggal awal
tahun 1427.
Kertawijaya
naik takhta menggantikan Suhita tahun 1447. Pada masa pemerintahannya sering
terjadi gempa bumi dan gunung meletus. Juga terjadi peristiwa pembunuhan
penduduk Tidung Galating oleh keponakannya, yaitu Bhre Paguhan putra Bhre
Tumapel.
Kertawijaya
wafat tahun 1451. Ia dicandikan di Kertawijayapura. Kedudukannya sebagai raja
digantikan Rajasawardhana
Hubungan antara Rajasawardhana
dengan Kertawijaya tidak disebut secara tegas dalam Pararaton, sehingga muncul pendapat
yang mengatakan kalau Rajasawardhana naik takhta setelah membunuh Kertawijaya.
Pendapat lain mengatakan Rajasawardhana adalah putra Kertawijaya yang nama
aslinya tercatat dalam prasasti Waringin Pitu sebagai Dyah Wijayakumara.
H. Brawijaya
Prabu
Brawijaya (lahir: ? – wafat: 1478)
atau kadang disebut Brawijaya Vadalah
raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat, yang
memerintah sampai tahun 1478. Tokoh ini diperkirakan sebagai tokoh fiksi namun
sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi, yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskahPararaton. Namun pendapat lain
mengatakan bahwa Brawijaya cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu
tokoh yang pada tahun 1486 mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan
Kadiri.
Kisah hidup
Babad
Tanah Jawi menyebut nama asli Brawijaya
adalah Raden Alit. Ia naik
tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian
memerintah dalam waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya[rujukan?] yang bernama
Arya Damar belum lahir, sampai akhirnya turun takhta karena dikalahkan oleh
putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga anak tiri Arya Damar.[rujukan?]
Sementara itu pendiri Kerajaan
Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya
sebagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama Brawijaya bukan hanya raja
terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya. Naskah serat ini menyebut
urutan raja-raja Majapahit ialah:
·
Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
·
Prabu Brakumara
·
Prabu Brawijaya I
·
Ratu Ayu Kencanawungu
·
Prabu Brawijaya II
·
Prabu Brawijaya III
·
Prabu Brawijaya IV
·
dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Baik
itu pemerintahan Brawijaya ataupun Brawijaya V sama-sama dikisahkan berakhir
akibat serangan putranya sendiri yang bernama Raden Patah pada tahun 1478.
Raden Patah kemudian menjadi raja pertama Kesultanan Demak, bergelar Panembahan
Jimbun
Asal usul nama
Meskipun sangat populer, nama Brawijaya
ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan
Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki dari mana para pengarang naskah
babad dan serat memperoleh nama tersebut.
Nama Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya. Gelar bhra adalah singkatan daribhatara, yang bermakna “baginda”.
Sedangkan gelar bhre yang
banyak dijumpai dalam Pararaton berasal
dari gabungan kata bhra i,
yang bermakna “baginda di”. Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut catatan Tome Pires yang
berjudul Suma Oriental,
pada tahun 1513 di Pulau Jawa ada seorang raja bernamaBatara Vigiaya. Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo.
Pemerintahannya hanya bersifat simbol, karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya
yang bernama Pate Amdura.
Batara
Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis untuk Bhatara Wijaya,
Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik dengan
Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu tahun 1486, di mana ia mengaku
sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri. Pusat pemerintahan Dyah
Ranawijaya terletak di Daha. Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota
Majapahit.
Babad
Sengkala mengisahkan pada tahun 1527
Kadiri atau Daha runtuh akibat serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak.
Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa Daha masih dijabat oleh
Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar demikian, berarti Ranawijaya
merupakan raja Daha yang terakhir.
Mungkin
Bhatara Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat
Jawasebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian disingkat
sebagai Brawijaya. Namun, karena istilah Majapahit identik dengan daerah
Trowulan, Mojokerto, maka Brawijaya pun “ditempatkan” sebagai raja yang
memerintah di sana, bukan di Daha.
Kerajaan
Majapahit yang berpusat di Trowulan menurut ingatan masyarakat Jawa berakhir
pada tahun 1478. Oleh karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun
tersebut. Padahal Bhatara Ranawijaya diketahui masih mengeluarkan prasasti Jiyu
tahun 1486. Rupanya para pujangga penulis naskah babad dan serat tidak
mengetahui kalau setelah tahun 1478 pusat Kerajaan Majapahit berpindah dari
Trowulan menuju Daha.
Bhre Kertabhumi dalam Pararaton
Gerbang Majapahit |
Pararaton hanya menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang
berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan
naskah tersebut tertulis:
Bhre
Pandansalas menjadi Bhre Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388,
baru menjadi raja dua tahun lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang
Sinagara yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre
Kertabhumi terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan
ambigu.[rujukan?] Tidak
jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre
Pandansalas ataukah anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang
meninggal dalam istana pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah
raja sebelumnya.
Teori yang cukup populer[rujukan?]menyebut Bhre
Kertabhumi sebagai tokoh yang meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori
ini mendapat dukungan dengan ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po
Kong Semarang yang menyebut nama Kung-ta-bu-mi sebagai
raja Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina
untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kandadisebutkan bahwa,
Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden Patah pada
tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI,
atau 1400 Saka. Atas dasar berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap
identik[rujukan?] dengan
Bhre Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah
dalam waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif
singkat.
[sunting] Kung-ta-bu-mi dalam Kronik
Cina
Naskah
kronik Cina yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang antara lain
mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang.
Dikisahkan,
raja terakhir Majapahit bernama Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin
Bun yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir
Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi
secara hormat ke Bing-to-lo.
Kung-ta-bu-mi
merupakan ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah
Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik
dengan Arya Damar. Sedangkan Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa alias
Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah
menjadi raja di Majapahit.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya Damar adalah anak Brawijaya dari seorang
raksasa perempuan bernama Endang Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak
tiri sekaligus ayah angkat Raden Patah.
Menurut
kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi, sedangkan Swan
Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah Cina. Kisah ini
terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan serat.
Selanjutnya
dikisahkan pula, setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan
Demak. Bekas kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang
Cina muslim sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa
penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la,
menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh
Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya
dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina tersebut, Dyah Ranawijaya
alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus bupati bawahan Raden Patah.
Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre Kertabhumi menurut kronik
Cina.
Teori keruntuhan Majapahit
Peristiwa
runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini
terjadi pada tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara
lain:
·
Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia
dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak Bintara. Konon Brawijaya kemudian masuk
Islam melalui Sunan Kalijaga. Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan
diri ke Pulau Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan
serat ini uraiannya terkesan khayal dan tidak masuk akal, namun sangat populer
dalam masyarakat Jawa.
·
Raja terakhir adalah Bhre
Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Raden Patah. Setelah itu Majapahit menjadi
bawahan Kesultanan Demak. Teori ini muncul berdasarkan ditemukannya kronik Cina
dari Kuil Sam Po Kong Semarang.
·
Raja terakhir adalah Bhre
Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara
Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan
pernah terjadi peperangan antara keluarga Girindrawardhana melawan Majapahit.
·
Raja terakhir adalah Bhre
Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul
karena Pararaton tidak
menyebutkan secara jelas apakah Bhre Kertabhumi merupakan raja terakhir
Majapahit atau bukan. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu,
apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 Masehi) adalah Bhre
Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Bhre
Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak
Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Bhre
Pandansalas mati dibunuh oleh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya pada tahun
1478.
Pemakaian nama Brawijaya
Meskipun
kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk
akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Candi Brahu, Peninggalan Kejayaan Kerajaan Majapahit |
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 –
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar