Prabu Tawangalun di Desa Macan Putih |
Nusantaraku.com-Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menyimpan
sejuta cerita sejarah. Wilayah di ujung timur Pulau Jawa ini juga identik
dengan peninggalan zaman Majapahit. Sebelum menjadi kabupaten, daerah ini
dikenal dengan nama Blambangan. Penguasa yang paling terkenal adalah Prabu
Tawangalun. Bekas peninggalan kerajaan ini banyak ditemukan di Desa Macanputih,
Kecamatan Kabat.
Tidak ada prasasti yang menyebutkan tentang
kisah Tawangalun. Namun dari penelusuran para sejarawan, raja Hindu ini
memerintah sekitar tahun 1645-1691. Kepastian tahun ini didapatkan dari tulisan
Leukerker, penulis dari Belanda. Dikisahkan, Tawangalun adalah salah satu
keturunan dari Prabu Brawijaya, raja Majapahit dari keluarga di pegunungan
Tengger.
Silsilah Tawangalun berawal dari Lembu
Anisroyo, bangsawan dari daerah Tengger, Bromo. Dari bangsawan ini lahirlah
Ario Kembar yang memiliki putra Bima Koncar atau Minak Sumende,dilanjutkan dengan
Minak Gadru atau Minak Gandrung, kemudian Minak Lampar atau Minak Lumpat. Dari
bangsawan terakhir ini nama Tawangalun muncul,yakni Tawangalun I dan Tawangalun
II.
Ada dua babad berbeda yang mengisahkan
kebesaran Tawangalun. Termasuk julukan siapa yang dikenal dengan Tawangalun I
dan II. Menurut babad Sembar, kemunculan Tawangalun diawali penyerbuan Minak
Lumpat ke keraton Kedawung. Saat itu, Kedawung dengan wilayah Lumajang, Malang
dan Blambangan dikuasai oleh Pangeran Singosari.
Penyerbuan itu berhasil. Pangeran Singosari
takluk dan kabur ke Mataram meminta perlindungan Sultan Agung. Peristiwa ini
meletus sekitar tahun 1638-1639. Saat kabur, Pangeran Singosari membawa
Putranya Mas Kembar. Sepuluh tahun berselang, Mas Kembar dikawinkan dengan
selir Sultan Agung yang hamil tiga bulan. Kemudian dijadikan raja di Blambangan
setelah menaklukan wilayah ini. Tahun 1645, Mas Kembar dilantik menjadi raja
Blambangan di Probolinggo dan bergelar Prabu Tawangalun. Oleh Sultan Agung dia
diperintahkan melindungi Blambangan dari serangan Bali.
Setelah dilantik, Mas Kembar berniat
membebaskan diri dari Mataram dengan bantuan keris si Gagak milik gurunya, Ki
Wongso Karyo. Dikisahkan, penguasa Mataram, Amangkurat I yang dikenal dengan
Pangeran Kadilangu. haus dan kepingin minum keris orang Blambangan. Kala itu,
keris Wongso Karyo berubah menjadi air, lalu diminum. Saat bersamaan, Mas
Kembar pamit pulang ke Blambangan. Saat itulah, keris Wongso Karyo keluar lagi
dari dada Pangeran Kadilangu, dan membuatnya tewas.
Melihat lawannya tewas, Mas Kembar mengajak
bawahannya pulang ke Blambangan. Bersamaan itu, lima senopatinya diperintahkan
menggelar perang besar yang dikenal dengan perang undur-undur. Senopati
Blambangan dengan kesaktiannya mencabut pohon kelapa, lalu mengibaskanya di
sepanjang jalan yang dilewati. Sekitar tahun 1676, Tawangalun dinobatkan
sebagai raja Blambangan yang bebas dari kekuasaan Mataram dengan gelar
Susuhunan Blambangan.
Versi lainnya, dalam babad Tawangalun
dituliskan Mas Kembar adalah bapak dari raja Tawangalun. Selama menjadi
raja, Tawangalun mendirikan istana besar bernama Macanputih. Nama kerajaan ini
tetap hidup hingga sekarang dan menjadi Desa Macanputih. Konon, nama Macan
Putih adalah kendaraan Tawangalun,yakni seekor harimau putih. Harimau ini
diyakini sebagai penjelmaan guru spiritual Tawangalun.
Ceritanya, setelah perang saudara dengan
adiknya, Mas Wilo, Tawangalun merasa menyesal. Setelah membunuh adiknya,
Tawangalun bersemadi di hutan Rowo Bayu, Songgon. Kala itu, bangsawan ini
mendapat wangsit diminta berjalan ke arah timur laut. Saat bersamaan munculah
seekor harimau putih. Sesuai petunjuk, Tawangalun diminta menaiki harimau itu.
Begitu naik, harimau tersebut membawanya ke
arah timur laut dan menghilang di daerah Kabat. Tempat menghilangnya harimau
itulah kemudian didirikan istana bernama Macanputih. Konon, istana itu dibuat
oleh Kongco Banyuwangi selama 5 tahun 10 bulan. Tinggi benteng istananya
diperkirakan mencapai 3 meter dengan lebar 2 meter. Kehebatan benteng
Macanputih masih bisa ditemukan hingga sekarang. Ukuran batu merah yang
digunakan mencapai 30×20 cm berbahan batu cadas putih. Sejumlah benda
peninggalan zaman itu juga banyak ditemukan di sekitar lokasi.
Sejarawan Universitas Gajah Mada (UGM),
Jogjakarta, Sri Margana menjelaskan nama Tawangalun berkaitan dengan kerajaan
Blambangan yang juga rangkaian dari Majapahit . Sesuai silsilahnya, Blambangan
pernah berpindah sebanyak 7 kali. Pertama di bangun di sekitar Pasuruan, Jawa
Timur. Karena terjadi pemberontakan, pusat kerajaan pindah ke Macanputih, Kabat
dengan raja Tawangalun II. Dahulu desa Macanputih dikenal dengan nama
Sudiamala. Dijelaskan, kerajaan Prabu Tawangalun II ini dikenal sebagai
kerajaan Hindu terakhir di tanah Jawa. Kerajaanya berjaya selam 36 tahun,
periode 1655-1691. Setelah rajanya wafat, kerajaan ini hancur dan berubah
menjadi kerajaan kecil di bawah kekuasaan Bali.
Menurut buku yang ada di perpustakaan
Leiden, raja Tawangalun II meninggal pada 25 Oktober 1591 dan diaben dengan
upacara besar. Dari 400 permaisurinya, 270 diantaranya mengikuti upacara bakar
diri bersama sang raja. Pusat Kerajaan Blambangan di Macanputih memiliki luas
4,5 kilometer persegi dengan jumlah pasukan 36.000 orang dan pelayan kerajaan
sebanyak 1000 orang.
Istana Macanputih diyakini sempat berpindah
tiga kali. Pertama di daerah Wijenan, Keblak dan Lateng. Tiga daerah ini
terletak di lereng timur laut gunung Raung. Kini, ketiganya berada dalam dua
wilayah kecamatan, Rogojampi dan Kabat. Selain sakti, Prabu Tawangalun dikenal
dengan sifat religiusnya. Raja ini mangkat tanggal 18 September 1691. Kemudian
diaben tanggal 13 Oktober 1691 di plecutan dalam istana Macan Putih. Sebelum
meninggal, Prabu Tawangalun sempat meminta bantuan Belanda dari serangan Untung
Suropati dari Pasuruan, Jawa Timur.
Kala itu, Pangeran Puger dari Mataram
bersama Untung Suropati berniat menaklukan
Blambangan. Merasa terancam Tawangalun
meminta bantuan kekuatan Belanda. Tanggal 14 September 1961, dua utusan
Belanda, Jeremeas Van Flit dan Van Sen tiba. Namun empat hari berselang, Prabu
Tawangalun keburu meninggal. Setelah itu, Macan Putih diserang Mataram dan
hancur. Versi lainnya, hancurnya kerajaan Macan Putih karena terkena lahar api
letusan gunung Raung. Sejak itulah, istana itu diwariskan ke sisa keturunan
Tawangalun. Dari keturunan itulah, nama Banyuwangi yang akhirnya menjadi
wilayah kabupaten ujung timur Jawa muncul.
Dalam catatan sejarah, Blambangan dikenal
paling kuat mempertahankan kekuasaan. Tercatat lebih dari tujuh serangan besar
dari kerajaan lain menyerang Blambangan. Seluruhnya berhasil dipukul mundur.
Serangan paling besar datang dari penguasa Mataram. Bali juga sempat melakukan
penyerangan ke Blambangan. Namun akhirnya berdamai. Selama mempertahankan
kekuasaan, Blambangan selalu mendapat dukungan dari raja-raja di Bali. Karena
itu, Banyuwangi sampai sekarang memiliki ikatan historis dengan Bali.
Berkumpulnya Pengikut Kejawen
Sisa peninggalan zaman Prabu Tawangalun
banyak tersebar di Desa Macanputih, Kecamatan Kabat. Sayangnya, situs purbakala
itu banyak yang hancur. Bahkan punah tanpa bekas. Sedikitnya, ada tiga lokasi
yang masih bisa dirasakan nuansa kerajaan. Masing-masing Watu Ungkal, Mangkuto
Romo dan Sanggar Pamujan. Ketiganya berada di areal Desa Macanputih.
Watu Ungkal dipercaya bekas tempat mengasahnya
senjata saat membabat hutan sebelum mendirikan kerajaan Macanputih. Di tempat
ini ditemukan batu berukuran besar. Watu dalam bahasa Jawa disebut batu, sedang
ungkal berarti mengasah. Mangkuto Romo adalah tempat meditasinya raja
Tawangalun. Di tempat ini sekarang didirikan sebuah balai besar. Sanggar
Pamujan diyakini tempat bersembahyangnya para keluarga kerajaan. Di lokasi ini
dibangun sebuah tempat mirip situs kuno.
Hampir seluruh bekas keraton Tawangalun
berada di Desa Macanputih. Banyaknya situs yang ditemukan sebagai bukti
kebesaran kerajaan ini. Warga di Desa ini sejak dulu sering menemukan
benda-benda kuno. Seperti patung, perabot rumah tangga,bahkan bekas kereta.
Sayangnya, tak satu pun yang peduli merawatnya. Kebanyakan begitu ditemukan langsung
dijual atau dikoleksi sendiri secara diam-diam.
Dari sejumlah situs, Mangkuto Romo dan
Sanggar Pamujan paling sering dikunjungi warga. Terutama para pengikut Kejawen
atau filosofi Jawa kuno. Dua lokasi ini dipercaya masih memiliki kekuatan
supranatural tinggi. Hari-hari tertentu, dua lokasi ini banyak diserbu warga.
Apalagi jelang pesta demokrasi kemarin. Para caleg berebut mendatangi tempat
ini untuk meminta berkah.
Sanggar Pamujan terletak di tengah
perkebunan tebu. Lokasinya cukup terpencil dari perkampungan warga. Untuk
mencapai tempat ini, pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke
lokasi. Meski tergolong situs, Sanggar Pamujan masih berstatus tanah pribadi.
Luasnya sekitar 30 m2.
Lokasi tersebut sering dikenal dengan
istilah Petilasan. Tempat ini pertama kali ditemukan sejak zaman penjajahan
Belanda. Ceritanya, salah satu pejuang Banyuwangi, Kopral Mustareh sedang
melakukan penyerangan melawan Belanda. Keajaiban muncul ketika pejuang ini
mulai terdesak. Sesosok orang aneh muncul melindungi Mustareh dari serangan
meriam Belanda.
Merasa dilindungi, Mustareh menjadi
penasaran. Dia pun mencoba berkenalan dengan orang aneh tersebut. Saat
didekati, orang tak dikenal itu mengaku dari Banyuwangi, tempatnya di tengah
hutan dan terdapat pohon mlinjo tua.Usai berkata tersebut, orang tak
dikenal itu langsung menghilang.
Pulang dari berjuang, Mustareh mencoba
mencari lokasi yang dimaksud. Setelah bermeditasi, ditemukanlah dua pohon
mlinjo besar dan tua. Di sekitar lokasi ditemukan tumpukan bata mirip tembok
istana dan sebuah lempengan batu menyerupai tempat duduk. Di tempat ini
akhirnya dibuat tanda petilasan. Di sekitar lokasi terdapat beberapa pohon
mlinjo berusia ratusan tahun. Anehnya lagi, ada sepasang pohon berbeda,
beringin dan kemuning yang dahannya menyatu. Konon, pohon ini berkasiat
menyatukan hubungan suami istri yang terpisah.
Petilasan ini pertama kali dibangun sekitar
tahun 1964. Awalnya, di atas lempengan batu ditempatkan sebuah mahkota terbuat
dari tanah liat. Di sekilingnya dibangun atap berbentuk segi enam. Tahun 1981,
petilasan diperlebar dengan berdirinya bangunan lebih besar. Lantai petilasan
juga dikeramik. Sejak itulah, petilasan Tawangalun menjadi terkenal.
Pengunjung datang dari berbagai daerah.
Seperti Bali, Lombok, Flores dan kota-kota besar di Jawa. Warga luar negeri
dari Malaysia dan Australia juga sempat berkunjung. Biasanya, mereka menggelar
ritual meditasi dan renungan suci. Khusus umat Hindu Bali, mereka datang saat
hari raya Galungan dan Kuningan. Pengunjung kebanyakan datang pada malam hari.
Juru kunci petilasan tidak membatasi mereka yang berkunjung. “ Ini terbuka
untuk umum, syaratnya tidak boleh membuat keributan,” ujar Nurudin yang juga
juru kunci generasi ke-3 ini.
Petilasan Prabu Tawangalun |
Dia mengaku susuhan (panggilan
Tawangalun),tidak berkenan petilasan tersebut diberikan lampu. Secara
kenyataan, jika petilasan tersebut diberikan lampu akan mengundang bahaya.
Lokasinya yang sepi menjadi sasaran empuk orang jahat.
Selain petilasan, beberapa peninggalan
lainnya juga kerap kali didatangi pengunjung. Sayangnya, hingga kini belum ada
kepedulian Pemkab Banyuwangi untuk menjadikan lokasi sejarah itu menjadi obyek
wisata. Sementara ini, pengunjung hanya mengetahui dari kelompok mereka
masing-masing.
Kebesaran Tawangalun tak hanya terlihat
dari petilasannya. Zaman penjajahan Belanda, daerah ini menjadi pusat batalyon
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) warga Banyuwangi. Nama bataliyon itu adalah
Macanputih, disesuaikan dengan bekas kerajaan Macanputih yang terkenal. Konon,
bataliyon ini paling sulit ditaklukan Belanda dan Inggris.
Untuk mengenang perjuangan bataliyon
tersebut di beberapa sudut Desa Macanputih berdiri sejumlah monumen bataliyon
di bawah pimpinan Letkol. R. Ahmad Rifai itu. Termasuk beberapa tembok yang
menandakan batas dari keraton Macanputih. Beberapa perabot kuno berbahan
keramik juga dipajang dalam monumen. Sayang, berdirinya monumen itu belum bisa
diterima warga setempat. Sejumlah bangunan monumen sempat dirusak warga.
Seluruh monumen ini didirikan oleh para pemerhati budaya dan sejarah Blambangan
yang tergabung dalam tim independen Banyuwangi.
Moksa di Rowo Bayu
Peninggalan Tawangalun yang paling terkenal
adalah Rowo Bayu. Tempat ini dipercaya sebagai lokasi bersemadi Prabu
Tawangalun sebelum mendirikan keraton Macanputih. Rowo Bayu adalah danau kecil
di puncak bukit di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, sekitar 80 km arah barat daya
kota Banyuwangi.
ini menyimpan sejuta kekuatan magis. Selain
di tengah hutan, tempat ini memiliki empat mata air suci. Masing-masing, sumber
Kaputran, Dewi Gangga, Kamulyan dan Sumber Ratu. Letaknya persis di atas danau
Rowo Bayu. Konon, mata air suci ini muncul selama Tawangalun melakukan semedi
dan moksa di tempat itu.
Dari sekian mata air, sumber Kamulyan yang
paling disucikan. Mata air ini muncul langsung dari bongkahan batu. Letaknya di
samping batu petilasan tempat bersemadi Prabu Tawangalun. Zaman dahulu, mata
air ini digunakan menyucikan diri sebelum melakukan semadi. Menurut cerita,
sumber Kamulyan pertama kali ditemukan sesepuh Desa Bayu, Mbah Sudirjo, sekitar
tahun 1960-an. Kala itu, muncul tulisan emas di atas mata air tersebut.
Rowo Bayu ditetapkan sebagai salah satu
obyek wisata oleh Pemkab Banyuwangi. Kini, kawasan di tengah hutan pinus
tersebut dipermak menjadi kawasan wisata alam dan spiritual. Petilasan
Tawangalun juga dibangun mirip sebuah candi. Tempat ini menjadi jujugan para pencari
spiritual dari berbagai daerah.
Wisata Rowo Bayu dulunya berupa rawa dan
hutan bambu. Baru sekitar tahun 1960, daerah ini mulai dijamah warga.
Sebelumnya, daerah tersebut menjadi kawasan angker. Sejak dibabat warga, sudah
dua juru kunci yang merawat kawasan Rowo Bayu. Pertama, perangkat desa setempat
menunjuk juru kunci perempuan. Namun hanya bertahan tidak lebih setahun.
Kemudian mengundurkan diri.
Kemudian dilanjutkan oleh dua juru kunci
laki-laki, Mbah Saji (70) dan Jimis (72), keduanya warga setempat. Sayangya,
mereka lupa tahun berapa mulai mengabdi menjadi juru kunci. Ada pengalaman
menarik ketika mbah Saji pertama kali masuk Rowo Bayu. Kala itu, dia mendengar
suara tangisan dari arah atas mata air. Merasa curiga, pria lanjut usia ini
mendekat. Begitu dilihat, dia mendapati mata air suci itu dipenuhi batang
bambu. Saking kotornya, hampir menyerupai air rawa.
Merasa terpanggil, mbah Saji dengan suka
rela membersihkan tempat tersebut. Selama 45 hari, pria ini bekerja sendirian
membersihkan mata air itu. Beberapa bulan kemudian, satu warga lainya, Jimis
terusik hatinya. Pria ini pun ikut merawat dan membersihkan sekitar mata air.
Termasuk seluruh kawasan Rowo Bayu.
Perjuangan mbah Saji dan Jimis membuahkan
hasil. Sejak itu, Rowo Bayu mulai tertata. Penataan Rowo Bayu bertambah ketika
Banyuwangi dipimpin Bupati Samsul Hadi, tahun 2000 silam. Kawasan ini resmi
dijadikan obyek pariwisata. Selain petilasan Tawangalun, Rowo Bayu dikenal
dengan perang puputan Bayu, tahun 1771. Kala itu, pejuang Blambangan berperang
habis-habisan melawan Belanda. Peristiwa heroik ini menjadi cikal bakal
lahirnya kota Banyuwangi.
Petilasaan Prabu Tawangalun |
Pembangunan Rowo Bayu mulai nampak tahun
2004. Para pemerhati budaya dan sejarah mendirikan petilasan di sekitar batu
semadi Prabu Tawangalun. Tahun 2005 lalu, Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari
membangun petilasan dengan bahan keramik. Terakhir pembuatan candi di lokasi
petilasan dan pura tahun 2007 kemarin. Bahannya terbuat dari batu gunung. Pura
di Rowo Bayu diberi nama Pura Puncak Agung Macan Putih. Peristiwa gaib muncul
ketika petilasan di bangun. Batu bekas semadi Tawangalun tidak bisa dipindah.
Setelah dilakukan ritual, batu berbentuk lempengan itu bisa dipindahkan.
Kejadian aneh lainnya, patung Tawangalun yang sedianya diletakkan di pura,
ternyata tidak bisa dipindah. Sampai sekarang patung tersebut tetap berada di
tempatnya semula di bawah hutan bambu dan sebuah pohon tua bercabang dua.
Sama dengan petilasan lainya, pengunjung
petilasan Rowo Bayu kebanyakan pengikut kejawen. Rata-rata mereka ingin
mendapatkan mukti dan ngalap berkah di tempat tersebut. Mereka yang datang
kebanyakan warga dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Bali. Sejak
berdiri pura, warga dari Bali sering tangkil ke tempat itu. Terutama saat hari
raya Kuningan. Berdirinya pura ini pun tidak luput dari wangsit yang diterima
juru kunci setempat. Begitu pula lokasi berdirinya pura.
Mbah Saji menuturkan petilasan Tawangalun
bisa dijadikan tempat mencari jati diri. Ditambah lagi terdapat tiga mata air
suci yang bisa memberikan pencerahan. Menurutnya, menjadi manusia hanyalah
bertugas sebagai pengabdi. Dari sinilah kata dia mukti atau moksa bisa dicapai
dengan mudah. Dari filosofi itu, pria ini rela mengabdi menjadi juru kunci
petilasan tanpa mendapat gaji. Untuk kebutuhan sehari-hari, dia bersama
istrinya membuka warung kopi di dekat lokasi.
Menurutnya, nama Tawangalun memiliki makna mendalam.
Tawang artinya pikiran yang luas, sedang Alun berarti samudera. Nama Tawangalun
diartikan sebagai kepribadian yang memiliki pikiran luas layaknya samudera.
Alasan inilah yang menjadikan mbah Saji tanpa pamrih menjadi abdi dalem
petilasan. Dia bersama Jimis bertekad mengabdikan sisa hidupnya untuk merawat
petilasan itu.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585
https://djengasih.com/blog/hal-ini-jadi-penyebab-suami-selingkuh
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585
https://djengasih.com/blog/hal-ini-jadi-penyebab-suami-selingkuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar