Tirtayatra Blambangan |
Asal usul kerajaan Blambangan ditinjau dari realitas sejarah.
Kerajaan Blambangan,
dalam perjalananya tidak terlepas dengan kerajaan Majapahit sebagai kerajaan
antar nusa kedua, yang berdiri tahun 1293, sedangkan Blambangan diperkirakan
berdiri dua tahun setelahnya yaitu pada Tahun 1295, berdirinya kerajaan
Blambangan ini terkait dengan gugatan Aria Wiraraja terhadap Raden Wijaya Raja
Majapahit, dimana tuntutan itu berawal kesepakatan jika kerajaan Majapahit
telah terbentuk harus mengembalikan kekuasaan dinasti Rajasa yang direbut
Jayakatwang dari gelang –gelang Kediri, dengan keputusan bahwa kerajaan
Majapahit yang telah berdiri itu nantinya akan dibagi dua. Adapun
yang menjadi pemicu motivasi tuntutan Aria Wiraraja terhadap Raden Wijaya
berawal dari pemberontakan Ronggolawe, yang saat itu sebagai Adipati Tuban pada
tahun 1295. Berdasarkan kidung Ronggolawe, sebenarnya Ronggolawe adalah putra
dari Aria Wiraraja, Adipati Sumenep yang berada di Madura, pemberontakan itu
berawal dari ketidak sepahaman tentang pengangkatan Rakiyan Empu nambi, menjadi
Maha Patih Majapahit, menurut pandangan Ronggolawe, Rakiyan empu Nambi dianggap
tidak pantas, karena kontribusi jasa di saat pendirian kerajaan Majapahit
kurang begitu besar. Menurut Rongolawe yang lebih pas menduduki jabatan itu
adalah Lembu Sora, pamannya atau Ronggolawe sendiri. Pemberontakan ini telah di
halangi sebelumnya oleh Aria Wiraraja, dengan pertimbangan akan menjadi
pemberontak dan preseden buruk bagi Ronggolawe yang akan mengalami reinkarnasi,
namun karena sikap Ronggolawe yang tergolong ksatria, dengan segala resiko
akhirnya dirinya tidak mengindahkan nasehat dari Aria Wiraraja, dia tetap
memegang prinsip meskipun ia sudah mengetahui konswekensinya.
Kondisi ini diperparah oleh intrik dari Mahapati kerajaan yang sangat ambisius
agar orang-orang terbaik Majapahit yang
menjadi rivalnya itu dapat tersingkirkan.
Meskipun pada akhirnya
saat terjadi perebutan kekuasaan para ksatria Majapahit tersingkir dengan
sendirinya. Kepulangan Ronggolawe dari sidang istana waktu itu, akhirnya
berbuntut malapetaka, dengan terjadinya pertempuran di sungai tambak beras
daerah Tuban, awalnya pasukan Majapahit kocar-kacir menghadapi prajurit Tuban,
namun setelah majunya senopati majapahit, yang bernama Kebo Anabrang sebagai
mantan komandan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 yang diunggulkan,
pertempuran antara kebo Anabarang dengan Ronggolawe berjalan seimbang, namun
lama kelamaan Ronggolawe kewalahan, saat itu dengan kekuatannya Kebo Anabrang
menghimpit Ronggolawe dengan kepala yang dicelupkan ke sungai Tambak beras
telinganya berdarah, sehingga sungai tambak beras berwarna merah. Lembu Sora
tak kuasa melihat keponakannya yang terdesak dan akhirnya kalah ikut bertarung
dan menusuk Kebo Anabrang, dan kedua ksatria tersebut harus mati sia-sia,
melihat peristiwa ini menjadikan Raden Wijaya hatinya menjadi pilu, akibat dari
intrik ambisi untuk mendapatkan kekuasaan sang
Mahapati atau lebih dikenal Ramapati insiden ini menimbulkan banyak
korban.
Raden Wijaya sebagai
penguasa Majapahit yang konsisten tetap menepati janji kesepakatan awal, yang
akhirnya menyepakati kerajaan Majapahit di bagi dua Aria Wiraraja diberi
kekuasaan daerah Lumajang utara, dan daerah lumajang selatan serta daerah
Tigang Juru, yang didalamnya adalah wilayah Blambangan, dengan pusat
pemerintahan awal yang berkedudukan di Lumajang dan Aria Wiraraja
dinobatkan sebagai raja Blambangan pertama.
Nama Kerajaan
Blambangan secara pasti berdasarkan sumber dari prasasti, salah satunya
terdapat dalam prasasti Jayanegara II atau disebut prasasti Bukit Lamongan,
sebagai akibat penumpasan pemberontakan Nambi di lumajang pada tahun 1313,
setelah benteng Pajarakan dihancurkan oleh Majapahit, dan benteng pertahanan
terakhir Nambi, di bukit Lamongan, juga dihancurkan maka Jayanegara, Raja
Majapahit II, mengeluarkan prasasti Lamongan atau disebut Prasati Jayanegara
II, yang isinya:
1. Menarik
kembali wilayah yang dipinjamkan kepada Aria Wiraraja;
2.Menjadikan wilayah Blambangan, menjadi
daerah swatantra/ atau Blambangan diberi otonomi tidak berdiri
sendiri tetapi menjadi bagian dari Majapahit.
Pemberontakan Kerajaan
Blambangan terhadap Kerajaan Majapahit.
Perang Paregreg yang
terjadi pada Tahun 1401-1406, antara Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon.
Peristiwa ini berawal
dari perebutan kekuasaan setelah meninggalnya raja terbesar Majapahit, yakni
Hayam Wuruk sebagai antisipasi perpecahan Bhre Wirabumi sebagai putra dari
istri selir diberi kedudukan sebagai penguasa di kedato wetan (Blambangan),
sedangkan Putri dari Permaisuri yang bernama Kusumawardhani kawin dengan keponakan
Hayam Wuruk, yang bernama Wikramawardhana menjadi penguasa di kedaton kulon
(Majapahit), sepeninggal Hayam Wuruk hubungan antara
kedua penguasa ini cukup harmonis, namun setelah Wikramawardhana melepaskan
jabatan meninggalkan urusan duniawi, menjadi seorang pendeta kedukukan itu
digantikan oleh putrinya yang bernama Dewi Suhita, mulai timbul keretakan
hubungan antara kedaton kulon dan kedaton wetan yang saat itu diperintah oleh
Bhre wirabumi yang merasa dirinya lebih berhak atas tahta tunggal Majapahit.
Tari Jangger, Khas Blambangan |
Konflik internal ini
kemudian dimanfaatkan oleh pihak asing, hal itu ditunjukan dengan intervensi
dari Kekaisaran Mongol Cina. Sebagai bukti kedua kerajaan ini, untuk
melangsungkan eksistensinya, mengirimkan utusan ke Cina. Pertama kedaton kulon
yang diakui kedaulatannya dengan diberi stempel oleh Kaisar Cina. Selang
berikutnya Bhre wirabumi juga mengirimkan utusan ke Cina dan awalnya
tidak diberi balasan. Kepentingan politik untuk campur tangan urusan internal
Majapahit, pada akhirnya Cina pun memberikan pengakuan atas kedaulatan kedaton
wetan (Blambangan) melalui pengiriman utusan di bawah pimpinan laksamana Cheng
Ho untuk memberikan cap stempel kaisar kepada Bhre Wirabumi.
Dukungan Cina tersebut
mendorong Wikramawardhana mengirim utusan untuk menyerbu kedaton wetan di bawah
pimpinan Raden Gajah. Pada saat penyerangan Majapahit yang dipimpin oleh Raden
Gajah terjadi insiden politik internasional; utusan cina sebanyak 170 orang
tersebut akhirnya ikut terbunuh. Sedangkan Bhre Wirabumi tertangkap kemudian
kepalanya dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Kepala Bhre
Wirabumi ini dikebumikan di Desa Lung, dan dicandikan dengan sebutan nama Candi
Giri Sapura yang terletak di daerah Trowulan, Mojokerto. Sehingga akibat
peristiwa pemenggalan tersebut dalam cerita rakyat dan legenda di masyarakat
Banyuwangi saat ini, terciptalah sebuah mitos Menak Jinggo dan Damarwulan.
Berikut beberapa
pendapat seputar mitos tersebut. Ditinjau dari sejarah sastra tentang cerita
Menak Jinggo dan Damarwulan berdasarkan penelitian serat Damarwulan yang
tertua, dibuat pada tahun 1748 pada masa Pakubuwono II, dari Keraton Surakarta
pecahan Mataram. Menurut Purbo Caroko ahli sejarah dan pilology, yang dimaksud
Menak Jinggo adalah bentuk dari gugatan Aria Wiraraja kepada Raden Wijaya.Mitos Menak Jinggo dan
Damarwulan.
Minak Jinggo |
Menurut CC.Berg
seorang Orientalis Belanda, kisah Menak Jinggo identik dengan pemberontakan
Sadeng, yang dipimpin oleh Adipati Sadeng, sedangkan yang menumpas
pemberontakan sadeng, adalah patih gajah mada dan adityawarman, Pada masa
pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi Ibu Hayam Wuruk. Diluar surat perintah
menumpas pemberontakan sadeng ada elit penguasa Majapahit, diluar
komando ingin menumpas sendiri pemberontakan sadeng, dia adalah Rakembar,
Rakembar ini diidentikan dengan layang setro dan layang kumitir.
Menurut Stutterhim,
Damarwulan diidentikan dengan suami Tribuanatunggadewi, yaitu Kerta Wardhana.
Menurut
Brandess, kisah Menak jinggo dan Damarwulan erat kaitannya dengan
perang paregreg, Menak jinggo diidentikan dengan Bhre Wirabumi, sedang
Damarwulan diidentikan dengan Raden Gajah, karena Raden Gajah tidak ada ikatan
perkawinan dengan penguasa Majapahit, bahkan oleh Dewi Suhita, Raden Gajah
tidak mendapatkan ganjaran malah dibunuh, karena Dewi Suhita memandang Bhre
Wirabumi adalah kakek dari Dewi Suhita.
Berdasarkan kajian
analisa tersebut diatas sebenarnya tentang cerita Damarwulan dan Minak Jinggo
adalah cerita fiktif belaka, yang dalam penciptaannya mungkin tergolong jenis
sastra yang bernuansa politis. Ada beberapa kemungkinan,
diantaranya, pertama, untuk memberikan pelajaran kepada elit penguasa
mataram, yang pada waktu itu selalu berebut kekuasaan dan melupakan nasib
rakyat. kemungkinan kedua, memberikan pelajaran kepada penguasa dan rakyat
Blambangan, yang sering memberontak kepada penguasa baik pada masa Majapahit,
Demak, Mataram, Bali, dan Belanda yang dalam cerita tersebut, pemberontak
digambarkan sosok yang jelek dan ending-nya kepalanya dipenggal,
sebagai shock therapy kepada rakyat Blambangan. Sedangkan
kemungkinan ketiga, pengarang tidak bermaksud menjelekan etnis tertentu,
melainkan murni sebagai keindahan karya sastra.
Blambangan dibawah
bayang pengaruh Kekuasaan Kerajaan Demak dan Bali.
Raja terbesar demak
yaitu Sultan Trenggono Pernah menyerang Blambangan sampai tiga kali
penyerangan, bahkan sampai mengakibatkan Raja Demak Sultan Trenggono tahun 1546
Meninggal dunia atau Wafat ketika menyerang panarukan. Dengan demikian, Demak
tidak berhasil menaklukan Blambangan.
Blambangan dibawah
kekuasaan Bali, pasca kematian raja terbesar Blambangan yaitu Prabu Susuhunan
Tawang Alun II (1691). Ketika terjadi perebutan kekuasaan di antara putra-putra
prabu Tawang Alun yang mengakibatkan pemindahan Ibukota Blambangan dari Ibu
kota Macan Putih ke Wijenan Singojuruh, adalah Anak Sosro Negoro pengganti
Tawang Alun yang bernama Mas Purbo Atau Pangeran Danu Rejo untuk balas dendam
kematian ayahnya akibat persekongkolan macan Apura dengan saudara – saudaranya.
Danurejo meminta bantuan kekuasaan Raja Buleleng dengan pendaratan ki
Panjisakti di pantai Tirto Rum dekat candi Bang untuk mengusir Macan Apura.
Mulai pada masa Danu
Rejo inilah Blambangan berada dibawah Vasal Buleleng. Danurejo memindahkan
Ibukota Blambangan di kota Lateng Rogojampi. Ibukota inilah merupakan pusat
Ibukota Blambangan yang terlama selama 77 tahun. Setelah lepas dari
kerajaan Buleleng Blambangan juga jatuh ke kekuasaan Klungkung Atau
Gel-Gel dan Mengwi. Anak Danurejo yang bernama Danuningrat diangkat sebagai
Raja Oleh Dewa Agung dari Meng wi dan Adiknya Mas Sirno atau Wong Agung Willis
diangkat menjadi Patih mendampingi kakaknya. Sedangkan untuk pengawasan
Blambangan ditempatkanlah komandan pasukan Bali yang dipimpin oleh Ronggo
Satoto yang mengepalai pasukan Blambangan.
Akibat, intrik
kekuasaan Wong Agung Willis dicopot dari jabatannya Sebagai Patih Blambangan di
ganti anaknya sendiri yaitu bernama Suta Wijaya. Danuningrat yang ingin lepas
dari kekuasaan Meng wi pernah Minta bantuan kepada V.O.C. akan tetapi VOC belum
tertarik menanamkan pengaruhnya di Blambangan.
Sebagai wujud bentuk
perlawanan selain tidak taat kepada ketetapan keputusan Dewa Agung yang
mempertahankan Wong Agung Willis, Suta Wijaya sebagai pengganti Wong Agung
Willis membunuh Ronggo Satoto, Panglima Bali yang ditempatkan Di Blambangan.
Peristiwa pembunuhan ini dalam babad Blambangan disebabkan akibat Adu Jangkrik.
Hal ini sebenarnya berhubungan dengan intrik perebutan kekuasaan yang ingin
lepas dari kekuasaan Meng wi. Sebagai akibat peristiwa, Danuningrat di panggil
Oleh Raja Meng Wi dengan segala ancaman kemudian Danuningrat di bunuh di pantai
Seseh Tabanan Bali.
Wong Agung Willis yang
tersingkir dari percaturan politik di Blambangan menyingkir ke pesisir pantai
manis, di wilayah pantai selatan dekat Pancer, Pesanggaran. Pada
waktu tentara Bugis, Makasar, mendirikan benteng di Bong Pakem, sebanyak
delapan ribu tentara di bawah pimpinan Daeng Pagersah dan Daeng Pagaruyung.
Ronggo satoto akhirnya meminta bantuan Wong Agung Willis untuk mengusir tentara
Bugis Makasar.Pada waktu diminta bantuan oleh RonggoSatoto tersebut,Wong agung
willis sedang mengaji kitab Suluk Sudarsih Awalnya permintaan Ronggo satoto itu
ditolak Namun karena Patriotisme yang cukup tinggi mempertahankan Blambangan
dari ancaman kekuasaan Bugis Makasar, sikap itu berubah tiba – tiba sewaktu
shubuh Wong Agung willis yang berkoordinasi dengan Ronggosatoto mengadakan
serangan kilat kekubu pertahanan Orang bugis makasar di bong Pakem.tentara
Bugis makasar kocar kacir banyak yang meninggal. Bahkan, Dua pemimpinnya
yaitu,Daeng Pagersah terbunuh sekarang makamnya ada di karang Rejo dekat jalan
menuju pulau Santen sedangkan Daeng Pageruyung Juga terbunuh makamnya ada di
Dusun Kramat kelurahan kertosari.
Blambangan di bawah
kekuasaan Mataram.
Situs Ompak Songo |
Mataram melakukan penyerangan
secara besar besaran sebanyak tiga kali, yaitu tahun1635, 1639 dan 1640.
Blambangan dapat dihancurkan. Coretan hitam Mataram terhadap Blambangan adalah
pembunuhan terhadap Ajar Selakantoro dan Ajar Sekando, sebagai pemuka agama
Hindu di Blambangan. Di samping itu, banyak orang-orang Blambangan yang
ditangkap dan dipekerjakan secara kerja membangun Ibukota Mataram. Bukti
sejarah menunjukan di daerah Jogjakarta dan Surakarta ada namanya kampung Gajah
Pinggir. Orang orang Blambangan ditawan Mataram dan bahkan putri-putri
Belambangan dijadikkan inang untuk menyusui dan mengasuh putra-putra Raja
Mataram. Sampai sekarang di keraton Yogyakarta ada Kaputren Blambangan. Masalah
ini di sembunyikan dalam sejarah karena bisa menimbulkan konflik antar daerah seperti
imbas peristiwa Bubat.
Meskipun Mataram dapat
menghancurkan Blambangan, dalam perkembangan selanjutnya tidak mampu mengontrol
kekuasaan di Blambangan. Sebagai bukti ketidakmampuan Mataram dalam mengontrol
Blambangan, di dalam cerita babad blambangan dijelaskan adanya kekalahan guru
spiritual Raja Mataram Amangkurat I yang bernama Pangeran Kadilangu. Kadilangu
adalah keturunan sunan Kalijogo dikalahkan oleh Ki bagus Wongso Karyo, guru
Spiritual Prabu Tawang Alun. Di dalam adu kesaktian di Alun-Alun kerajaan
Mataram, Pangeran Kadilangu terbunuh oleh senjata Ki Bagus wongso Karyo atau
lebih terkenal dengan sebutan Buyut Cungking. Di samping itu kegagalan mataram
terlihat dari tetap kuatnya penguasa-penguasa Blambangan masih memeluk agama
Hindu.
Blambangan jatuh ke
tangan VOC Th.1767
Blambangan pada era
tahun 1760-an masih berada dalam pengaruh kekuasaan kerajaan Meng wi,
sepeninggal Raja Danuningrat sedangkan Wong Agung Willis masih ada di
pengasingan di pantai Selatan. Wakil penguasa Bali di Blambangan adalah Gusti
Ngurah Ketut Kaba-Kaba, berkedudukan di ibukota Lateng. Penguasa Bali ini
kurang mendapatkan dukungan politik rakyat Blambangan karena sikap perilaku
politiknya kurang simpatik, sering menyakiti hati rakyat Blambangan. Rakyat
Blambangan tetap menunggu kehadiran Wong Agung Willis untuk tampil kembali di
bumi Blambangan.
Gusti Ngurah Ketut
Kaba-Kaba menjalin hubungan dengan Inggris sehingga Inggris dengan mengijinkan
Inggris membuka kantor dagang (di kota Banyuwangi ada kampong yang disebut
dengan Inggrisan).
Ketut Kaba-Kaba
sendiri oleh kompeni dianggap tidak mampu menjaga keamanan Blambangan dan
membiarkan Blambangan sebaga sarang bajak laut, tempat pelarian orang-orang
Bugis Makasar serta orang-orang China yang melarikan akibat pembantaian orang
cina di Batavia, tahun1740.
Pada pertengahan abad
ke-17, berdasarkan laporan mata-mata Kompeni Belanda di Probolinggo mengatakan
bahwa pedagang dari Inggris seringkali datang melakukan transaksi dagang di
sekitar pelabuhan utama Blambangan. Laporan ini menjadi salah satu alasan dasar
penguasa Belanda di Jawa bersikeras untuk menaklukan Blambangan. Permohonan
Gubernur Semarang untuk menaklukan Blambangan disetujui oleh Gubernur Jenderal
di Batavia. Pengerahan pasukan segera dilakukan oleh Blanke yang ditunjuk
sebagai komandan pasukan ekspedisi militer ke Blambangan. Dalam pasukan militer
ini, kolonial Belanda mengikut sertakan pasukan dari bupati–bupati di Jawa
Timur, seperti, Madura Barat, Sumenep, Surabaya, Pasuruan, Bangil, dan
Probolinggo. Blanke dengan pasukannya berangkat dari Semarang tanggal 17
Februari 1767 untuk kemudian bergabung dengan pasukan dari para Bupati di Jawa
Timur.
Gerakan pasukan
kompeni dan sekutunya berangkat dari Panarukan tanggal 13 Maret 1767; berhasil
menduduki Banyu Alit Pada tanggal 21 Maret 1767. Beberapa hari kemudian,
tanggal 25 Maret 1767, ibukota kerajaan Blambangan yaitu, kota Lateng, dapat di
rebut oleh Kompeni. Dua orang kepala daerah perwakilan Meng wi di Blambangan
yaitu Gusti Kutho Bedah dan Gusti ngurah ketut Kaba-kaba tetap melakukan
perlawanan menyingkir ke Ulupangpang. Gusti Ngurah ketut Kaba-kaba mengadakan
perang puputan. Sebagai suatu yang sangat berharga dalam pandangan kesatria
Bali.
Perlawanan Wong Agung
Wilis dan Mas Rempeg Jogopati.
Petilasan Susuhunan Blambangan |
Ditaklukannya Blambangan,
tahun 1767, tidak berarti bahwa daerah tersebut aman bagi kompeni. Perlawanan
di galang oleh Pangeran Agung Willis, yang pada waktu itu menjadi Pangeran di
Blambangan.
Di bawah
kepemimpinannya, rakyat Blambangan hidup makmur dan Sejahtera. Kepemimpinan
Pangeran Agung Willis dikenal adil dan bijaksana, sebagaimana digambarkan pada
Babad Blambangan, ”Nagoro Blambangan karo karti murah kang sarwo tinumbas soho
dai kang sarwo tinandur….(Ndaru Suprato 1984:Hal 135).
Mas Dalem Puger, yakni
anak Pangeran Agung Wilis mendesak ayahnya untuk menyerang loji kompeni belanda
di Banyu Alit. Sebenarnya Pangeran Wilis kurang begitu setuju dengan usulan
anaknya itu. Menurut perhitungannya persenjataan yang dimiliki tidak seimbang
dengan musuhnya. Namun demikian, desakan anak dan kerabatnya meluluhkan
Pangeran Agung Wilis untuk melakukan penyerangan ke benteng kompeni itu.
Pertempuran terjadi dengan seru, dan seperti telah diperhitungkan terkait
ketidak seimbangan persenjataan, dengan cepat perlawanan Wgung wilis dapat
dipatahkan. M,erasa terdesak pasukan Blambangan mundur dan kompeni mengejar
serta mengejar serta membakar rumah-rumah penduduk. Dalam situasi
kritis, Pangeran Agung Wilis meninggalkan istana. Dengan cedera lutut kanannya
tertembak, beliau bertahan di Dusun Blimbingsari. Pada tahun 1768 Pangeran
Agung Wilis tertangkap oleh Belanda, sedangkan keluarganya diasingkan ke
Selong.
Walaupun Pangeran
Agung Willis telah ditangkap dan diasingkan, tetapi pengaruhnya masih
berlanjut. Besarnya pengaruh Pangeran Agung Wilis ini tampak tatkala Pangeran
Jogopati atau Mas Rempeg pada tahun 1771-1772, melawan kompeni Belanda,
rakyat Blambangan dengan sukarela membantu perjuangannya. Salah satu
alasannya, karena rakyat Blambangan beranggapan, Mas Rempeg merupakan reinkarnasi
Pangeran Wong Agung Wilis, yang sangat dihormati.
Petilasan Susuhunan Blambangan |
Dalam Perang Bayu
selain tokoh sentralnya, P,angeran Jogopati juga terdapat tokoh lain,
diantaranya, Bopo Rupo, Bopo Endo, Bopo Larat, dari Lemahbang Kidul. Ketiganya
merupakan tokoh spiritual yang memberikan semangat perjuangan kepada tentara
Bayu. Selain itu, juga Bekel Utun dari Bedewang dan pejuang wanita yang bernama
Sayu Wiwit. Sayu Wiwit, diperkirakan dari anak Wong Agung Wilis yang sempat
diungsikan dan dititipkan kepada bekel Gumuk Jati, Jember. Sayu Wiwit dikenal
sebagai senopati dari Blambangan Barat membantu perlawanan rakyat Bayu.
Akibat perang bayu
V.O.C banyak kehilangan perwira dan pejabat militer yang tewas diantaranya,
Residen Bieshuvel, Letnan Van Schaar, Letnan Kornet Tinne, Vaan Drig
Oustrously, Kapten Reygers, dan ratusan pasukan eropa dan prajurit pribumi.
Karena banyak kehilangan perwira dan prajurit ,V.O.C menjadi defensif dan
menarik semua pasukanya ke kota Lateng dan Ulu Pampang. Sebaliknya, rakyat
Blambangan yang penduduknya pada waktu sekitar enampuluh ribu hilang dalam
pertempuran dan juga kena hama penyakit, yang mematikan sehingga penduduk
Blambangan tersisa tinggal lima ribu jiwa, tersebar di beberapa daerah
terpencil, seperti, hutan Gendong, Petang, Kaliagung dan Pucang Kerep. Mereka
hidup dalam kesengsaraan dan kehilangan harapan hidup.
Tawang Alun II, Raja
Macan Putih (1655-1691).
Sejarah Blambangan
pada masa Tawang Alun agak lebih jelas karena ada warisan yang ditinggalkan
berupa naskah Babad Blambangan yang terdiri dari Babad Sembar, babad
Tawang Alun, Babad Bayu dan Babad Notodiningrat. Menurut
Ndaru Suprapto, delapan puluh prosen kisah babad ini ada unsur kebenaran
sejarah-nya. Karena sang penulis yang bernama Purwo Sastro mengalami sendiri
Peristiwa dan penulisannya dekat dengan peristiwa tersebut.
Keunikan Tawang Alun
Adalah sebagai penguasa yang umurnya sangat panjang serta meninggal secara
alami. Disamping itu, Tawang Alun adalah termasuk salah satu raja terbesar
kerajaan Blambangan yang mampu memerdekakan Blambangan dari pengaruh kekuasaan
asing, apakah itu dari Mataram, Bali maupun VOC.
Kemerdekaan Blambangan
itu tercapai mulai tahun 1676, setelah Tawang Alun menyatakan lepas dari
pengaruh kekuasaan Mataram mendapatkan gelar baru, yaitu Prabu Susuhunan Tawang
Alun. Tawang Alun di kenal mampu mensejahterakan rakyatnya dan berhasil
membangun pusat Ibukota Blambangan di Macan Putih secara megah. Tembok keliling
kota tingginya 12 kaki; batubatanya besarnya 6 kaki. Sedangkan panjang keliling
ada empat setengah kilo meter. Untuk ornamen hiasan pendopo istana kerajaan
didatangkan pengrajin – pengrajin dari China. Puing-puing reruntuhan tembok
keliling ibukota Macan Putih masih ditemukan berdasarkan laporan Van Weckermen
sebagai penguasa militer di Blambangan, pada tahun 1805, Bahkan, situs Bangunan
tembok keliling ibukota Mcan putih masih meninggalkan sisa masih ada tahun
1920. Laporan Thpegiud, puing-puing sisa tembok keliling itu masih ada di Malar
Kabat dan juga ada di desa Gombolirang.
Keunikan lain Tawang
Alun konon istrinya sampai empat ratus orang. Tanggal 18 september 1691, dua
puluh lima hari setelah wafatnya, Tawang Alun di kremasi atau Ngaben Ada dua
ratus tujuh puluh Istrinya yang ikut bela pati atau yang ikut di kremasi. Dari sisa
seratus tiga puluh istri Tawang Alun yang hidup keturunannya menjadi penguasa
Blambangan. Adapun keturunan terakhir Prabu Tawang Alun yang menjadi Bupati
Banyuwangi adalah Pringgo Kusumo, tahun1867. Bahkan sampai sekarang ada
perkumpulan keluarga Tawang Alun. Sebagai perbedaan keturunan Tawang Alun yang
menjabat dan pro pemerintah kolonial Belanda, gelarnya Bernama Raden. Sedangkan
yang anti Belanda bergelar Mas, seperti, Mas Supardi, Mas supranoto, Mas Saleh,
dan lain-lain. Untuk perempuan bergelar Masayu atau Sayu, seperti, Sayu
Gringsing, Sayu Wiwit dan sebagainya.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 –
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar