Nusantaraku.com-Di kisahkan, Rsi Markandya mengajak sekitar 800
pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih,
Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit.
Setelah bermeditasi, Rsi Markandiya bersama sebagian pengikutnya kembali lagi
ke lereng Raung. Keanehan muncul, pengikutnya mendadak sembuh setelah mandi di
lereng Raung. “Ini kisah tentang nama Sugihwaras (sugih = kaya, waras = sehat)
yang kami dapat dari Bali,” kata Hadi Pranoto, sesepuh Hindu Sugihwaras.
Kemudian, Rsi Markandiya kembali ke Bali disertai sekitar 400
pengikut, mengangkut bale agung dari Raung. Sang Rsi juga membawa panca datu,
lima jenis logam yang menjadi cikal bakal upacara di Bali. Di Bali bekas
perjalanan Rsi Markandiya bisa ditemukan di Pura Raung, Tegalalang, Gianyar.
Mayoritas penduduk Sugihwaras sekarang pemeluk Hindu. Jumlahnya
sekitar 113 KK. Ada dua pura tua yang berdiri di tempat ini, Pura Giri Mulyo
dan Pura Puncak Raung. Kepastian bekas kehidupan Markandiya di lereng Raung
diketahui warga sekitar tahun 1966. Saat itu Agama Hindu sedang berkembang
setelah terjadi pergolakan politik peristiwa G 30 S/PKI. Pengikut ajaran
kejawen memilih Hindu sebagai patokan sembahyang. Setelah itu, warga yang hidup
di pinggir hutan Raung, tepatnya di Gumuk Kancil menemukan sebuah genta terbuat
dari kuningan.
Sejak itu, sejumlah peralatan sembahyang lainnya sering
ditemukan, seperti arca Siwa. Kebanyakan barang itu terbuat dari bahan
kuningan. Warga juga banyak menemukan perabot rumah tangga seperti cangkir,
uang kepeng, tempat tirta, kendi. Hampir seluruh benda itu ditemukan dalam
timbunan tanah.
Warga pun menemukan bekas bangunan candi di tengah hutan,
terbuat dari batu padas berukir indah. Sebuah arca Siwa lingam juga ditemukan
di tempat ini. Lokasinya di tengah hutan Gumuk Payung, Kecamatan Sempu, sekitar
lima kilometer arah timur lereng Raung.
Bagi umat Hindu Sugihwaras, Rsi Markandiya menjadi panutannya.
Untuk mengenang ajarannya, umat setempat membangun sebuah candi di Gumuk
Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Letaknya menghadap ke puncak
gunung. Tempat ini diyakini sebagai bekas tempat pertapaanya Rsi. Sejak dulu
Gumuk Kancil dikenal mistis. Sebelum ada pura, pengikut kejawen sering
bersembahyang di tempat ini. Para pemburu binatang pun sebelum berburu berdoa
di sini.
Lokasi dan Pembangunan Candi
Candi Agung Gumuk Kancil berdiri tegak di dataran tinggi Glenmore sekitar 400
meter dari permukaan air laut, tepatnya di Petilasan Maha Rsi Markendya di
Dusun Wonoasih Desa Bumiharjo Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi. Candi
bermotif Prambanan itu digarap selama 132 hari dengan dana Rp 150 juta.
Diresmikan pada 11 Agustus 2002.
Piodalan diikuti sekitar 400 umat Hindu dari 50-an pura di
Banyuwangi. Acara diawali dengan mendak tirta dari sumber Banyu Urip KPH
Perhutani Banyuwangi Barat sejauh 300 meter utara Candi Agung Gumuk Kancil.
Selanjutnya iring-iringan mendak tirta tiba di Candi Agung Gumuk Kancil,
dilanjutkan dengan gunungan, yakni mengelilingi candi tiga kali. Saat acara
gunungan berlangsung, umat Hindu yang ingin mengikuti sembahyangan mulai
berdatangan sehingga dalam waktu singkat, pelataran Candi Agung Gumuk Kancil
dipadati warga berpakaian serba putih.
Ketua Panitia Pembangunan, mengatakan padatnya pelataran Candi
Agung Gumuk Kancil saat piodalan cukup dimaklumi mengingat kawasan tersebut
merupakan persinggahan Maha Rsi Markendya, sebelum melanjutkan perjalanan
ritualnya ke Bali. Bahkan di kawasan kaki Gunung Raung ini, Maha Rsi Markendya
sempat mendirikan pasraman dengan murid-murid dari wong aga.
“Dari Gunung Raung, beliau melanjutkan ke Bali. Di Bali, beliau
menanamkan panca datu sebagai cikal bakal Pura Agung Besakih. Dari kronologis
ini kami melihat perlunya dibangun candi di sini untuk mengenang dan meneladani
keimanan beliau,” jelas Ketua Panitia Pembangunan.
Candi yang berdiri di lahan seluas 25 are itu dilengkapi dengan
arca Maha Rsi Markendya, Ciwa dan Budha. Semuanya berbahan baku batu merapi.
Selain itu juga ada bale pawedan, tempat sesajen dan senderan. Bangunan fisik
ini menelan dana Rp 112 juta, sedangkan biaya upacara mencapai Rp 38 juta.
Batu yang digunakan di Candi Agung Gumuk Kancil diusung dari
Gunung Agung Bali dan Muntilan, Jawa Tengah. Jenis batu dari Gunung Agung
adalah andesit. Batu tersebut sengaja didatangkan dari Bali dan Jateng, dengan
maksud menyatukan kembali tali perkawinan putri Gunung Agung dengan putra Jawa
Tengah. Selain itu, dengan perpaduan ini pihaknya ingin mengembalikan sejarah
perjalanan ritual Maha Rsi Markendya yang dimulai dari Jawa menuju Bali. Sangat
tepat kalau candi ini menjadi simbol persatuan Jawa-Bali. Candi Agung Gumuk
Kancil sengaja bermotif Prambanan karena Prambanan dikenal sebagai candi
terbesar umat Hindu. Aplikasi batu Jawa Bali dipadukan dengan motif Prambanan.
Perwujudan bangunan atau arsitektur pemujaan di Gumuk Kancil
berbentuk candi berciri khas Jawa Timur, tepatnya adalah Candi Angka Tahun di
kompleks Candi Penataran. Bentuk ini dipilih untuk mengangkat dan menghormati
nilai-nilai kearifan lokal bangunan pemujaan di Jawa. Konsep dasar arsitektur
candi ini adalah perkawinan atau perpaduan antara Jawa dan luar Jawa yang dalam
hal ini diwakili oleh Bali. Orientasi candi adalah Gunung (Gunung Raung di
sebelah utara) dan Segoro (laut). Bangunan candi ini terdiri atas tiga bagian
yaitu dasar, badan, dan puncak. Bagian dasar candi terdiri atas bagian sebagai
berikut :
1. Pondasi telapak sebar berbentuk lingkaran pada kedalaman 5 m
dari permukaan tanah, berfungsi mendukung dan meratakan beban candi ke tanah,
terbuat dari konstruksi plat beton bertulang tebal 20 cm dengan radius
berdiameter 9 m. Untuk menghubungkan konstruksi pondasi dengan bangunan atas
candi dibuat dinding plat beton bertulang setinggi 5 m diisi dengan beton
cyclop (campuran batu pecah dengan beton). Empat kolom berdiri di sisi-sisi
bangunan candi yang dihubungkan dengan balok-balok horisontal berfungsi
mengikat dan menstabilkan konstruksi bagian atas candi.
2. Bagian dasar (lapik) candi di atas permukaan tanah berbentuk lingkaran
melambangkan spiral kehidupan, disusun menjadi 8 anak tangga, yang terbawah
berdiameter 9 meter. Bagian badan berbentuk dasar segi empat bujur sangkar.
3. Candi Agung Gumuk Kancil punya tiga bilik relung candi dan satu ruangan
utama candi terbuka ke arah depan (selatan) berisi lingga-yoni. Sebagai
dasarnya, sebilah prasasti berukuran 10 cm x 30 cm dengan bahan dasar tembaga
dicampur perak dan emas.
4. Di bagian luar, dikelilingi tiga bilik relung candi. Pertemuan antara bagian
dasar sebagai bagian badan diisi Bedawang Nala, Naga Basuki (di kanan) dan Naga
Ananta Boga (di kiri). Masing-masing bilik relung candi berisi pengarcaan
memakai sandaran basement berfungsi sebagai titik pusat konsentrasi pemujaan.
Pengarcaan dan pemujaan melalui arca disebut murti puja.
5. Bilik relung timur berisi pengarcaan Tri Adhi Sakti yaitu Dewi Saraswati (di
kiri), Dewi Sri Laksmi ( di kanan) dan Dewi Parwati (di tengah-tengah) menjadi
satu lapik, sehingga terkesan menyatu. Dewi Saraswati sebagai dewi ilmu
pengetahuan, Sri Laksmi sebagai pemelihara dunia, kesuburan dan kemakmuran,
serta Dewi Parwati diwujudkan di tengah-tengah sebagai simbol keteguhan hati.
Bilik relung barat berisi pengarcaan Siwa-Budha/Tri Murti, dan bilik relung
candi utara berisi pengarcaan Rsi Markandeya.
Rsi Markandeya dalam pengarcaannya diwujudkan dengan sosok
berdiri tegak berukuran 120 x 60 x 50 cm, berjenggot panjang memegang kendi,
dengan tongkat kepala naga bersandar. Makna-makna yang tersirat dari arca ini
adalah bagi mereka yang melaksanakan disiplin spiritual pemujaan melalui proses
sampradaya antara nabe dan sisya akan terbentuk karakter berbudi luhur. Kendi
akan mengalirkan kelinuwihan bagi mereka yang meyakini jejak dharma yatra Rsi
Markandeya, tongkat akan membuka memberi petunjuk arah kemahasucian.
Pengarcaan Siwa-Budha/Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) yang
bermakna utpeti, stiti, pralina sebagai satu kesatuan sosok diwujudkan dengan
sikap darma cakra prawartana mudra. Bagian puncak dibentuk dengan susunan batu
tiga tingkatan. Ketinggian candi seluruhnya 9 meter, dibuat dari bahan batu andesit
dari Gunung Merapi, kecuali puncak (mahkota) candi disusun dengan batu dari
Gunung Agung.
Penggunaan dua jenis batu yang berbeda ini salah satunya
didasarkan atas tingkat kesucian bahan. Bagian puncak candi juga dilengkapi
dengan keris sepanjang sekitar 30 cm dilapisi emas, tembaga, dan nikel sebagai
penangkal petir. Secara keseluruhan candi ini dikerjakan oleh tukang candi yang
sudah sangat berpengalaman di bidang percandian yaitu Dulkamid Jayaprana dari
Dusun Multilan Jawa Tengah, sekitar 10 km sebelum Candi Borobudur dari arah
Yogyakarta.
Di Jawa pada umumnya tidak ada candi yang berdiri sendiri atau
hanya ada satu candi di satu lokasi. Kompleks candi biasanya terdiri atas candi
induk, Pangider Bhuana, Perwara atau Wahana, Apit, Kelir, Patok, Lawang, dan
arca Ganesa. Candi induk menjadi titik pusat orientasi candi-candi yang lain.
Di kompleks Candi Agung Gumuk Kancil Raung, pada tahap kedua
akan dibangun Candi Perwara (Nandini). Candi ini berfungsi sebagai wahana atau
kendaraan Dewa Siwa. Letaknya di depan candi induk sejauh 17 meter ke arah
selatan dengan posisi saling berhadapan. Secara keseluruhan, bentuk dasar candi
bagian bawah (lingkaran) dan bagian atas (bujur sangkar) sama dengan candi
induk. Yang berbeda hanyalah dimensi dan isi bilik candi.
Tinggi candi dan diameter dasar adalah 5 meter. Panjang Nandini
58 cm, duduk di atas bebaturan dengan dua roda pedati. Ada relief di bagian
samping kiri-kanan dan belakang yang merupakan modifikasi dari Candi Tebing
Tegallinggah Tampaksiring. Di bagian depan dilengkapi dengan Makara Singa,
tanpa Bedawang Nala. Bahan candi adalah satu andesit dari Gunung Merapi,
kecuali puncak (mahkota) dari batu andesit Gunung Agung.
Di masa mendatang, Candi Agung Gumuk Kancil akan terus berbenah
dan dilengkapi lagi dengan jenis candi yang lain sesuai dengan perkembangan
“wahyu” dan kesiapan sumber daya manusia setempat. Pengembangan candi dilakukan
dengan penuh hati-hati dengan konsep bahan sealamiah mungkin. Titik-titik
spiritual di sekitar candi induk perlahan tetapi pasti sudah bermunculan
seperti Watu Gantung di sebelah utara, Sri Buhpati di sebelah tenggara candi
induk.
Menjadi Tujuan Wisata Spiritual
Lokasi Candi Agung Gumuk Kancil mudah dijangkau. Kendaraan roda empat bisa
langsung ke lokasi. “Kami berharap lokasi ini bisa menjadi kawasan wisata
spiritual. Lokasinya bagus untuk tempat meditasi,” kata Ketua Parisada Hindu
Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Glenmore, Sunarto.
PHDI setempat memberlakukan jadwal khusus persembahyangn bersama
di lokasi candi. Biasanya pada hari-hari besar dan saat piodalan.
Sehari-harinya, ada seorang pemangku dan juru kunci yang merawat kompleks
candi. Candi Agung Gumuk Kancil berstatus cagar budaya. Tempat ini masuk salah
satu tujuan wisata spiritual yang ditetapkan Pemkab Banyuwangi. Namun, biaya
perawatan candi, masih mengandalkan sumbangan dari pengunjung. “Kami mendukung
jika dijadikan wisata spiritual. Namun, kesuciannya harus tetap dijaga,” tambah
Sunarto.
Selain Candi Agung Gumuk Kancil, banyak tempat lagi di sekitar
Dusun Sugihwaras yang bisa dijadikan objek perjalanan spiritual. Seluruh lokasi
ini diyakini bekas perkampungan kaum Wong Aga pada masa Rsi Markendya. Selain
Candi Agung Gumuk Kancil sedikitnya ada tiga lokasi, yakni Partirtan Sumber
Urip, Watu Gantung dan situs Candi Gumuk Payung. Empat lokasi ini letaknya
terpisah, namun bisa ditempuh dalam sekali perjalanan. Yang dirasakan paling
mistis, Patirtan Sumber Urip. Letaknya sekitar satu kilometer arah utara Gumuk
Kancil. Mata air alami ini ditemukan tahun 1990-an. Sebelumnya mata air ini
tertimbun hutan lindung. Sumber Urip merupakan mata air alami yang keluar dari
batu.
Sejak tahun 2007, umat Hindu setempat membangun kawasan ini
secara swadaya. Tepat di atas mata air utama didirikan sebuah arca Dewi Gangga
yang membawa kendi. “Ini simbol kesucian air sungai Gangga di India yang kita
hormati,” ujar Sunarto. Dari sumber utama air dialirkan menggunakan 8 kepala
naga. Aliran air tersebut kemudian diarahkan ke persawahan warga.
Tempat ini biasanya digunakan sebagai mendak tirta, mengambil
air suci, untuk persembahyangan. Hampir tiap hari ada pengunjung datang tempat
ini. Rata-rata mereka peziarah spiritual. Beberapa di antaranya mengambil
airnya untuk dibawa pulang. Kini, umat Hindu setempat mulai memperluas kawasan
itu sebagai lokasi pemujaan. Perhutani juga mengizinkannya sebagai kawasan
penyangga hutan lindung. Luasnya sekitar 100 m2. Sejak kawasan ini ditetapkan
sebagai cagar budaya, masyarakat dilarang menebang pohon dan mengotori lokasi
tersebut.
Lokasi Watu Gantung, satu kilometer arah utara dari mata air
Sumber Urip. Untuk mencapainya harus berjalan kaki. Watu Gantung adalah batu
yang menggantung. Tempat ini juga diyakini masih berkaitan dengan perjalanan
Rsi Markandiya. Lokasi lainnya Pura Puncak Raung dan Pura Giri Mulyo. Dua
tempat suci ini berlokasi di bawah Candi Agung Gumuk Kancil. Sedangkan letak
situs Candi Gumuk Payung agak jauh dari lokasi candi di Gumuk Kancil. Untuk
mencapainya pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke pintu
gerbang situs. “Kami berharap tempat-tempat itu bisa menjadi saksi sejarah
perjalanan ajaran Hindu,” kata Sunarto. Untuk melayani para pengunjung, di
masing-masing lokasi ditempatkan pemangku dan penunjuk jalan yang siap melayani
dan mendampingi pengunjung kapan pun.
Peninggalan Rsi Markandiya Disimpan Rapi
Sudah banyak umat Hindu dari Bali yang mengunjungi kawasan spiritual di lereng
Gunung Raung. Umumnya mereka datang dalam rombongan, naik bus atau kendaraan
pribadi. Banyaknya pengunjung pura dan candi menambah kegiatan baru bagi
pemangku. Mereka harus siap mendampingi mereka kapan pun. Pengunjung tak
sepenuhnya bersembahyang. Di antaranya, terutama di kalangan penganut kejawen,
meminta nasihat spiritual kepada pemangku sambil berdiskusi dan bermeditasi.
Ada juga yang melakukan kaulan. Jika kaulnya dikabulkan, biasanya mereka datang
lagi untuk menggelar ritual.
Di masing-masing lokasi ditempatkan seorang pemangku. Mereka
bertempat tinggal tak jauh dari lokasi tempatnya bertugas. “Ini adalah
anugerah. Kami yang rata-rata sudah berusia tua ini, harus menjalankan tugas
ini dengan ikhlas,” ujar Romo Satrah, pemangku Pura Giri Mulyo. Romo Satrah
pemangku tertua di wilayah lereng Raung. Ia menyimpan banyak benda yang
berkaitan dengan zaman Rsi Markendya. Benda-benda itu ia dapatkan saat menggali
lahan pertanian miliknya dan disimpannya dengan rapi hingga kini.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 –
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar