Upacara Memandikan Tengkorak |
Nusantaraku.com-Indonesia memang terkenal kaya akan sumber
daya alam dan manusia. Nggak perlu meragukannya lagi, SDA dan SDM Indonesia
telah terbentang dari Sabang sampai Marauke. Berbagai kebudayaan pun lahir dan
menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan beragam. Hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia inilah yang akhirnya memperkaya keberagaman Nusantara. Salah satunya
adalah keberadaan Suku Dayak Bidayuh yang memiliki kebudayaan dan tradisi unik.
Kali ini kita akan
mengajak kalian untuk mengenal lebih dalam Suku Dayak Bidayuh yang memiliki
tradisi Nyobeng sebagai upacara adat dalam menolak bala. Kalau kamu udah
mengenal Suku Dayak, nggak ada salahnya untuk mengenal sub etnisnya, kan?
Cekidot!
Sebelum lebih dalam mengenal Suku Dayak Bidayuh, begini peta
persebaran mereka dan sejarah singkat suku yang mendiami ujung utara Indonesia
Suku Dayak Bidayuh merupakan sub etnis dari Suku Dayak yang kita
kenal. Mereka awalnya terorganisir sebagai Suku Dayak. Karena adanya arus
migrasi, mereka terpisah menjadi tujuh suku besar di Kalimantan dan sebagian
mendiami Malaysia. Suku Dayak Bidayuh ini sendiri tinggal di Kabupaten Sanggau;
di Kecamatan Kapuas, Parindu, Jangkang, Bonti, Beduai, Entikong, Bengkayang,
Sekayam, dan Kembayan, dan di Sarawak (Kuching dan Samarahan).
Sementara menyinggung
kebudayaan atau tradisi Nyobeng, mereka percaya bahwa kepala merupakan pusat
kekuatan supranatural. Maka dari itu, upacara Nyobeng mengharuskan menggunakan
tengkorak sebagai media utamanya dalam upaya melindungi diri dari berbagai
ancaman dunia nyata dan gaib.
Tradisi unik dalam menjaga kampungnya dari marabahaya. Nyobeng,
tradisi memandikan tengkorak kepala manusia sebagai syarat utama
Upacara Memandikan Tengkora |
Selain itu, mereka
juga menyakini bahwa upacara ini bertujuan untuk menghargai para leluhur mereka
yang telah meninggal. Mereka juga percaya bahwa Nyobeng merupakan manifestasi
dari perbedaan yang ada. Sebab nggak cuma Suku Dayak Bidayuh aja yang mengikuti
upacara ini. Melainkan banyak dari suku lain yang turut serta dalam prosesi
Nyobeng. Yang terakhir adalah membangun solidaritas sosial. Dari beragam suku
dan warga yang berkumpul dalam ritual Nyobeng, mereka bermaksud untuk
menyatukan perbedaan dan kesibukan orang-orang yang udah nggak pernah bisa
kumpul kayak dulu lagi. Hmmm.
Apakah kita perlu
mengadakan upacara Nyobeng untuk mengadakan reuni akbar SMA kita? Haha, becanda
deh ya.
Nyobeng nggak bisa dilakukan sembarang waktu. Ada jadwal yang
telah ditentukan dari turun temurun
Tengkotak yang Sudah di Bersihkan |
Upacara panjang dan melelahkan demi menjaga keamanan dan
stabilitas seluruh Suku Dayak Bidayuh. Rumit juga, ya!
Para tamu undangan
memasuki lapangan sebelum berkumpul di rumah Bulug. Tetua adat yang memimpin
para tamu undangan melemparkan anak anjing, ayam, dan telur ke udara. Sementara
pemimpin/ketua rombongan harus menebasnya hingga mati. Untuk telur, kalau
mereka nggak bisa memecahkan telur yang dilempar, itu berarti mereka nggak
ikhlas dalam menghadiri upacara Nyobeng.
Setelah proses
sambutan, dilanjutkan dengan minum-minum dan langsung menuju ke rumah Bulug.
Memasuki tempat upacara tersebut, para tamu diperciki dengan daun anjuang yang
telah dicelupkan ke dalam air bermantra. Tujuannya sebagai penolak bala. Mereka
percaya akan hal itu.
Acara pun dimulai
dengan tarian khas suku Dayak Bidayuh dan makan bersama. Setelah makan, para
tamu dipersilakan untuk beristirahat di rumah penduduk, sementara yang cowok
disuruh mencari bambu yang berdiameter 10 cm. Setelah itu, dilanjutkan dengan
pemanggilan ruh oleh tetua adat yang bertujuan untuk meminta izin kepada para
leluhur.
Jeng Asih, Ratu pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 –
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar