Garuda, Lambang Kerajaan Sintang |
Nusantaraku.com-Masih segar dalam ingatan kita
tentang penobatan Raja Sintang. Beberapa tahun berlalu sejak Penobatan Raja
Simpang ke-7 tepatnya tanggal 31 Mei 2008. Hasil mufakat keluarga antara Gusti
Ibrahim, Gusti Abdul Muthalib, Gusti M Mulia, dan Gusti Mastur telah
menyerahkan sepenuhnya kepada Drs H Gusti M Mulia bin Gusti Mesir bin Gusti
Roem, untuk dinobatkan sebagai Raja Simpang ke-7 bergelar Sultan Muhammad
Jamaluddin II.
Penobatan yang sakral saat itu dihadiri oleh
para raja se-Kalimantan Barat, para pejabat di forum komunikasi pimpinan
(Forkopinda), utusan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemerintah
Kabupaten Kayong Utara (KKU), tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat Kayong
Utara pada umumnya. Penobatan Raja Sintang ini, diangkat oleh dewan adat suku
yang berjumlah enam orang.
Masing-masing suku itu, pertama Suku Mayak,
berkewajiban menerima utusan yang datang. Ia adalah hulu balang pertama
mewakili raja yang menangani hal-hal besar dan menggelar raja.
Kedua, Suku Mengkalang
yang bertugas menalangi raja terhadap hal-hal yang tidak dapat dilakukan raja,
serta menalanginya. Ketiga Priyayi atau rerahi (muka) raja, menjadi raja
sehari ketika raja wafat sedang belum ada penggantinya. Bahasa kerennya raja carateker.
Keempat, Suku Siring yang menjadi pengiring
raja dan pemegang pusaka raja. Kelima diberi pangkat Mambal yang bertugas
menambal hal raja, menambal adat, hingga menambal sarana yang rusak. Terakhir,
Suku Panca, tidak ada referensi yang jelas tentang suku yang terakhir ini.
Kerajaan Sintang |
Keenam suku inilah yang berhak dalam
menyelenggarakan prosesi pengangkatan dan penobatan raja.
Keenam suku tersebut ditetapkan Ikatan
Kekerabatan Keraton Simpang (IKRAS). Adapun yang mewakili keenam suku kala itu,
Ilyas bin Abdurrahman sebagai Datuk Mayak, Sabar bin Nuh sebagai Datuk
Mengkalang, Abdurrani bin Said sebagai Datuk Priyai, Asmah bin Onjol sebagai
Nyai Siring, Gunawan ST bin Jamban sebagai Datuk Panca, Hanafi bin HM Salim
sebagai Datuk Mambal. Surat penunjukan tersebut ditandatangani Gusti Ibrahim
sebagai Ketua IKRAS dan Gusti Imron Nour sebagai Sekretaris IKRAS, ditetapkan
pada 20 Mei 2008.
Peristiwa penobatan tersebut merupakan momen
yang penting di tengah-tengah kondisi masyarakat yang mulai kehilangan
identitas khususnya di Kecamatan Sintang Hilir, Kabupaten Kayong Utara.
Kehilangan identitas dikarenakan semakin hari semakin banyak yang kurang
mengenal sejarah, terutama daerahnya sendiri. Hal ini disebabkan kurangnya
sumber-sumber bacaan atau tulisan, dan dokumentasi sejarah, serta saksi atau
pelaku sejarah pada masa lampau yang mulai berkurang, menyebabkan semakin
kurangnya pengenalan terhadap sejarah daerah terutama dari kalangan muda.
Sejak penyerahan kekuasaan dan aset-aset
kerajaan yang dilebur pada tahun 1959 kepada pemerintah, maka semua inventaris
kerajaan atau swapraja menjadi inventaris pemerintah. Sudah menjadi kewajiban
bagi pemerintah sendiri untuk memfasilitasi dan menjadi regulasi supaya menjaga
dan melestarikan semua aset-aset tersebut. Namun kenyataan sungguh berbeda.
Menurut Gusti Hukma, putra dari raja Simpang
saat ini, kurangnya perhatian dari pemerintah menyebabkan hampir hilangnya
semua aset sejarah, adat, dan budaya yang pernah ada di Kerajaan Simpang.
Seperti Istana Simpang yang sudah miring karena tuanya bangunan tersebut sudah
diratakan dengan tanah pada tahun 1980-an.
Belum lagi situs-situs dan makam-makam
peninggalan sisa-sisa Kerajaan Sintang yang tidak terpelihara. Ditambah dengan
pembalakan hutan serta perkebunan kelapa sawit yang lagi santernya sekarang ini
yang masuk ke areal pemakaman sehingga merusak makam-makam ataupun situs-situs
yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan.
Panembahan Siintang, Pangeran Ratu Sri Negara HRM Ikhsan Perdana |
Sedangkan swasta dan masyarakat sebagai pihak
yang wajib menjaga, agar tidak merusak nilai-nilai dan seni dan budaya yang
ada. Menjaga agar tidak merusak situs-situs yang ada dengan sebaik-baiknya. Dan
tentunya hal itu juga tidak terlepas dari peranan masyarakat dan semua komponen.
Putri bungsu dari almarhum Gusti Mastur bin
Gusti Mesir, Utin Elika berharap semoga momen penobatan itu tidak hilang begitu
saja. Namun dapat menjadi tonggak kerja sama yang kuat antara pemerintah,
swasta, dan pihak kekerabatan Istana Simpang, untuk bersama dalam mengangkat
dan melestarikan kembali nilai-nilai luhur, adat, seni, dan budaya yang pernah
ada di wilayah Kerajaan Simpang.
Menurut Raden Jamrudin, salah seorang
pemerhati sejarah di kecamatan Sintang Hilir mengungkapkan bahwa dari berbagai
sumber dan literatur, termasuk kitab tua karangan Mpu Prapanca menyebutkan
bahwa pada abad ke-12 kerajaan Matan sudah ada.
Makam Raja-Raja Kerajaan Sintang |
Hal ini membuktikan bahwa pada masa lalu
daerah Matan simpang hilir silam sangat jaya dan maju. Hal lain dibuktikan
dengan makam makam tua yang berjumlah ribuan di bukit Matan.
“Dengan kebesaran tersebut kita bersama sama
berharap pada pemerintah untuk kembali menghidupkan sejarah masa lalu sebagai
aset dan penguatan identitas sebuah daerah. Salah satunya dengan membangun
kembali keraton Sintang Matan yang pada saat penobatan dahulu, sempat
direncanakan. Semoga upaya kita untuk mengangkat budaya lokal dan sejarah
tersebut dapat membawa keberkahan bagi Bumi Tanah Bertuah ini,” Raden Jamrudin
menjelaskan.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 -
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar