Aksi Mistik Masyarakat Bissu |
Arajang yang disimpan adalah berupa alat tradisional untuk membajak padi. Komunitas Bissu hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya, meskipun masyarakat tidak sepenuh hati menerima keberadaan komunitas Bissu tersebut.Tradisi transvestities di tanah Bugis, yaitu lelaki yang berperan sebagai perempuan, sudah diungkap dalam naskah-naskah klasik Bugis sejak ratusan tahun yang lalu.
Mereka dikenal sebagai
pendeta agama Bugis kuno pra Islam dengan julukan Bissu. Keberadaan mereka
sebagai benang merah kesinambungan tradisi lisan Bugis kuno.
Kata Bissu berasal dari
kata mabessi dalam bahasa Bugis, yang berarti bersih atau suci, karena tidak
memiliki payudara dan tidak haid. Sebagai implementasi tafsir suci tersebut,
mereka tidak boleh berpacaran, menikah, dan menyingkirkan keinginan
seksualitasnya.
Secara fisik Bissu
adalah laki-laki, tetapi lemah lembut dalam bertutur dan memiliki
kemampuan-kemampuan lebih, seperti meramal, mengobati, dan kebal terhadap
senjata tajam. Sementara sebagian orang mengatakan bahwa Bissu sama dengan
waria/banci.
Di dalam bahasa Bugis
disebut calabai atau kawe-kawe yang berarti waria (wanita-pria, wadam). Untuk
menjadi Bissu para calabai tersebut harus melewati seleksi dan upacara
khusus.
Tidak semua waria bisa
menjadi Bissu, tetapi semua waria punya peluang untuk menjadi Bissu, dengan
mempunyai bakat dan anugerah atau panggilan hati dari dewata. Pada dasarnya
semua Bissu adalah waria (calabai dalam bahasa Bugis).
Seorang Bissu dalam
pengertiannya sebagai orang ”suci” karena berkaitan dengan tugas yang
diembannya sebagai penjaga dan pemelihara Arajang, yaitu benda-benda pusaka
yang diwariskan para raja yang memerintah dalam suatu negeri atau kerajaan di
Bugis dahulu.
Seorang Bissu bukan
calabai biasa, karena ada tirakat serta peraturan yang harus dijalani sebelum
menjadi Bissu. Selain itu Bissu juga diharuskan berpakaian sopan dan anggun,
tidak berpenampilan yang mengundang birahi orang seperti para banci/waria pada umumnya.
Tugas Bissu pada intinya
adalah sebagai pemimpin spiritual bagi masyarakat maupun kerajaan pada masa
lalu. Di dalam kontekss kekinian mereka menerima konsultasi tentang hajatan,
pertolongan, bahkan pengobatan.
Di dalam setiap upacara
ritual, tugas mereka memimpin dan menjaga Arajang, yaitu benda pusaka keramat
peninggalan kerajaan).
Tepatnya di Desa
Bontomatene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Propinsi Sulawesi Selatan,
masyarakatnya masih melakukan upacara sebelum tanam padi, menumbuk padi, dan
upacara syukur pada saat panen padi.
Unik dan menarik karena
tradisi masyarakat agraris di sini sebagai pelaku utama ritual harus dilakukan/
dipimpin oleh seorang Puang Matowa, yang dibantu oleh seorang wakil yang
bergelar Puang Lolo, dan keduanya dilantik oleh raja atau penguasa.
Puang Matowa adalah pimpinan dari komunitas Bissu, yang sebenarnya adalah:
1. Penjaga raja/penjaga
pusaka kerajaan pada zaman kerajaan di Sulawesi Selatan;
2. Orang yang mengurus
sistem rumah tangga raja;
3. Orang yang menyerupai
perempuan tetapi kebal dengan senjata tajam;
4. Orang yang dipercayai
mampu mengobati orang sakit yang disebut sebagai tabib
5. Termasuk komunitas
calabai tetapi bukan calabai biasa
6. Berperan penting di
dalam kerajaan yaitu sebagai perantara dunia atas dan dunia bawah yang disebut
sebagai Bissu Dewata.
Komunitas Bissu di
Propinsi Sulawesi Selatan masih ada terdapat di Kabupaten Pangkep, Bonne,
Soppeng, dan Wajo. Pada mulanya Bissu berasal dari Kabupaten Luwu, namun kini
sudah tidak ada lagi.
Aksi Mistik Masyarakat Bissu |
Di dalam pelaksanaan
upacara Bissu kerap kali melantunkan pujian-pujian, mantera, untuk mencapai
tahap fana al fana atau intrance yang ditandai dengan menusuk keris ke tubuh
mereka yang telah kebal.
Di dalam naskah La
Galigo disebutkan bahwa Bissu telah ada sebelum masuknya Islam. Di naskah
tersebut dikatakan bahwa Bissu yang pertama kali diturunkan dari langit. Bahasa
dalam naskah La Galigo tidak sama dengan bahasa yang digunakan Bissu.
Salah satu syarat untuk
menjadi Bissu adalah mengetahui bahasa Bissu. Bahasa Bissu adalah lambang dari
bahasa langit, sehingga disebut juga bahasa Torilangi, yang berarti bahasa
orang dari langit.
Norma-norma,
konsep-konsep kehidupan, bahkan silsilah dewa-dewa dan kosmologi orang Bugis
dalam kitab La Galigo, mereka peroleh secara lisan atau tertulis dari guru-guru
pendahulu mereka yang telah wafat.
Pengetahuan-pengetahuan
warisan Bugis kuno itu mereka pertahankan dan aplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari dan atau upacara orang Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat.
Bissu memiliki bahasa
sendiri untuk berkomunikasi dengan para dewata dan untuk berkomunikasi antara
sesama Bissu. Bahasa tersebut disebut bahasa suci,
Bahasa orang langit yang
disebut juga bahasA Torilangi atau bahasa Dewata. Para Bissu beranggapan bahwa
bahasa tersebut diturunkan dari surga melalui Dewata.
Tarian Bissu yang masih
dapat disaksikan pada waktu-waktu tertentu, sekarang dapat disaksikan di Desa
Bontometene, Kecamatan Segeri, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
Pada hakekatnya pada
jaman kejayaan Kerajaan Bugis, tari-tarian istana banyak dilakukan oleh penari
pria yang menyerupai wanita, atau yang juga disebut kaum Bissu.
Hal ini dilakukan
sebagai sebuah fenomena dari politik raja yang menjaga putrinya dari gangguan
para pria yang tidak diinginkan masuk dalam istana.
Meski pada dasarnya
semua Bissu adalah calabai, namun tidak semua calabai adalah Bissu, karena ada
tirakat dan peraturan yang harus dijalani. Mereka juga diharuskan meninggalkan
pribadi genit dan patut berpakaian sopan dan anggun.
Seorang yang telah
bergelar Bissu, tidak boleh berpacaran, tidak menikah, dan menyingkirkan
keinginan seksual. Namun karena populasi Bissu semakin berkurang, diperoleh
data bahwa beberapa di antara mereka kini berkeluarga untuk memperoleh
keturunan.
Di Bone ada Bissu yang
disebut Bissu Mamatra, yaitu Bissu yang belum sempurna.
Pada masa pemerintahan
Kerajaan Bugis, seluruh pembiayaan upacara dan keperluan hidup komunitas Bissu
diperoleh dari hasil sawah kerajaan.
Para Bissu juga
memperoleh sumbangan dari dermawan yang berupa pedagang, kaum tani, bangsawan
yang datang sendiri atau secara rutin memberikan sedekahnya. Selain itu
mendapatkan tanah seluas satu petak atau dua petak tanah persawahan dari
kerajaan untuk diolah oleh Puang Matowa bersama komunitasnya.
Sawah yang merupakan
tempat upacara Mappalili tersebut, hasilnya untuk biaya upacara-upacara dan
kebutuhan hidup komunitas Bissu selama setahun.
Adat istiadat yang
dijalankan oleh pemerintah Kerajaan Bugis dahulu mengandung makna malebbi dan
malempu, yaitu kemuliaan dan kejujuran.
Moral menjadi sasaran
utama aturan, sehingga seluruh tata aturan tersebut harus ditaati dengan ikhlas
dan sungguh-sungguh. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan dan sasaran upacara
akan tercapai dengan baik.
Di dalam sebuah upacara
Bissu ada yang disebut dengan matemmu tang, yaitu persembahan beberapa bahan
sesaji untuk para dewa yang dianggap telah memberikan rahmat kepada masyarakat
setempat selama satu tahun sebelumnya.
Jadi pada dasarnya
upacara ini merupakan upacara tahunan yang hingga kini masih diselenggarakan
oleh masyarakat pendukungnya. Ada sebuah bagian di dalam rangkaian upacara yang
disebut dengan mappasabbi arajang, upacara ini dilakukan di dalam sebuah kamar arajang,
di mana terdapat benda-benda pusaka.
Selain itu dilakukan
pembacaan mantra-mantra terhadap sesaji yang telah diletakkan di depan arajang
tersebut oleh Puang Matowa sebagai pemimpin upacara.
Di dalam upacara
disajikan apa yang disebut makemmo sokko patan rupa (meremas nasi ketan yang
diberi warna merah, kuning, putih, dan hitam, yang diletakkan dalam
piring-piring kecil. Adapun artinya warna merah adalah api, warna kuning adalah
angin, warna putih adalah air, dan warna hitam adalah tanah.
Ketika aturan-aturan
lisan bermuatan moral tersebut digantikan dengan aturan-aturan tertulis yang
konon lebih modern, maka masyarakat tradisional mulai kehilangan kekuatannya.
Bissu adalah seorang
laki-laki yang berpenampilan dan berkepribadian seperti wanita. Tidak semua
manusia tranvestitisme dapat menjadi Bissu,
Aksi Mistik masyarakat Bissu |
Awal mula seorang waria
yang hendak menjadi Bissu harus mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil
menjadi Bissu.
Motivasi tersebut antara
lain ingin menjadi Bissu secara sungguh-sungguh, karena jika hanya main-main
maka akan menerima resikonya. Pernah terjadi seorang waria yang bertekad
menjadi Bissu, namun gagal.
Kegagalan ini
dikarenakan adanya aturan yang dilanggar, yaitu Bissu tidak boleh melakukan
hubungan suami istri, sehingga Bissu dilarang menikah, tidak boleh berdandan
terlalu mencolok atau menor, yang dapat mengundang birahi lorang lain,
Bissu yang melanggar
aturan akan mati, demikianlah mitos yang populer terdengar oleh masyarakat di
Kecamatan Segeri. Namun untuk perkembangan di masa sekarang banyak Bissu yang
menikah, agar supaya terjadi regenerasi 51
keturunan Bissu tetap
ada. Oleh karena itu syarat-syarat untuk menjadi Bissu atau proses untuk
menjadi Bissu (irreba) adalah:
1. Niat;
2. Puasa;
3. Mattinjak (mempunyai
nazar);
4. Wuju;
5. Taat pada
aturan-aturannya.
Niat adalah sebuah janji
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh seorang waria untuk menjadi bagian
dalam komunitas Bissu.
Niat ini harus muncul
dari lubuk hati yang paling dalam, karena akan menjadi berat menjalankan dan
kegagalan yang terjadi untuk menjadi Bissu.
Niat yang tulus
dibarengi dengan menjalankan puasa, biasanya para waria yang hendak menjadi
Bissu, harus melakukan puasa selama 40 hari 40 malam secara
terus-menerus.
Kemudian selesai
berpuasa calon Bissu melakukan sebuah nazar sebelum benar-benar menjadi Bissu.
Biasanya nazar dilakukan selama tiga hari berturut-turut, dengan melakukan apa
yang disebut dengan Wuju.
Calon Bissu menjalankan
wuju, yaitu dengan dibungkus kain kafan putih dan dimandikan layaknya seperti
mayat oleh para Bissu senior yang dipimpin oleh Puang Matowa. Setelah
dimandikan dan dikafani, calon Bissu ditidurkan di rumah di lantai atas dengan
beratapkan langit-langit,
Sambil bernazar seperti
orang bertapa, tidak makan dan minum selama satu hari satu malam. Demikianlah
upacara pelantikan Bissu menjadi bertingkat-tingkat, dan bagian terbesar dalam
upacara pelantikan Bissu harus ada 40 orang Bissu senior (Bissu Pattappuloe),
serta salah satunya adalah Bissu wanita.
Bissu wanita biasanya
adalah seorang wanita yang telah menopause dan mendapat manase
(wangsit/panggilan hati). Namun sekarang pelantikan dengan cara seperti ini
tidak dilakukan lagi karena calon Bissu beresiko jatuh pingsan, gila, atau
bahkan meninggal.
Oleh karena itu
syarat-syarat untuk menjadi Bissu, pada saat ini tidak lagi serumit dan selama
pada waktu Bissu senior masih berjumlah 40 orang, karena Bissu yang tersisa
saat ini hanya tinggal 6 orang.
Atraksi Mistik Masyarakat Bissu |
layaknya seorang
laki-laki berpenampilan perempuan tetapi bukan waria biasa. Seperti dikatakan
oleh Halilintar Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya
di Masyarakat Bugis, bahwa:
“Para Bissu yang telah
dilantik menganggap dirinya lebih terhormat dan lebih tinggi kedudukannya dari
pada calabai pada umumnya yang belum dilantik. Bissu yang telah irreba-lah yang
berhak menyandang predikat sebagai Bissu sesungguhnya,
sedangkan calon Bissu
yang belum dilantik hanya berhak menyandang sebagai Bissu mentah (Bissu
mamata). Namun karena kaum Bissu makin berkurang, perbedaan antara Bissu dan
calabai ini makin rancu di beberapa wilayah adat” (Latief Halilintar
A:2004:47).
Di dalam kehidupan
komunitas Bissu juga mengenal dengan hirarki organisasi atau struktur
organisasi yang dibedakan menurut fungsi kerjanya. Adapun struktur organisasi
dalam komunitas Bissu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Puang Matowa;
2. Puang Lolo;
3. Bissu Tantre;
4. Bissu Poncok.
Puang Matowa adalah
pimpinan dari komunitas Bissu. Puang Matowa pada jaman kerajaan dipilih oleh
rakyat dan dinobatkan oleh raja.
Puang Matowa bertugas
menjaga pusaka kerajaan dan melayani keluarga kerajaan, serta hidupnya
ditanggung oleh kerajaan. Biasanya Puang Matowa bertempat tinggal di rumah
pusaka kerajaan (Bola Arajang).
Puang Matowa adalah
sebagai pimpinan Bissu, maka apabila tidak bisa hadir dalam sebuah acara, yang
akan menggantikan adalah Puang Lolo sebagai wakilnya.
Puang Lolo disebut juga
sebagai wakil dari Puang Matowa atau juga bisa sebagai kandidat pengganti
pimpinan Bissu tersebut. Oleh karena itu kelebihan yang dimiliki oleh Puang
Matowa tidak jauh beda dengan yang dimiliki oleh Puang Lolo.
Pelantikan Puang Lolo
bersamaan dengan pelantikan Puang Matowa, karena Puang Lolo pun dipilih oleh
rakyat dan dilantik oleh raja. Sedangkan Bissu Tantre adalah Bissu yang
dianggap mempunyai pengetahuan yang tinggi atau berderajat tinggi, dalam arti
Bissu ini sangat cepat menangkap dan cepat tanggap dengan apa yang diajarkan
oleh Puang Matowa.
Ada juga yang disebut
dengan Bissu Poncok adalah Bissu yang mempunyai derajat yang rendah atau
berpengetahuan rendah karena tidak terlalu cepat mengerti dan tanggap dengan
apa yang diajarkan oleh Puang Matowa.
Bissu Tantre dan Bissu
Poncok akan tampil dan menari dalam upacara ritual yang dipimpin oleh Puang
Matowa. Saat ini jumlah Bissu tinggal 6 orang saja, di antaranya adalah Puang
Matowa, Puang Lolo, Bissu Tantre (Zulaeka), dan Bissu Ponco (ada 4
orang).
Menurut Andi Halilintar
Latief dalam bukunya berjudul Bissu, Pergulatan dan Peranannya di Masyarakat
Bugis disebutkan bahwa Bissu yang terdapat di Segeri mempunyai perbedaan dengan
Bissu yang berada di Bone. Perbedaan Bissu dari kedua daerah tersebut adalah
sebagai berikut.
Para bissu dahulu mengenal
tradisi tulisan pada lontar, namun tradisi ini sudah semakin ditinggalkan, dan
berubah menjadi tradisi tutur. Di dalam upacara yang dipimpin oleh Bissu
terdapat perpaduan dari berbagai aspek kesenian.
Kesenian pada komunitas
Bissu sebenarnya merupakan bagian dari aktivitas upacara/ritual sebelum menanam
padi yang meliputi pembacaan mantra-mantra, sastra, nyanyian, musik, dan
tarian. Semua bentuk seni tersebut sebagai media upacara dalam berkomunikasi
dengan Yang Maha Kuasa untuk mohon ijin dan berkahnya.
Salah satu media upacara
yang menjadi puncaknya adalah tarian Maggiri. Gerakan tarian Bissu bukan
sekedar gerakan tari semata-mata, tetapi ada aktifitas kesenian lain, seperti
pantun, iringan alat musik, dan adanya atraksi kekebalan senjata yang disebut
Maggiri.
Maggiri adalah disebut
juga upacara magrangeng-rangeng, yaitu Bissu telah berpakaian lengkap dan
berdandan sedemikian rupa, berjalan sambil menari mengelilingi walasuji
dipimpin oleh Puang Matowa.
Kemudian Puang Matowa
memperlihatkan kesaktiannya dengan menusukkan keris ke arah tenggorokannya
itulah yang disebut maggiri, lalu diikuti oleh ke enam Bissu yang
lain.
Tarian Maggiri merupakan
tarian yang unik dengan mempergunakan sebilah keris pusaka yang mengandung
unsur mistis di dalamnya.
Tari spiritual kaum
Bissu yang sudah berusia ratusan tahun. Maggiri merupakan rangkaian dari
prosesi upacara dalam tradisi Bugis kuno yang dilaksanakan para Bissu, dan
sampai hari ini masih bertahan meski jumlah Bissu sudah tidak banyak lagi,
yaitu hanya ada 6 orang Bissu yang berada di Kecamatan Segeri, Kabupaten
Pangkep.
Atraksi ini sambil
menghentak-hentakan kakinya ke lantai diiringi dengan musik yang ritmis semakin
lama semakin cepat, sehingga mampu membuat penonton berdebar melihatnya. Di dalam Maggiri inilah
Bissu mempertunjukan kesaktiannya kebal akan benda tajam, yaitu keris.
Jeng Asih, Ratu pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 –
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar