Belum lagi kecemasan sebagian besar masyarakat ketika suami, istri atau anaknya harus bertugas di Banyuwangi merupakan kondisi psikologis yang tidak terbantahkan jika di kota yang dikenal dengan kesenian gandrungnya itu sebagai kota santet.
Namun, Anda jangan keburu berburuk sangka dengan menilai masyarakat Banyuwangi itu kejam karena hanya mengaitkan kota ini dengan peristiwa yang pernah mengguncang publik nasional maupun internasional tersebut.
Masalahnya, ilmu santet dalam pengertian masyarakat Banyuwangi tidak selalu bertujuan untuk menghabisi nyawa seseorang yang dianggap musuhnya. Namun sebagian besar
pemahaman ilmu santet di daerah ini lebih untuk keperluan bagaimana mempengaruhi orang lain agar tertarik kepada mereka yang memakai jasa santet tersebut.
Hasnan Singodimayan, salah seorang budayawan Banyuwangi mengakui santet itu memang tumbuh di tengah masyarakat kota paling timur Pulau Jawa itu. Hanya saja, orang selalu salah kaprah dalam memahami santet Banyuwangi dengan hanya mengaitkan dengan ilmu sihir.
Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) Banyuwangi itu mengakui santet di Banyuwangi memang ada yang menyerupai ilmu sihir seperti yang juga ditemukan di daerah - daerah lainnya.
Namun, yang lebih banyak berkembang ilmu santet yang berkaitan dengan pengasihan, yaitu cara bagaimana menimbulkan rasa simpati orang lain kepada yang menggunakan jasa ilmu tersebut.
Dalam pandangan budayawan yang usianya kini menginjak 79 tahun itu, santet Banyuwangi bisa dibedakan menjadi empat golongan, yakni "black magic" (santet hitam), "red magic" (santet merah), "yellow magic" (santet kuning), dan "white magic" (santet putih).
Menurut laki-laki yang memenangi tiga zaman itu, pengertian sihir dalam masyarakat Banyuwangi lebih dipahami sebagai santet hitam. Meski ada, namun jumlahnya tidak begitu besar.
"Santet hitam ini biasanya digunakan masyarakat Banyuwangi untuk membalas dendam hingga seseorang menemui ajalnya. Tetapi masyarakat Banyuwangi juga banyak yang menolak santet seperti ini karena bertentangan dengan nilai - nilai budaya masyarakat setempat," tuturnya.
Untuk santet merah mirip dengan niatan jahat santet hitam, namun santet merah sifatnya hanya untuk melumpuhkan atau tidak sampai mematikan. Di Banyuwangi banyak pula
ditemukan santet seperti ini yang tidak hanya melumpuhkan secara fisik seseorang tetapi juga hingga batinnya.
"Seperti ketika seorang istri atau suami yang sedang berselingkuh agar tindakan dan perbuatannya diterima pasangannya, maka orang tersebut menggunakan jasa santet merah, sehingga orang yang sudah dalam pengaruh santet merah ini dengan mudahnya menerima perselingkuhan pasangannya," ucapnya.
Seorang wanita yang menggunakan jasa santet merah ini dengan leluasa dan cenderung terang-terangan memamerkan pasangan selingkuhnya, bahkan tidak jarang juga sampai melumpuhkan alat vital suaminya agar tindakannya lebih bebas lagi.
Namun, tindakan seperti ini juga bisa dilakukan seorang laki - laki yang tertarik sama istri orang lain. Agar keinginannya tersampaikan, dia melumpuhkan batin sang suami sehingga dengan leluasa mengajak kencan istrinya.
Untuk jenis santet kuning, biasanya digunakan seseorang untuk menaklukkan hati lawan jenisnya karena merasa sakit hati setelah ditolak orang tersebut. Di kalangan masyarakat Banyuwangi sendiri, ilmu santet kuning ini tersohor dengan nama ilmu jaran goyang atau sabuk mangir.
"Bagi mereka yang terkena pengaruh jaran goyang atau sabuk mangir, tamatlah hatinya hanya ingat kepada orang yang menggunakan jasa santet ini. Bahkan, sampai - sampai jika tidak tertolong orang yang terkena pengaruh jaran goyang atau sabuk mangir bisa gila," ungkapnya.
Hal itu tergantung dari orang yang mengirimkan pengaruh santet kuning tersebut. Jika
dia masih berkehendak pada wanita atau laki - laki yang telah mengecewakan, maka tertolonglah orang yang sudah terpengaruh ilmu santet ini.
"Lengketnya bak lem, he he he ...," gurau Hasnan Singodimayan.
Namun, pengaruh ilmu santet, baik yang merah maupun kuning, biasanya hanya berkisar 40 hari sehingga jika ingin meneruskan niatannya maka yang bersangkutan harus memperbaharui kembali dengan cara mengirim pengaruh lewat gaib ataupun melalui makanan.
Untuk jenis santet yang terakhir adalah santet putih yang biasanya banyak digunakan para pedagang, termasuk pemilik warung agar pelanggannya tidak lari serta dapat menikmati cita rasa masakan yang menjadi sajian di rumah makan atau warungnya.
"Santet putih ini juga biasa digunakan kalangan penari gandrung agar daya tarik penampilan tariannya mempesona pengunjung atau yang melihatnya, sehingga jangan
heran ketika melihat seorang penari gandrung saat tampil di pentas dengan mereka dalam kehidupan sehari - harinya sangat berbeda," paparnya.
Menurut Hasnan Singodimayan, penari gandrung biasanya menggunakan pengaruh santet putih ini dengan menggunakan sarana alat kecantikan seperti bedak atau rias bawah mata.
"Bahkan, tidak jarang pula bagi kalangan gandrung profesional meletakkannya di bagian omprok atau mahkota yang dikenakannya, sedang untuk memperkuat fisiknya pengaruh santet putih ini diletakkan pada kaos kakinya," tukasnya.
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria
Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika
Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 –
08122908585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar